Tasik dalam Cangkirku
1
tasik yang semalam dirajam hujan
diam-diam menyesap sebaris ingatan
kalimat murung pemilik seribu gunung
di gurun para penggali pasir
bukit-bukit mengalun
ke ketiadaan abadi
mengucapkan selamat tinggal
pada para arwah di genangan sunyi
berabad upacara, rajah, dan doa
asap kemenyan menenangkan daun luruh
direngkuh akar-akar cahaya, kemuliaan mangsa
batu-batu merapuh
nyanyian jiwa-jiwa mati
gemuruh di derap mesin
merapal doa-doa penghancuran
banyak riwayat tak tercatat
pada perayaan kemusnahan puisi
saat kabut terus memekat
di kubur para penghayat ilusi
para peziarah membawa pulang nisan
bertuliskan nama-nama mereka
berarak ke arah kota
di mana wajah para pemimpin
terserak di remuk cermin
2
para petaruh datang telanjang
satu tubuh beribu bayang
dari daratan jauh
lidah mereka memanjang
melumat meja prasmanan
bukit-bukit asam manis
sawah-sawah bertabur kismis
angin menggiring ke mulut mereka
sepi yang sebenar-benarnya permata
batu-batu berderak ke dalam gerigi
pasir melikat menyusun tepi-tepi
akar-akar menjulur menuju niskala
di atas kubur-kubur
tetabuhan menggema
di petilasan para pitarah
taring berkarat jadi hiasan
bulan dalam kardus
lingkar emas kecemasan
diarak para pemilik kehilangan
lalu terberai dari tali ikatan
3
arak-arakan menikung
menuju gemerlap gelap
udara disesaki panji-panji
kemeriahan sunyi
orang-orang bertubuh setengah bayang
berjubah kulit genderang
dan cuaca buruk, juga binatang-binatang
bertanduk, membebaskan diri dari
lorong-lorong, seribu pekik
dibisikkan oleh mulut-mulut
pengunyah kehampaan
di gigil api wajah-wajah itu terbakar
menampakkan raut ramah kekosongan
melolong di atas puing-puing menara
purnama memercikkan darah
di tembok-tembok kota
tertanam berjuta mikrofon
mendesiskan berahi dan kemarahan
serakan mata saling bertaut geram
di jalan-jalan
4
di ruas Jalan Haji Zaenal Mustofa
sunyi nyalang di kelam suara
ketika puing mimbar diarak ke jalan-jalan
dimabuk iman dalam kemasan
pot bunga pecah, tiang lampu rubuh
duri-duri tumbuh di kulit aspal
serbuk kaca tumpah, setumpuk koran
di pembakaran, abu mengental di riak malam
tak ada pelajaran sejarah
dari peristiwa silam
toko-toko yang pernah hangus
oleh sebuah kerusuhan
adalah ruang kelas tempat setiap pelajaran
terpahat pada keping-keping recehan
5
di gerbang sebuah plaza
senja yang kian banal
menjelma jadi ribuan lampion
di bawahnya langkah-langkah berpacu
orang-orang membelah diri
untuk banyak hari yang tak sempat
termiliki. harga paling suram
dibubuhi nol sepanjang tangan
ruas kaki, dan tulang punggung
sedang kepala mereka dibiarkan menggantung
seperti lampion di lengkung suwung
tempat ke mana mereka akan kembali
ke satu detik yang tak pernah terpahami
6
mereka membangun taman
untuk seorang perempuan yang kelak
datang selepas tengah malam
di taman itu, syahwat tak lagi
terkait dengan naluri
keintiman bersabung pada tawa curian
atau dengus lapar dalam jalinan lain
di redup lampu ia sekadar bayangan
didekap hantu-hantu kesedihan
ia mengenal setiap rahasia
pada jasad yang tak dimilikinya
yang hanya dikenali di kedalaman cermin
saat azan melaung di awal pagi
ia reguk segala nyeri
pada segelas kopi murahan
memurnikan setubuh kepatuhan
7
betapa seru adu kemiri
di senda tawa para bangsawan
liuk sendu para penari
tuak tersaji dalam cawan
nira dalam peraman
kidung petani di pucuk kawung
lambat alun irama gamelan
rebung jiwa menjaul ke awang-uwung
di luar segala pesta
tuak memercik petak-petak huma
mencelup suwung ujung mantra
sukma yang fajar panen cahaya
di tanah Sukapura, dulu dan kini
lain cerita si tuak bestari
tak pernah ada sukacita yang berkawan
dengan raung mobil patroli
8
tasik dalam cangkirku
anak-anak berenang dalam lagu
telanjang di rindang petang
sayap yang terentang
antara dangau dan ladang
surau dan pematang
kepak malaikat yang jenaka
mengusap nakal rambut tembaga
pada saf yang tak pernah rapi
anak-anak sungai menggambar
surganya sendiri, sebuah lautan
dengan gemuruh doa dan nadoman
ya Mustafa, ya kekasihku!
masjid jami tanpa kubah
begitu sederhana bagai rumah
seribu hikayat beriak
dalam cangkirku
9
wangi bunga-bunga kopi
dalam lukisan akuarel
gemertak roda-roda lori
menyusuri rel yang kini tak ada lagi
anak-anak yang berlari mengejar
kembali ke usia yang sudah memar
hari-hari menua, geletar cambuk
di angkasa; tawa yang letih
di serbuk nyawa
bulir-bulir memerah
keringat merekah
di tirus wajah para petani
keindahan memutih
menjelma buih
menggulung seluruh curah hujan
udara sekering butir garam
dendang dan zikir
bersenyawa dalam cangkir
maut dan hidup terus menyala
di tiap tegukan terakhir
kepada mereka
riak tasikku mengalir
10
selamat ulang tahun, kotaku!
gerimis binal tersenyum
di tengah karnaval sunyi
sepanjang pandemi
seperti pelitur murah
pelabur singgasana sejarah
kemeriahan pidato berkisah
tentang julang pembangunan
di bawah kuasa korona virus
yang menghabiskan anggaran
selamat ulang tahun
kota yang bergaun spanduk diskon
dan papan iklan
tak ada kesenian hari ini
selembar poster buatan mahasiswa
terkulai di Jalan RE Martadinata
di dalam angkot sopir tua menggerutu
melepas masker dan mengisap
rokok terakhir
juga tak ada puisi
dari balik jeruji
yang puitis hanyalah grafik status
sepanjang pandemi
2019-2020
- Tasik dalam Cangkirku; Sebuah Sajak Panjang Nazarudin Azhar - 18 January 2022
novi
tasik dalam kenangan: balong, adu muncang, citapen, alun-alun, botram, pupujian
sae pisan puisina!
Galih Agus Santoso
Diksi yang ajaib dan sangat lezat untuk dinikmati, keren sekali.