Tanah Asal dan Soal Universalitas Puisi (Membaca Buku Puisi Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? Karya Kiki Sulistyo)

fineartamerica.com

Kiki Sulistyo

Asal dan rantau, dua kutub yang bernegasi sejak lama dalam konstelasi wacana kesusastraan Indonesia. Tidak saja dibicarakan sebagai pilihan tema penciptaan atau penentu warna karya, asal dan rantau juga menyaru sikap para sastrawan, yang pada akhirnya menjadikan mereka sebagai “si pemilih” di hadapan dua tema tersebut. Dalam pembicaraan tentang asal dan rantau ini, tentunya yang sedang ditunjuk bukanlah asal atau rantau sebagai tempat semata, melainkan juga sebagai penanda pemikiran atau semangat yang tampak berbeda, yang bahkan berpotensi saling menihilkan. Asal, pada konteks tertentu diidentifikasikan sebagai tradisi; keaslian, yang eksotik atau unik. Di lain sisi, rantau sering dibicarakan sebagai yang universal, yang hiruk, yang beragam atau kompleks, yang dinamis dan bebas.

Dalam ranah puisi, Goenawan Mohamad adalah tokoh yang menonjol dalam tema asal-rantau ini. Dengan mengidentifikasikan dirinya sebagai sesosok Malin Kundang, yang durhaka pada asal dan menginginkan “dunia-luar” yang lebih penuh warna-warni. Hal itu kemudian terbaca dalam puisi-puisi yang ditulisnya, di mana tema-tema dunia dihadirkan, narasi-narasi besar dan universal direnungkan kembali. Di lain kutub, seorang penyair tua (secara usia) Sumatra Barat, Rusli Marzuki Saria, berdiri tegap. Menyatakan “penolakannya” terhadap rantau, lantas berpuisi tentang tanah ibu dengan segala lirih-tambo di dalamnya. Tak hanya sampai di karya saja (yang asalnya adalah pikiran), sikap dua penyair di atas juga ditampakkan dalam gerak badaniah. Sebagaimana halnya Goenawan telah menyeret badannya dari Jawa Tengah ke Ibu Kota, Rusli memantapkan kaki di tanah kelahirannya sendiri, Sumatra Barat.

Kiki Sulistyo menjadi satu di antara banyak penyair hari ini yang tidak bisa lepas dari ranah negasi asal dan rantau di atas. Hal ini terbaca melalui buku puisinya yang terbaru, Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?. Buku yang menyabet juara Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2017 untuk kategori puisi ini melompati banyak buku-buku puisi lainnya yang sesungguhnya bukan buku puisi “main-main”.

Kiki memilih asal sebagai tema penciptaannya, tidak sebagai pilihan badaniah ataupun sebagai pilihan kacamata intelektual. Kiki memperlakukan asal sebagai tema penciptaan, sama dengan beberapa penyair mutakhir lainnya yang melihat tanah asal (dengan segala unsur yang melingkupinya) sebagai bahan penciptaan yang potensial. Yang barangkali menjadi pembeda bagi Kiki adalah keberaniannya dalam mengumumkan kepersonalitasannya dalam seluruh puisi yang terhimpun dalam buku Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?. Dari sudut ini, Kiki menjadi berbeda karena pilihannya menerbitkan satu buku dengan tema yang sangat personal, bertendensi sentimental: kenangan “aku” atas kota kelahiran, Ampenan.

Saya tidak hendak menghubungkan pernyataan terkait hal yang “berbeda” dari Kiki (di atas) dengan fakta unggulnya buku puisi Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? dalam Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Sebaliknya, banyak kemungkinan sudut penilaian yang dapat dipakai dalam melihat buku ini. Seperti Afrizal Malna (dalam epilog buku ini), misalnya, menyoroti keluwesan Kiki dalam memainkan bunyi, baris per baris, bait per bait. Bagaimana “pilihan kata ditempatkan sejajar dengan kata pendampingnya, tetapi bisa menghasilkan dislokasi makna antara satu sama lainnya.”

Itu salah-satu sudut pembacaan yang dipilih Malna. Dan inilah satu sudut pembacaan yang saya pilih: tema (penciptaan). Jika Malna mengungkap capaian estetik Kiki dalam berpuisi, saya mencoba menyimak objek penciptaan Kiki pada buku Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?, untuk kemudian melihatnya dalam konteks ragam tema penciptaan mutakhir.

Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?

Membaca buku Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari adalah membaca potongan-potongan narasi masa lalu sebuah kota tua melalui romantisme sang “anak kota”. Dalam puisi pembuka, misalnya, aku-lirik (untuk tidak menyebut “aku-penyair”) mencoba menunjuk sosok leluhur Ampenan, yang digambarkan sebagai lelaki bermata setajam belati, yang memberi nama bagi tanah asal, sesaat sebelum rombongan prajurit perang (barangkali Eropa?) datang. Inilah suatu variasi, dari beragam kisah asal-usul tentang Ampenan yang pernah ada: padahal ia telah mengerti, hari in, sebuah penakhlukkan/ akan dimulai dari setabir kebohongan/ maka ia tancapkan serat ampan ke getir pasir/ hanya untuk membuat tanda, nama tua sebuah kota (Variasi Hikayat Ampenan).

