Ke mana rasa malu manusia sekarang ini? Manusia telah kehilangan isi kepalanya. Begitu bangga dengan kelakuan busuk mereka. Lihat kelakuan para artis di televisi. Masih bisa tertawa menceritakan kisruh rumah tangga mereka yang berada di ambang perceraian. Atau kasus perselingkuhan sengaja digembar-gemborkan untuk menaikkan pamor mereka di televisi.
Para petinggi negeri ini juga ikutan latah bertindak konyol. Mereka tak ubah seperti anjing jalanan, begitu rakus memakan uang rakyat. Ketika kelakuan busuk mereka tercium khalayak ramai, mereka akan melempar kesalahan pada orang lain.
“Bukan aku pelaku korupsi itu. Aku hanya korban fitnah.”
Mulut busuk mereka akan berucap seperti itu di hadapan media, berusaha menyucikan diri. Ketika tak bisa lagi mengelak, mereka akan menangis saat digiring ke balik jeruji besi. Dengan wajah memelas, meminta maaf pada rakyat atas kekhilafannya. Tapi tahukah kalian? Itu hanya topeng para petinggi negeri. Di balik jeruji besi telah menanti tempat tidur elite lengkap dengan peralatan fitnes. Setelah kasusnya tidak lagi tercium media, para koruptor akan keluar diam-diam dari pintu belakang penjara. Mereka bebas jalan-jalan ke luar negeri. Alangkah enaknya jadi koruptor. Di luar sana, ada rakyat miskin dipenjara bertahun-tahun hanya karena mencuri sebiji kapuk atau buah kakao.
Bila manusia sudah tak punya rasa malu, apa gunanya pakaian yang melekat di tubuh. Sudah! Kita bertelanjang saja. Lagi pula, meski tubuh dibalut pakaian mahal yang harganya bisa mencapai ratusan juta, tetap saja kita dengan entengnya memamerkan kelamin di depan umum tanpa malu sedikit pun. Masih ingat dengan video porno seorang aktris bintang iklan sabun bersama vokalis band itu? Seluruh rakyat Indonesia tahu bagaimana bentuk pohon milik si vokalis band dan seberapa rimbun belukar di kebun milik bintang iklan sabun itu. Pun video mesum milik beberapa orang petinggi negeri ini jadi tontonan gratis rakyat. Bagaimana kalau pakaian hilang saja dari dunia ini. Lalu, masih beranikah kita menampakkan diri pada orang lain?
*
Sinar mentari menyusup dari terai jendela kamarku. Silau. Aku yang biasa tidur telanjang menjadi kepanasan. Begitu bangun, mendapati tubuhku telanjang bulat dengan kelamin setengah ereksi. Selimut sudah tidak lagi melekat pada tubuhku. Pasti akan telat tiba di kantor. Bila hal seperti ini terjadi, langsung teringat nasihat ibu: Menikahlah, biar ada yang mengurusmu.
Segera melompat dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. Kuhidupkan shower. Tubuhku terguyur rata, memberi rasa dingin sampai ke jari-jari kaki. Tidak biasa mandi hanya tiga menit. Mataku terbelalak ketika membuka lemari pakaian. Ke mana semua pakaianku? Siapa yang mencuri? Tidak ada sepotong pun yang tertinggal. Dasar maling kurang ajar. Bagaimana aku berangkat kerja?
Aku panik. Mataku mengintip dari jendela. Di atas trotoar di bawah sana, orang-orang berlalu-lalang dengan bertelanjang tanpa risih. Cuek satu sama lain. Barangkali aku telah terlempar ke zaman batu. Aku membuka pintu apartemen, lalu menyembulkan kepala. Tubuhku yang telanjang kusembunyikan di balik pintu. Di koridor, sama saja seperti aku lihat di atas trotoar tadi.
