Sumpeknya negeri ini, di antaranya, berkat anugerah serba-spaneng yang dibuahi oleh para ustadz karbitan yang menjelma guru agama baru di ruang publik secara mendadak. Mereka muncul di hadapan kita sekonyong-konyong tanpa kita ketahui latar belakang keilmuannya, di mana mereka belajar ilmu agama, siapa gurunya dalam deretan sanad-guru di nusantara, dan seterusnya. Tahu-tahu, mereka telah disebut ustadz; tahu-tahu, surban di kepala mereka sudah sebesar kubah masjid; tahu-tahu, ke sana-kemari menyeret dalil sambil mengangkat dagu dan memicingkan mata untuk suatu hal yang sebenarnya sungguh tidak berkaitan.
Padahal, gitulah, bacaan Arabnya masih megap-megap. Padahal, gitulah, ilmu tajwidnya masih berlepotan.
Anehnya, kedatangan para ustadz karbitan sebagai guru agama di ruang publik itu justru mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat luas. Anehnya, di zaman gadget gini, akal manusia, kok, malah semakin tidak sensitif menyaring segala sesuatu yang datang dalam kehidupan sehari-hari. Anehnya lagi, para jamaah mereka bahkan banyak yang berasal dari muslimat ini dan itu.
Memang, sih, dalam menyerap kebenaran, kita dianjurkan untuk tidak melihat dari siapa datangnya. Jika kebenaran ibarat telur, meskipun ia keluar dari pantat anjing, kenapa tidak kita ambil.
Tapi, tolong ya Allah, masa telur keluar dari pantat anjing? Tolong lagi, ya Allah, masa di zaman yang semakin canggih begini, saya belajar agamanya kepada ustadz karbitan? Apa sudah tidak ada lagi stok guru yang selevel dengan Gus Mus, misalnya? Atau, selevel Ustadz Wijayanto, lah, yang sangat sejuk, yang sekarang sudah bisa melepas peci di depan kamera, mirip Aa Gym dulu yang semula gagah dengan lilitan surban putih di kepala, lalu melepaskannya secara pelan-pelan seiring dengan menjamurnya cabe-cabean.
Fenomena ustadz karbitan yang lekas merasa “terpanggil” untuk menjadi guru agama di ruang publik ini jangan dianggap sepele, lho. Bangunlah terus pagar kecurigaan setinggi-tingginya atas kualitas, kapabilitas, dan integritas keilmuan mereka.
Kenapa?
Ya, itu tadi: latar belakang keilmuan yang tidak jelas, tempat belajar ilmu agama yang tidak diketahui, dan guru-guru dalam deretan sanad-guru di nusantara pun masih sangsi.
Jadi, kalau Anda saat ini punya balita, lalu ketika menyalakan televisi tiba-tiba muncul ceramah para ustadz karbitan tersebut, baiknya ganti channel televisi Anda lekas-lekas. Lindungi masa depan anak Anda dari bahaya laten para ustadz karbitan itu.
Bahaya laten? Mungkin Anda akan bertanya demikian kini. Di mana letak bahaya laten para ustadz karbitan itu?
Bahayanya terletak di mana-mana. Dan, semua bahaya itu berpangkal pada keburunya mereka terkenal sebelum pondasi keilmuannya setangguh karang.
Anda tahu, bagaimana setandan pisang yang belum matang harus menjalani takdir buruknya selama tiga malam dalam buntalan plastik karena keburu dijual oleh pemiliknya? Ya, begitulah nasib pisang karbitan para ustadz karbitan itu. Hanya dengan modal menjadi presenter televisi dalam acara dakwah selama 9 episode pun, misal, hari ini seseorang sontak menjadi ustadzah. Subhanallah! Sukses, ya, Say!
Sepengetahuan saya, seseorang barulah layak menyandang gelar ustadz kalau ia ahli agama. Ahli agama merupakan nama lain dari ulama. Ulama ialah pewaris Nabi. Dan Nabi, Anda tahu, hanya mewariskan dua hal kepada kita, yaitu al-Qur’an dan hadits. Itu artinya, sebutan ustadz hanya layak disandangkan kepada orang yang memiliki pengetahuan sangat luas tentang al-Qur’an dan hadits.
