Judul Buku : Tentang Kucing – Sebuah Memoar
Penulis : Doris Lessing
Penerjemah : An Ismanto
Tebal : 255 halaman
Terbit : Cetakan Pertama, Desember 2016
Penerbit : Penerbit Basa Basi, Yogyakarta
Untuk apa berpayah-payah mengeluarkan biaya, waktu dan tenaga yang relatif tidak sedikit untuk binatang kesayangan? Lalu mengapa seekor anak kucing bisa melahirkan kebahagiaan, bahkan mampu membangkitkan semangat juang seseorang?
Memelihara binatang kesayangan yang didomestikasi, tidak cukup lagi dianggap sebagai kegiatan pengisi waktu luang. Mereka, para binatang kesayangan, adalah anasir hayati yang mempunyai perbedaan dalam bentuk fisik, kondisi biologis, tata kehidupan, dan bahasa dengan pemeliharanya. Mereka dinamis, berkembang biak, tidak selalu bisa tepat sesuai ‘kemauan’ pemeliharanya. Para pencinta binatang kesayangan selalu punya banyak jawaban untuk pertanyaan tadi di atas, akan tetapi tak lantas akan mudah dimengerti oleh orang kebanyakan.
Buku Tentang Kucing, memoar karya Doris Lessing (lahir 22 Oktober 1919, wafat 17 November 2013) adalah salah satu yang berupaya mengurai misteri hubungan manusia dengan binatang peliharaan, terkhusus kucing. Lessing memosisikan dirinya sebagai juru catat yang bersentuhan langsung dari jarak terdekat, sekaligus mengamati dari jarak jauh. Ia juga memelihara, serta merawatnya dengan segenap hati. Dari sejak ia kecil tinggal bersama orang tuanya, hingga sempat jeda puluhan tahun menunggu saat di mana ia bisa berbagi rumah dari hasil dari kerjanya sendiri.
Lessing merasa terikat dengan kucing. Kesemuanya terekam menjadi potongan biografis yang melibatkan kelima indrawi dan hubungan antarperasaan.
***
Lessing kecil hidup di lingkungan perladangan di Rhodensia (Zimbabwe), Afrika, tahun 1920-an. Sejak saat itulah Lessing sudah berkarib dengan kucing yang didomestikasi, kucing liar, binatang semiliar, dan kehidupan alam Afrika. Kesemuanya kemudian membentuk pribadi dan pemikirannya dalam berkarya.
Saat perkembangan kucing liar tak terbendung hingga mencapai 40 ekor, keluarga Lessing memang tidak langsung menekan seluruh jumlah kucing. Kendati sempat terjadi pembantaian tak terencana, sang ayah merasa ada sesuatu yang mendera jiwanya, tangannya masih gemetar… “Itu tidak boleh terjadi lagi.” (hal. 23).
Ada tawar menawar antara logika dan hati nurani saat menghadapi kenyataan bahwa kondisi kucing telah menjadi hama. Lessing mencatat apa adanya, semisal contoh ia menceritakan penggunaan kloroform yang sempat menjadi salah satu jalan keluar ketika perkara jumlah tidak lagi bisa dianggap sebagai hal sepele. Di pihak lain ada rasa haru dan perlawanan mental yang tak kalah kuatnya. “Hati ibu lembut dan tidak tega menenggelamkan seekor anak kucing,” tulis Lessing di halaman 19.
Lessing menggambarkan hubungan dengan kedua orang tuanya terkait dengan kucing. Kegemarannya memungut seekor anak kucing liar yang kelaparan kerap menjadi perselisihan dengan orang tuanya. Tapi setiap menatap mata anak kucing telantar, Lessing merasa ada yang perlu diperjuangkan. Terulang lagi, bahkan ketika ia terbaring sakit. Tak hanya berbagi makanan, tapi berbagi kehangatan, kasur, selimut dan bantal, serta rasa sakit (hal. 25). Kemudian ia berjanji di dalam hati, “jangan pernah lagi” (hal. 23 dan 26), tapi ia tak kapok untuk melanggar lagi. Kebiasaan ini masih terus berlanjut sampai usia dewasa.
Perbedaan cara pandang antara kesenangan (anak) dan pertimbangan logis/ekonomis (orang tua) dengan hewan kesayangan ini mengingatkan pada novel The Yearling (MK. Rawlings, 1938). Lessing adalah salah satu dari generasi di mana The Yearling menjadi bacaan favorit anak dan remaja di era peralihan Perang Dunia. Ia lahir dari gesekan antara hancurnya ekonomi dunia dan rasa haus akan perdamaian (cinta kasih). The Yearling mengisahkan kehadiran seekor anak rusa yang didomestikasi dan perbedaan cara pandang anak-orang tua dari keluarga petani yang tengah menghadapi badai ekonomi.