“Mari berangkat, Pak!” ujar Rini ketika melihat kepalaku menyembul dari balik pintu. Kebetulan, kami bekerja di perusahaan yang sama. Rini menempati apartemen tepat di sebelahku. Dia sangat cantik dan selalu memakai busana rapi setiap berangkat kerja. Namun kali ini, dia tidak mengenakan sehelai benang pun. Aku bisa melihat dadanya yang kenyal. Putingnya menguncup berwarna cokelat-kemerahan. Mataku beralih ke pantat bahenolnya. Oh Tuhan, mulus sekali bagai pantat baby. Demikian juga cela yang tersembunyi di sudut paha. Masih kencang. Belukar dirapikan, membuatnya terlihat semakin seksi.
“Mari berangkat bareng, Pak!” ujar Rini sekali lagi sembari menarik tanganku. Tubuh telanjangku langsung terpampang di hadapan Rini. Aduh, malunya! Rini pasti melihat tiang listrikku dipenuhi belukar. Hampir tiga minggu tidak merapikannya. Waktuku habis tersita menyelesaikan tugas kantor yang menumpuk. Namun dia tidak mempermasalahkan tubuh telanjangku. Ah, bodo amat dengan semua ini. Toh, semua orang bertelanjang. Akhirnya memberanikan diri berangkat ke kantor tanpa berpakaian.
Sebelum masuk ke ruang kerja, aku berlari ke toilet karena kebelet pipis. Di depan pintu toilet, bertemu dengan sahabatku, Dion. Dia sedang menyetubuhi Renata, seketarisnya yang cantik itu. Hendak berbalik arah karena malu. Namun Dion dengan santai menyapaku tanpa canggung sedikit pun.
“Hai, Bro, sudah datang?” ujar Dion. Pinggulnya maju-mundur di belakang pantat Renata yang tengah nungging. Aku masuk ke toilet tanpa menanggapi omongan Dion.
Dalam toilet, kembali mataku terbelalak. Asep, seorang cleaning servise yang selama ini terlihat culun, tengah membaca majalah porno sembari memainkan kelaminnya. Dia tersenyum ketika mata kami bertatap. Mengapa manusia semakin bejat? Aku memilih keluar dari dalam toilet. Sesak pipis sedari tadi aku tahan hilang sudah. Buru-buru berlari menuju parkiran. Aku lebih baik pulang.
Masih banyak hal bejat lain aku temukan di sepanjang jalan. Semua itu buatku ingin muntah. Ada sepasang homo berhubungan intim di sebelah tiang lampu merah. Ibu renta yang digauli beramai-ramai oleh anak sekolah di halte. Atau penjual koran yang memerkosa seekor anjing di depan Alfamart. Langsung melompat ke ranjang begitu tiba di apartemen. Kututup tubuhku dengan selimut. Merasa jijik dengan semua yang kutemukan di luar sana. Mataku terpejam. Pening seketika menyerang.
Handphone-ku berdering. Masih setengah sadar, tanganku meraba-raba ke meja di sebelah ranjang tempat handphone-ku berada. Panggilan dari sahabatku Dion, bilang, setengah jam lagi ada rapat. Apa-apaan ini! Satu jam lalu kami bertemu di depan pintu toilet. Dia asyik menggauli sekretarisnya sehingga lupa memberi tahu tentang rapat itu. Setelah aku pulang, baru ditelepon. Urusan kelamin membuat otaknya pangling.
Aku bangkit dari ranjang. Kembali menatap tubuhku telanjang bulat. Akankah kembali ke kantor tanpa berpakaian? Andai mau berpakaian, aku pakai baju apa? Lemari sudah kosong dibobol maling. Kusambar tas kerja dari lantai yang tergeletak begitu saja. Keluar apartemen dengan berpura-pura percaya diri tanpa pakaian. Meski semua orang bertelanjang, aku masih risih dengan semua ini.
“Mengapa Bapak telanjang?” teriak Rini. Dia baru keluar dari apartemennya. Rini menutup mata. Aku menjadi malu melihat Rini dengan pakaian rapi seperti biasa. Buru-buru masuk kembali ke apartemen. Kusibak gorden jendela. Di atas trotoar di bawah sana tampak orang-orang berjalan tergesa. Mereka semua berpakaian seperti biasa. Kubuka lemari. Semua pakaianku ada di sana.
- Janda Cantik Bernama Rengga - 24 December 2021
- Mereka Pernah Hidup di Masa Lampau - 19 July 2019
- Telanjang - 31 August 2018