Makanya, tak perlu kaget jika suatu hari kita mendengar kabar tentang salah satu dari deretan ustadz karbitan itu terlibat penipuan bisnis, misalnya. Jangan heran pula jika suatu hari kita mendengar berita seorang ustadz karbitan ditangkap pihak berwajib karena menginjak leher salah satu jamaahnya, misalnya.
Yang begitu-begitu ya menjadi sangat wajar dilakukan oleh orang-orang yang fakir ilmu, yang sedihnya diteladankan oleh mereka yang keburu menyandang ustadz. Marwah ustadz pun jadi cedera. Maka, demi kemajuan bangsa dan negara, saya punya saran kepada spesies begituan: mlakuo sing adoh, pulango rodok bengi, bikino kopi sing rodok kentel.
Lalu, silakan Anda perhatikan sendiri para ustadz karbitan saat berdakwah: apa yang disampaikan lebih banyak daripada yang diketahui.
Umumnya, materi dakwah yang disampaikan begitu sibuk dengan kulit, lalai pada isi. Ya itu mudah dimafhumi sebagai akibat dari gaya menafsirkan dalil secara tekstual par excellence dan mengabaikan substansi atau pesan moralnya. Wajar, fatwanya menjadi sering kali kontraproduktif.
Larangan selfie, misalnya. Fatwa ngawur ini didasarkan pada pertimbangan mudharatnya yang lebih banyak daripada manfaatnya. Pemfatwa mengasumsikan, jika Anda selfie, ujung-ujungnya pasti terperosok dalam perangkap takabur, riya’, dan sedikitnya ujub.
Saya heran benar. Asumsi semacam itu dasarnya apa? Dari mana ia yakin bahwa seseorang telah takabur, riya’, atau ujub ketika selfie? Bukankah takabur, riya’, atau ujub itu urusan sikap, bukan perilaku? Bukankah sikap (batin/hati) itu sangat abstrak dan kasat mata? Bukankah menghukumi gerak hati sama konyolnya dengan memenggal tangan seseorang yang baru sampai pada niat merampok istri orang?
Belum lagi ribut-ribut soal langgam qira’ah. Jawa dan Arab kok dipertentangkan kayak Borjuis versus Proletar gitu lho, heran saya. Ini gimana terus, Wi?
Lalu yang tak kalah seramnya ialah merebaknya perilaku saling mengafirkan, menyesatkan, bahkan menerakakan kelompok lain yang berbeda paham atas suatu persoalan yang sesungguhnya bermula dari kecenderungan suatu kelompok untuk memberhalakan kebenaran (kebenaran objektif) atas corak tafsir kelompoknya sendiri.
Gaya seram beginian pastilah karena belum pernah kenalan sama Imam Syafi’i atau Kuhn. Kata Kuhn, ini saya kutip dari Berhala-Berhala Wacana (2015: 13), kebenaran objektif tidak pernah ada, yang ada hanyalah paradigma (konsep, wacana) tentangnya. Sebuah wacana karenanya tak lebih dari sebuah kesepakatan paham dalam sebuah komunitas masyarakat.
Kelompok yang menjadi korban pemberhalaan kebenaran tentu saja emoh dituding sesat dan kafir. Karena memang status kafir atau sesat itu hak prerogatif Tuhan. Lha ya siapalah orangnya yang sudi dikafir-kafirin padahal ia rajin tadarusan. Akibatnya, bentrok tak terhindarkan. Satu kelompok dengan kelompok lainnya sesama muslim saling membawa pentungan. Atau, setidaknya, ribut debat di socmed. Sementara itu, di seberang sana, umat lain sudah bicara tentang cara hidup di Mars.
Subhanallah, beragama kok tegang! Setahu saya, tegang itu ada tempat khususnya lho.
Sumber gambar: pks-kalianyar.blogspot.com
- Koreksi Radikal atas Narasi Sejarah dan Kebudayaan Islam Klasik - 18 February 2017
- Alasan-Alasan Mengapa Felix Siauw Enggan Mudik - 23 July 2015
- Tegangan Tinggi Ustadz Karbitan - 18 June 2015
N. Firmansyah
Saya jadi malu habis baca ini. Malu kenapa ada geng bersurban yang anarkis tapi mengatasnamakan agama. #eh itu di artikel satunya, ya, maaf.