Narasi-narasi kecil sejarah (tertulis) juga dapat dirasa-rasakan secara samar, melalui peristiwa-peristiwa personal si anak kota: aku lirik. Kita dapat membayangkan suatu peristiwa kerusuhan yang tercatat dalam sejarah, misalnya, melalui baris-baris puisi “Januari; Ampenan, 171”: di bulan merah orang-orang/ melempar kaca sejarah/ kaca yang pecah disimpan di matamu/ setelah kerusuhan Januari.

Si anak kota bercerita banyak tentang orang-orang yang mengisi hari-hari semasa kecilnya, sebelum ia tumbuh dewasa dan pergi sebagai perantau. Ia bercerita tentang pamannya, rumah paman di tengah ladang/ tempat aku menginap sesekali/ dan mendengar suara-suara aneh malam hari/ seperti sekelompok hantu tengah menari (rumah ladang, paman kami). Lalu ada seorang teman bernama Siau Lim, yang bagi aku-lirik, Siau Lim seperti kota ini/ pucat dan kesepian (siau lim). Juga cerita tentang sosok bapak, seorang yang bekerja sebagai penjaga bioskop, tempat aku-lirik-kecil suka menghabiskan petang dengan menonton film. Katanya, bapakku bekerja di bioskop pinggir kota/ bioskop yang memutar film-film lucu/ di hari Sabtu (kenangan pada bapakku).

Dan cerita sampai pada Ida, gadis indo berambut merah. Dari cerita ini, kita mengetahui bahwa Ida adalah anak-angkat paman aku-lirik, dan sang keponakan ini jatuh cinta kepada Ida. Ia mengenangnya, di antara mereka/ kucium sepenuh duka cita/ rambut merahmu, Ida (rambut merah ida); dan aku meraba rambutnya, merah terang seakan baru terpanggang/ sirih pinang bilang, kami sebenarnya sedarah yang lama terpisah (ramalan sirih pinang).

Membaca keseluruhan puisi dalam buku Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari mengantarkan kita menyimpulkan bahwa, betapa Kiki sebagai penyair, menempatkan tanah asal (kota kelahiran) sebagai sasaran melankolia personal. Sesuatu yang juga dilakukan oleh banyak penyair lainnya. Namun, jika pada umumnya kampung halaman atau kota kelahiran sering dipuisikan sebagai sesuatu yang senantiasa molek dan menjadi objek kerinduan, Kiki menempuh kecenderungan berlainan. Dalam buku ini, Kiki, aku-lirik, adalah seorang perantau yang tengah mendaku peziarah, yang murung dan penuh kesedihan, di hadapan kemurungan kota kelahirannya, dalam sebuah momen kepulangan. Kiki, dalam buku ini, secara jelas dan terbuka mengumumkan kematian kota kelahirannya, kota yang kini dingin, terputus dari jaring masa depan.

Ampenan, kemana aku akan menjelang/ kota yang kian jalang melupakan semua yang ingin kukenang/ semua yang tak bisa lekang dari ingatan (Ampenan, kemana aku akan menjelang); Di Ampenan, apa lagi yang kau cari?/ kota tua yang hangus oleh sepi/ kali kecil menjalar di tengah mimpi/ di mana masa kecil mengalir tak henti (di ampenan, apa lagi yang kau cari?); daun ampan, daun ampan, tunjukkan padaku/ jalan ke Ampenan, tunjukkan padaku/ jalan ke lubang masa silam, yang hilang/ yang hilang ditengah halimun perubahan (Variasi Hikayat Ampenan).

 

Puisi yang Menolak Universal

Dalam perbincangan-perbincangan tentang puisi, salah-satu nilai puisi yang barangkali diyakini sebagian penyair adalah bahwa puisi bergerak dari yang personal ke yang universal. Maksudnya, selalu mungkin bagi penyair memiuh pengalaman personalnya menjadi pengalaman bagi semua manusia. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya individu-individu memiliki simpul bawah sadar bersama. Dan simpul bawah sadar, yang nyaris tidak tersentuh, itulah yang selalu diupayakan penyair untuk dicapai. Kota kelahiran, dalam puisi, senantiasa mungkin menjelma kota kelahiran semua orang. Begitu pula gejolak percintaan personal, jika digali (oleh penyair) sampai ke titik kesadaran paling bawah, akan menjelma sebagai gejolak percintaan semua orang. Itulah abstraksi pengalaman yang mungkin menyentuh umat manusia.