Pasca Perang Dunia, Lessing hijrah ke London. Ia sempat merasa jadi makhluk asing. Kemudian aku tinggal di sebuah rumah di negeri kucing. Rumah rumahnya tua dan memiliki kebun sempit dengan dinding (hal. 49). Kucing bagi Lessing ibarat sebuah jalinan yang menghubungkan antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Dari kucing Lessing bisa berbincang dengan tetangganya, juga berjumpa dengan orang yang sebenarnya sudah tinggal lama di wilayahnya. Lessing jadi lebih mendalami kejiwaan seorang penjual sayur dekat flatnya yang begitu tidak peduli (untuk tidak menyebut membenci) pada kucing.
Sebagai pencinta kucing, Lessing mengurusi semua hal kebutuhan binatang kesayangannya itu mulai dari memberi makan, mengurusi kotorannya, mengatasi masa berahi dan membawa ke dokter hewan ketika mereka sakit. Semua jenis pertemanan terbentuk lantaran sakitnya hewan ini, tulis Lessing (hal. 87). Di sana Lessing dan pasien lain melakukan proses toleransi kepada seorang ibu tua dengan anjing buldognya di tengah musim dingin yang mencekam, kemudian mengizinkannya melewati antrean agar tidak kedinginan di luar (hal. 88).
Kendati merasakan kerepotan yang sangat luar biasa, Lessing tidak selalu melakukan steril pada kucingnya. Pertimbangan ini melawan keumuman pemelihara kucing di London era 50–60an. Dengan lahirnya anak kucing, Lessing memberikan penghiburan untuk pasutri tua yang kesepian (hal. 61), memberikan “seorang teman” untuk si bujang lapuk (hal 38-39), dan yang paling menonjol adalah bagaimana ia mencarikan “rumah” untuk anak kucing yang siap diadopsi.
***
Terbagi dalam tiga bagian, dengan setiap bagian berisi hubungan jangka panjang antara Lessing dengan kucing. Pada Bagian Pertama, “Khusus Tentang Kucing”, menceritakan masa kecil Lessing dan seluk-beluk pengamatan kucing. Sedangkan pada Bagian Kedua, “Rufus Sang Penyintas”, adalah catatan mengenai penyelamatan kucing malang bernama Rufus.
Ada kejanggalan dalam edisi terjemahan ini, di mana penulisan nama kucing milik Lessing di seluruh teks buku tertulis “El Magnificio”. Begitu juga untuk judul pada Bagian Ketiga tertulis menjadi “Masa Tua El Magnificio”. Dalam edisi asli On Cats (HarperCollins, 7 Oktober 2008), nama kucing tersebut adalah El Magnifico, dengan penulisan judul Bagian Ketiga “The Old Age of El Magnifico”. Setiap nama kucing selalu punya cerita dan makna buat Lessing. Untuk kucing paling dominan di rumahnya itu diberi nama El Magnifico, yang mempunyai arti semirip The Magnificent (hal. 183).
Kemampuan kebahasaannya yang kelas dunia, membuat Lessing begitu fasih dalam menggambarkan jenis, bentuk fisik/biologis/habit/psikis bangsa kucing dengan deskripsi yang mudah dicerna pembaca. Di beberapa bagian, ia bersikap sebagai juru cerita yang menghantarkan berbagai peristiwa yang ia alami. Misalnya saat kucingnya yang bernama Charles baru saja pulang bermain dari kebun, Lessing meyakinkan pembaca bahwa Si Charles bicara secara langsung, “…kalian pasti merindukan aku! Bayangkan apa yang telah kualami, kalian pasti tidak akan percaya…” (hal. 189).
Peraih Nobel Sastra 2007 ini begitu lihai memainkan situasi dan suasana dengan pilihan kata yang lincah. Tak terasa ketika ia membahas kucing dalam satu buku, sesungguhnya ia tengah membahas manusia dan kehidupannya. Hampir tidak ada kritik tajam atau sikap skeptisme sebagaimana salah satu ciri khas dalam deretan karyanya. Sedikit berbeda dengan karya novelnya yang terbilang lantang menyuarakan hak kaum minoritas dan perempuan misalnya The Golden Notebook (1962), dalam kumpulan catatan tentang kucing ini Lessing terasa lebih hangat dan mengalir apa adanya.
Kehadiran buku yang tergolong klasik ini masih relevan dibaca semua kalangan, apalagi generasi milenial yang melahirkan banyak pemimpin muda. Mereka akan ikut menikmati proses kreatif seorang Lessing yang bukan hanya melahirkan puluhan karya kelas dunia, tapi dihormati berkat “suara” dalam karyanya. Dalam memoar mungil ini, Lessing seperti mengingatkan kepada pembaca bahwa hubungan antara manusia dan binatang kesayangannya, terkhusus kucing, adalah tahapan mengenal lingkungan dengan proses berbelaskasih.
- Tentang Kucing, Tentang Manusia - 29 April 2017