Tasawuf, Relasi Tuhan dan Manusia yang Intuitif

http://inpasonline.com

Apa yang diharapkan dari sebuah kitab wahyu bukanlah konsistensi logis yang mutlak, melainkan konsistensi terhadap dominannya gagasan. Para Nabi tidak menawarkan filsafat, mereka menawarkan kebijaksanaan dari bentuk tersebut, yakni sebuah hikmah yang berentitaskan kesucian dominan.

 

Antara Yang Terbatas dan Yang Tak Terbatas

Membincang tasawuf—sebuah disiplin ilmu yang berbicara tentang kesucian multidimensi; baik kesucian Tuhan, kesucian alam, terlebih kesucian manusia—tidak bisa lepas dari koridor ajaran agama Tuhan yang dibawa oleh manusia suci. Adalah Nabi Muhammad dalam hal ini.

Tidak bisa dipungkiri, meskipun Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul yang terakhir, pada kenyataannya “limit akhir pengutusan nabi-nabi” Tuhan ini hanyalah bersifat zhahir semata. Artinya ada eksistensi yang esensial yang jauh lebih penting, yaitu sifat kebatinan nabi. Pada akhirnya sifat kebatinan inilah yang sebenarnya menjadi penutup pengutusan nabi-nabi Tuhan.

Melalui tasawuf kita akan dihadapkan pada dua tipologi eksistensial; yang terbatas (al-mutanâhiy) dan yang tak terbatas (al-lâ mutanâhiy). Dimensi yang terbatas (limited) merupakan sebuah ke’ada’an yang bisa diindra, dinalar, dan dilogikakan. Zhahir yang dimaksud. Sementara dimensi yang tak terbatas (unlimited) adalah sebuah ke’ada’an yang tidak bisa diindra dan tidak bisa dilogikakan. Dalam kerjanya, dimensi limited berfungsi sebagai quantum untuk sampai pada dimensi unlimited.

Tasawuf tentunya bertitik tolak pada dimensi yang tak terbatas itu. Ini dikarenakan tujuan dari tasawuf adalah memproduksi kesucian manusia agar bisa sampai, mengerti, dan memahami ke’ada’an kesucian Tuhan.

Lalu dimensi unlimited sendiri terbagi menjadi dua model; pertama adalah perjalanan Wilayah dan yang kedua adalah perjalanan Imamah. Mengenal perjalanan pertama adalah syarat mutlak untuk memahami perjalanan yang kedua.

Perjalanan Wilayah merupakan pencarian objek hakikat ke’manusia’an. Ia merupakan gerakan mencari kesucian jati diri manusia dalam dirinya sendiri (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu). Perangkat yang dipakai adalah batin al-nash, bukan dzohir al-nash. Artinya manusia tidak cukup hanya dengan berbekal akal semata lantas menafsirkan teks-teks keagamaan. Ia harus menyelami samudra makna teks yang bisa direalisasikan dengan takwîl al-nash.

Dari perjalanan wilayah tersebut, kita dapat membedakan antara seorang faqîh—ahli disiplin ilmu fikih—dan seorang Sufî—ahli disiplin ilmu tasawuf—pada tataran penggunaan syariat. Syariat yang diaktualisasikan oleh seorang Faqîh adalah syariat yang bersifat vertikal. Sementara syariat yang diaktivasikan oleh seorang Sufî adalah syariat yang bersifat horizontal.

Jika manusia telah berhasil menyelesaikan perjalanan wilayah, maka manusia dituntut untuk dapat menyelesaikan misinya pada level berikutnya, yaitu perjalanan Imamah. Prinsip Imamah merupakan kelanjutan dari prinsip Wilayah. Manusia yang telah mengerti kesucian ke’manusia’annya akan bisa menemukan kesucian ke’ada’an Tuhannya. Manusia yang sudah berada pada level ini akan dapat melacak segala sesuatu dengan apa yang disebut cahaya ketuhanan (an-nûr al-ilâhiy).

Perangkat pengetahuan yang dipakai pada prinsip imamah bukan lagi indrawi logis atau syari’at tekstualis, melainkan penalaran intuitif (al-qalbu). Pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran intuitif ini adalah tentang ke’ada’an yang sepenuhya bersifat ketuhanan. Artinya, ia bisa melihat apa yang tak tampak. Ia bisa mendengar apa yang tak bersuara. Bahkan ia bisa mengerti tentang apa yang luput dari penghayatan sejati.

Dengan demikian, seseorang bisa disebut sufî jika ia benar-benar mengerti dan memahami bahwa sifat kefanaannya berbanding lurus dengan sifat kekekalan Tuhan. Jadi, intuisi bukan tentang bagaimana cara manusia mengindra, melainkan tentang kelihaian membaca hati dalam dirinya.

