Tas: Gairah dan Hadiah

Tas itu gairah sekolah. Murid-murid ke sekolah membawa tas berisi buku dan alat tulis. Penggunaan tas itu belum lama. Pada awal abad XX, pemilik tas cuma bocah-bocah Belanda, Indo, atau dari golongan bergengsi. Pergi ke sekolah, mereka membawa tas. Mereka mau mencari ilmu, maju, dan modern. Tas menandai identitas dan kelas, berbeda dari nasib bocah bumiputra masih jauh dari tas, buku, dan bangku. Tas untuk wadah. Tas menggerakkan sejarah dengan peristiwa berangkat ke sekolah dan pulang ke rumah.

Pada zaman Indonesia berpisah dari lakon penjajahan, bocah-bocah diperintah ke sekolah. Indonesia tak boleh bodoh dan memalukan. Mereka ke sekolah membawa sabak, buku, alat tulis. Semua benda itu belum tentu masuk dalam tas. Mereka mungkin membawa dengan tangan saja. Tas masih benda mahal. Di mata murid miskin, tas mengabarkan kehormatan, kegirangan, dan kesenangan. Pemilik tas bukan bocah dari keluarga sembarangan.

Indonesia perlahan memiliki jutaan murid berangan pintar. Mereka ingin berjasa dan membangun negara-bangsa. Tas-tas tentu diperlukan di pengesahan sekolah memajukan Indonesia, dari SD sampai SMA. Mereka pun diinginkan melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka kelak bekerja dengan tas-tas berbeda bentuk dan pemaknaan. Tas paling didambakan mungkin tas dokter atau tas direktur. Tas guru diimpikan meski jarang tampak mentereng.

* * *

Pada masa 1980-an, bocah bersekolah lumrah memiliki tas. Sekian bocah memiliki tas tiga atau empat, dibedakan saat penggunaan untuk sekolah, piknik, atau bermain. Tas itu dimiliki dengan misi menggairahkan belajar dan permainan tanda sosial. Kita mengingat gambar ampuh di sampul buku berjudul Bahasa Indonesia tuntuk SD terbitan Depdikbud pada masa Orde Baru. Konon, gambar itu dikerjakan oleh Pak Raden. Lihatlah, 3 murid pergi ke sekolah. Mereka melintasi jalan rumputan dan tampak ada bunga. Tiga bocah berseragam, mengenakan sepatu, dan bertas. Dua tas pada dua bocah digantungkan di pundak. Seorang lagi beradegan membawa tas dengan tangan dijepit ke pinggul.

Di tas, mereka menaruh buku pelajaran, buku tulis, pensil, dan bolpoin. Tas itu nasib mereka menempuhi pendidikan di masa Orde Baru memiliki cita-cita mulia. Pemandangan bocah ke sekolah dengan tas jadi baku. Bocah ke sekolah tanpa tas menimbulkan curiga. Apakah mereka ke sekolah tapi tiada pelajaran dari guru? Mereka bakal bermain saja. Tas terlalu penting di capaian pendidikan nasional meski di sekian tempat bocah-bocah mengandalkan kresek atau karung kain bekas wadah terigu difungsikan untuk tas.

Tas-tas bagus ditawarkan ke bocah-bocah. Orangtua dituntut memenuhi permintaan bocah berdalih ingin bergairah ke sekolah. Kita mengetahui gejala itu dari iklan dipasang di majalah Hai, 12-17 Juli 1983. Iklan “Bersekolah dengan President.” Gambar berukuran besar menampilkan bocah-bocah membawa tas dan duduk di atas tas. Mereka berbusana rapi. Wajah-wajah mau pintar. Sekian bocah berdiri sedang membaca buku. Mereka berada di bawah pohon. Apa itu pohon pengetahuan? Batang atau dahan berdaun tak terlihat di iklan.