Coombes (1980: 42-43) mengemukakan bahwa dalam tangan seorang penyair yang bagus, imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahannya untuk mengintensifkan, menjernihkan, memperkaya; sebuah imaji yang berhasil menolong orang merasakan pengalaman penulis terhadap objek dan situasi yang dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat, ekonomis dan segera dapat kita rasakan dan dekat dengan hidup kita sendiri (Pradopo, 2009).

Pada titik inilah, Kiki secara jelas mengambil jalan lain. Ia tidak mengupayakan agar pengalaman atau kenangan personalnya menjadi milik semua orang. Ia tidak mengupayakan bagaimana Ampenan bisa menjadi kota kelahiran bagi semua orang. Semua itu tidaklah dilakukan Kiki. Sebaliknya Kiki berkata, “Saya tidak ingin melihat Ampenan dengan ‘mata kedua’, seolah-olah pengalaman nostalgia saya menjadi pengalaman orang lain, seolah-olah saya yang sekarang bukan saya yang dulu dalam konteks relasi dengan Ampenan.”

Bagi saya, itu adalah maklumat untuk pembaca, agar tidak memasuki narasi Ampenan selain dari pintu mata kenangan Kiki. Tidak akan memadai bila mengikutsertakan referensi semacam Wikipedia untuk membaca Ampenan di buku puisi Kiki. Itu akan sia-sia belaka, karena sekali lagi, tidak ada cara masuk lain, selain dengan menyimak kenangan yang digulirkan lewat penempatan aku lirik, aku penyair. Ikuti saja alur kisahnya. Dan jika ingin, ikuti suguhan permainan bunyi yang asyik dalam tiap-tiap baris Ampenan, sebagaimana ditunjuk Malna.

Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? adalah buku puisi yang didedikasikan untuk mengabarkan kematian sebuah kota, kota dengan riwayat “paling hidup” di masa lalu. Dan kisah-kisah kota tua itu—dermaga yang sibuk, orang-orang yang beragam, bioskop yang selalu ramai, pasar dan kampung nelayan yang meriah—adalah tempat di mana kenangan paling personal si aku lirik berjalin kelindan. Jadinya, mewujudlah puisi yang ingin mengabarkan nasib sebuah kota, dan lebih ingin lagi mengabarkan bagaimana “sang aku” menanggung pilu atas segala “referen ingatan” yang hilang ditelan gerak waktu.

Sebelum dan bersamaan dengan “zaman kepenyairan” Kiki, memang cukup banyak penyair yang menulis puisi tentang kota atau tanah asalnya. Namun, sebagaimana saya sebutkan sebelum ini, kota cenderung dihadirkan sebagai objek kerinduan panjang, di mana, dan ini lebih penting, kerinduan semacam itu sering kali mewakili sebagian besar kerinduan masyarakat urban atas kampung halamannya. Lain dari kecenderungan itu, Kiki, menulis kota dalam wujud realitas yang kian menyusut dan segera mati dalam riuh zaman, dan yang sekaligus menulis kematian kota lewat teropong ingatan masa kecil si aku-lirik yang sepertinya tidak bisa menjelma aku universal. Ketidakmungkinan aku-lirik menjelma aku universal ini, selain dikarenakan maklumat penyair sendiri (di dalam prolog), juga karena seluruh puisi memang berkisah tentang nama-nama—bibi, Ida, bapak, paman, Siau Lim, dan sebagainya—dengan sudut pengisahan yang cenderung eksklusif dan berjarak dari pengalaman orang-banyak.

Akhirnya, untuk membaca buku puisi Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?, bagi saya, pembaca (terutama pembaca yang bukan “anak kota” Ampenan) bisa mulai dari kesadaran seolah tengah memasuki sebuah kota asing dengan orang-orang yang tidak kita kenal. Kita bisa mendengar keterangan seorang pemandu, tentang orang-orang di kota itu, juga tentang kesan-kesan pemandu atas kota tersebut. Membaca buku ini, dibutuhkan kesediaan untuk mendengar atau menyimak, tidak cocok bila pembaca membacanya dengan sikap tendensius dan berharap mendapatkan ketersentuhan yang intim, sebagaimana pengalaman yang barangkali muncul dalam membaca puisi-puisi lain.

Maka, Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? adalah wujud kejayaan personalitas dalam puisi. Yang memerdekakan (?) puisi dari “tuntutan” menjadi universal. (*)

 

(Padang, November 2017)

Daftar Bacaan

Sulistyo, Kiki. 2017. Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari. Yogyakarta: BASABASI.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Saria, Rusli Marzuki. 2000. Monolog dalam Renungan. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Sebuah artikel: jalantelawi.com/2010/07/potret-penyair-muda-sbagai-si-malin-kundang/

Andesta Herli

Comments

  1. Siti Kurnia Reply

    Bahasanya terlalu tinggi untuk dibaca

  2. Afifah Rohmah Reply

    Kurang dapat memahami beberapa kata

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!