 

Relasi Antara Tuhan dan Manusia

Sebenarnya, pada zaman pra-Islam masyarakat jahiliah sudah mengenal Tuhan. Di kalangan masyarakat tipe ini, hierarki politeisme posisi tertinggi tampaknya diberikan pada Allah yaitu dalam kapasitas sebagai Tuhan Ka’bah di Makkah. Hanya bedanya mereka juga menyembah tuhan-tuhan yang lain dengan dalih menjadikan tuhan-tuhan yang lain tersebut sebagai mediasi untuk sampai kepada Tuhan Ka’bah. Konsepsi ini sangat jelas tercermin dalam al-Qur’an surah al-Zumar ayat 3, kita tahu sejumlah orang musyrik berkataKami tidak menyembah mereka (tuhan-tuhan) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.”

Sistem nilai religius kuno ini benar-benar terancam dengan pernyataan nabi Muhammad bahwa Tuhan tertinggi tidak hanya tertinggi secara relatif dalam hierarki ketuhanan, tetapi tertinggi secara Mutlak dan Esa. Pernyataan ini menurunkan martabat tuhan-tuhan ke dalam posisi batil. Jika orang-orang Arab pra-Islam menerima ajaran baru ini, situasi umum akan mengalami perubahan total dan akibat-akibatnya tidak hanya mereka rasakan secara relatif dalam batas-batas wilayah religius, tetapi secara praktis dalam semua bidang kehidupan, baik sosial bahkan individual. Maka tidak mengherankan bila bentuk perlawanan terhadap gerakan yang dipimpin Nabi Muhammad ini dengan sendirinya segera muncul dan berkembang.

Berangkat dari sejarah di atas, ajaran agama Nabi Muhammad harus memiliki sebuah konsep relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi ini tidak sederhana dan juga tidak unilateral namun bersifat ganda dan bilateral, dalam pengertian relasi yang timbal balik. Relasi antara Tuhan dan manusia dibagi menjadi empat:

Relasi Ontologis; antara Tuhan sebagai sumber eksistensi manusia yang utama dan manusia sebagai representasi dunia wujud yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Dengan istilah yang lebih teologis, hubungan Sang Pencipta (al-khâliq) dan yang diciptakan (al-makhlûq).

Relasi Komunikatif; di sini, Tuhan dan manusia dibawa ke dalam korelasi yang dekat satu sama lain melalui komunikasi timbal balik. Relasi komunikatif dibedakan menjadi dua tipe; yang terbahasakan (linguistik) dan yang tak terbahasakan (non-linguistik). Tipe komunikasi linguistik dari Tuhan ke manusia adalah wahyu/ayat-ayat Qur’aniyah dan dari manusia ke Tuhan adalah doa. Sedangkan tipe komunikasi non-linguistik dari Tuhan ke manusia adalah ayat-ayat kauniyah/kosmologi, dan dari manusia ke Tuhan adalah ritual ibadah atau yang lebih umum disebut sebagai praktik-praktik penyembahan.

Relasi Tuan-Hamba; relasi ini melibatkan di pihak Tuhan sebagai Tuan (Rabb), semua konsep yang berhubungan dengan keagungan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan mutlak-Nya dan lain sebagainya, sedangkan di pihak lain manusia sebagai hamba-Nya (‘ibâd), seluruh konsep yang menunjukkan kerendahan, kepatuhan mutlak dan sifat-sifat lainnya yang selalu dituntut pada diri seorang hamba.

Relasi Etik; relasi ini didasarkan pada perbedaan yang paling dasar antara dua aspek yang berbeda yang dapat dibedakan dengan konsep Tuhan itu sendiri, Tuhan yang kebaikannya tak terbatas, Maha Pengasih, Pengampun dan Penyayang di satu sisi, Tuhan yang murka, kejam, dan sangat keras hukumannya, di sisi lain. Demikian pula, dari sisi manusia terdapat perbedaan dasar antara rasa “syukur” dengan antonim negatifnya, “kufur”, di pihak lain.

Respons positif terhadap relasi Tuhan dan manusia akan melahirkan beberapa nilai; Pertama, respons positif dari relasi ontologis akan didapati pengakuan manusia terhadap Tuhan sebagai Pencipta, yakni Dia yang telah menganugerahkan manusia dengan karunia eksistensi dan wujud yang istimewa dan telah memberikan kehidupan dan menjaganya. Kedua, respons positif dari relasi komunikasi meliputi respons manusia secara suka-rela dan sepenuh hati terhadap seruan Ilahi dan mengikuti bimbingan-Nya menuju jalan keselamatan. Ketiga, respons positif kepada relasi Tuan-hamba: artinya manusia akan meninggalkan semua sisa jahiliah dan berbuat kepada Tuhan, Penguasanya, sebagaimana mestinya perbuatan seorang hamba. Dan keempat, respons positif terhadap relasi etik akan membidani lahirnya rasa syukur secara kontinuitas dan mengeksekusi rasa kufur.

Berdasarkan dari relasi antara Tuhan dan manusia di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia sangat harmonis di satu sisi dan sangat anarkis di sisi yang lain. Namun kita sebagai penafsir ajaran agama Tuhan hendaknya bisa mengambil dan menentukan sikap positif kita yang berangkat dari sifat positif Tuhan kepada kita.

Hijrian A. Prihantoro
Latest posts by Hijrian A. Prihantoro (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!