Isi iklan: “Orang tua yang bijaksana selalu akan berusaha meningkatkan kegairahan bersekolah dan semangat belajar putera-puteri mereka.” Tas menentukan gairah sekolah dan semangat belajar. Orang tua sanggup membelikan berarti bijaksana dan bertanggung jawab. Pembelian dengan harga tak pernah murah. Orang tua jangan ragu membuat anggaran pembeli tas. Ingat, tas itu bermutu: “Tas sekolah President-tas sekolah yang terkenal kuat, tahan lama dan bisa diisi banyak buku pelajaran dengan sendirinya merupakan pilihan terbaik bagi putera-puteri anda. Pilihan terbaik bagi anda pula karena keawetannya dan harganya yang pantas.” Para orang tua bingung dengan pembahasaan harga “pantas” untuk tas apik dan awet?

Bocah dijamin girang. Sekian buku bisa masuk. Dulu, pelajaran setiap haru belum memerlukan puluhan buku pelajaran dan buku tulis. Tas sekolah tak harus besar. Murid belum dikabarkan membawa tas seberat 20 kilogram. Jenis buku pelajaran belum tebal dan menggunakan kertas-kertas mewah. Berat bisa diperhitungkan dengan tenaga murid SD. Mereka membawa tas secara ringan. Keringat menetes dan capek gara-gara tas cuma milik murid-murid di Indonesia abad XXI. Mereka menanggungkan nasib “berat” di peningkatan mutu pendidikan. Kita jangan kaget melihat murid SD membawa tas berat naik ke lantai 3 atau 5. Kelas-kelas mereka ada di ketinggian. Tas turut naik-turun di tangga-tangga membikin raga letih. Tas-tas gampang rusak alias jebol. Buku-buku tebal, besar, dan berat memicu tas sulit bertahan setahun. Tas terlarang awet. Pada setiap tahun ajaran baru, murid-murid pamer tas baru.

* * *

Bocah gagal dibelikan tas baru oleh orang tua bisa membeli jajanan bernama Anakmas. Pada 1990-an, Anakmas itu kegemaran bocah-bocah di seantero Indonesia. Di majalah Bobo edisi 13 Agustus 1992, dipasang pengumuman besar: “Aha Anakmas bagi-bagi hadiah asyik.” Hadiah berupa televisi, sepeda, jam tangan, tas, dan kaus. Bocah jajan bisa beruntung mendapat hadiah. Iklan itu mungkin menganjurkan pada orang tua agar bijaksana: rajin memberi uang jajan ke anak agar berkesempatan dapat hadiah. Bocah bisa berimajinasi seperti gambar di iklan; bocah naik sepeda membawa televisi, tas, berkaus bagus, dan lain-lain. Gambar itu berisiko bagi keselamatan bocah di jalan.

Cara mendapatkan hadiah gampang. Bocah membeli Anakmas. Bungkus Anakmas berupa plastik jangan dibuang di sungai, jalan, atau selokan. Bungkuns-bungkus itu disimpan dengan baik. Ikutilah petunjuk: “Stop! Jangan buang-buang bungkus Anakmas. Lebih baik kumpulkan hingan kamu punya 4 (rasa apa saja). Lalu kirim ke PO Box 3300 JKS 12033 Jakarta atau ke kotak-kotak yang tersedia….” Bocah boleh mengidamkan tas warna-warni setelah jajan. Tas itu risiko jajan setiap hari.

Bocah-bocah masa lalu terbiasa mengingat tas adalah jajan(an). Kita membuka Bobo edisi 11 Juli 1991. Iklan jajanan memamerkan gambar tas. Iklan berseru sekolah tapi ada bujukan jajan. Simaklah: “Setelah menikmati libur kembali ke sekolah penuh semangat baru!” Tokoh di iklan bertopi, berjas, tangan membawa buku, dan bertas. Apa isi itu jajanan? Kata-kata di iklan: “Kembali ke bangku sekolah dengn jiwa dan raga segar. Kembali menuntut ilmu. Menghafal. Memecahkan soal hitungan. Membuat PR. Sambil belajar di rumah. Nikmatilah Nacky Snack. Lezat, gurih, renyah. Belajar menjadi tambah asyik.” Ajakan itu serius. Belajar tanpa bersantap jajanan mungkin lekas membosankan atau mengantuk. Belajar demi cita-cita pantaslah disokong dengan jajanan-jajanan. Semua demi kebaikan bersama.

Biografi bocah bersekolah mencatat sekian model tas. Bocah memiliki tas di peristiwa-peristiwa belajar. Tas turut merangsang capaian segala ingin dan kemajuan. Di Asia, bocah-bocah pada masa penjajahan memiliki cita-cita menjadi dokter. Profesi itu dikenal melalui lakon kolonial. Orang-orang Eropa berdatangan dan mengenalkan diri sebagai dokter, bertugas mengobati orang-orang sakit. Dokter dikenali dengan tas istimewa. Cita-cita itu pernah mewabah di India dan Indonesia. Penjajahan oleh Inggris dan Belanda mengenalkan profesi baru dan menjanjikan masa depan bermartabat. Bocah-bocah di negeri jajahan rajin belajar berharap bisa meneruskan pendidikan ke jenjang tinggi. Lulus jadi dokter.

Dokter itu tas. Kisa simak petilan dari novel Midnight’s Children gubahan Salman Rushdie. Omongan tokoh mengandung sinis pada tas dan profesi dokter di India: “Muslihat tas kulit babi jangak dari luar negeri penuh dengan orang asing. Tas orang penting. Sekarang, jika ada seorang yang patah tangan, tas itu tidak akan membiarkan dukun tulang mengikatnya dengan daun. Kini, seorang laki-laki harus membiarkan istrinya berbaring di samping tas itu dan menonton pisau potong datang dan membelahnya. Bagus sekali, apa yang diletakkan orang asing itu di dalam kepala anak muda kita. Aku bersumpah itu terlalu buruk. Tas itu harus dipanggang di neraka bersama buah pelir orang-orang kafir.” Tas itu dimusuhi di lakon pengobatan tradisional disingkirkan pengobatan modern oleh para dokter lulusan sekolah atau universitas diajar oleh orang-orang asing.

* * *

Pada masa berbeda, tas terus menjadi penting tapi tak selalu berkaitan sekolah. Abad XXI, abad genting bertema Bumi. Tas-tas jadi perhatian dalam ajakan mengurangi sampah plastik. Tas melampaui pengertian sekolah. Perempuan cantik dipilih sebagai Putri Indonesia dan Lingkungan menulis buku berjudul Tas Warna-Warni (2009) bagian dari serial “Aku Sayang Bumi”. Ia bernama Valerina Daniel.

Alkisah, ibu membuat tas belanja warna-warni. Tas itu membuat Nina kagum. Ia menganggap tas itu bagus. Ibu pun menerangkan bahwa ta situ dibuat dari plastik-plastik bekas. Plastik dipilih jadi bahan ketimbang jadi sampah sulit hancur di tanah. Plastik dan tas memicu keterangan demi nasib Bumi: “Nina sayang, Ibu sedang belajar untuk mengurangi sampah plastik di rumah. Ingat, plastik tidak bisa hancur sendiri oleh tanah yang ada di bumi. Perlu waktu sekitar 1000 tahun untuk menunggu plastik hancur secara alamiah.”

Nina mungkin mengerti jika ibu membuat tas warna-warni dari kumpulan plastik bekas. Ibu belanja ke supermarket tak mau menggunakan plastik ditawarkan kasir. Tas warna-warni itu wadah untuk belanjaan. Nina belum ada keinginan minta dibuatkan tas untuk ke sekolah. Tas warna-warni pasti membikin guru dan teman-teman penasaran. Tas mungkin tak kuat menanggung beban sekian buku pelajaran. Tas untuk sekolah dan belanja beda kekuatan. Cerita tas demi Bumi itu bermakna meski tak terlalu mengejutkan. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!