Tentang Seorang Perempuan Bernama Naila

20160908_165315
instagram: @avifahve

Maret, 2013

Hari ini pun tiba; saat aku harus meninggalkan Naila untuk waktu yang tidak sebentar. Bahkan, menurutku sangat lama. Tapi, sungguh, aku pasti akan kembali. Aku sangat ingin menjadikannya sebagai rumahku. Rumah tempatku kembali. Tak peduli sejauh mana pun aku pergi, Naila akan menjadi satu-satunya alasan kepulanganku nanti. Mungkin semua ini terdengar berlebihan. Namun, tak ada lagi cara yang bisa kulakukan untuk menunjukkan perasaan ini untuknya, seorang wanita nyaris sempurna yang telah membuat lelaki ini jatuh cinta berulang kali. Setiap hari.

Bandara Adisucipto tak pernah lebih menyesakkan dari ini. Bukan, bukan karena ramainya pengunjung dan suara gaduh puluhan roda troli yang diseret ke sana-kemari, tapi di tempat ini aku akan meninggalkan perempuan yang sejak tadi tak sekali pun melepas genggaman tangannya di tangan kiriku.

Sebelum berangkat, kupeluk Naila di antara puluhan orang yang berlalu-lalang. Isak lirihnya terdengar jelas meski berbaur dengan riuhnya bandara.

“Jaga dirimu baik-baik. Tunggu aku pulang,” bisikku, di sela wangi rambutnya.

Tubuhnya berguncang seiring tangisnya yang pecah di pelukanku. Demi apa pun, aku tak ingin pelukan ini berakhir. Meski mungkin tak pernah cukup, aku masih ingin lebih lama lagi bersamanya.

“Aku akan kembali untukmu. Sebenarnya… aku tak ingin membuatmu menunggu. Tapi aku tak punya pilihan.”

“Aku juga tak mau secengeng ini, tapi juga tak punya pilihan lain selain mencintaimu.”

Terpikir olehku betapa tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah usaha menjaga sepasang hati yang terpisah ribuan mil agar tetap berdekatan. Agar rasa itu tetap sama seperti saat terakhir kali tangan kami saling menggenggam dan dua pasang mata yang menatap satu sama lain.

 

Oktober, 2014

“Sama sekali belum ada rencana untuk pulang?” Raut cantik Naila memenuhi layar 14 inci di hadapanku.

Aku menghela napas berat, lalu mengalihkan pandangan, seolah menemukan jawaban dalam secangkir kopi yang sudah kehilangan asapnya di mejaku.

“Meski hanya sebentar?” Naila tak menyerah. Dia masih berharap mendapat jawaban untuk pertanyaan yang sudah puluhan kali dilontarkan selama sebulan terakhir.

“Iya, aku pasti pulang…, tapi nanti, ketika semuanya sudah selesai di sini,” jawabku kemudian, sambil meletakkan sebatang pensil yang sedari tadi menggeliat di jemariku. “Di situ sudah larut malam, kan? Tidurlah.”

Menit-menit berlalu dalam keheningan. Aku dan Naila sama-sama larut dalam diam. Lalu, tanpa sepatah kata pun wajahnya menghilang begitu saja dari layar monitorku. Bahkan aku belum sempat mengucapkan selamat tidur. Aku tahu Naila sedang kesal, marah, kecewa, atau apa pun itu.

Andai kamu tahu, Nai, aku juga merindukanmu. Aku sangat ingin pulang dan menemuimu…. Berpisah denganmu sama sekali bukan sesuatu yang kuinginkan sejak pertama kali kusadari bahwa hanya kau yang ada dalam pikiranku.

Seketika, berbagai pertanyaan bermunculan di benakku. Bagaimana seandainya tiba-tiba perasaan Naila berubah dan dia tak mau lagi menunggu? Bagaimana jika ada orang lain yang membuatnya lebih merasa nyaman dan selalu ada untuknya?

***

 

Februari 2015

Belakangan ini Naila lebih banyak diam. Bahkan hanya sesekali membalas pesan singkatku.

“Saat ini, terlalu banyak hal yang kupikirkan,” sahutnya pelan pada suatu kesempatan kami bertatap muka melalui Skype.

“Maafin aku yang belum bisa ada di sana bersamamu.” Semoga Naila tidak bosan mendengarnya. Aku selalu mengucapkan kalimat itu ketika Naila sedang menghadapi masalah. Kupikir itu sudah cukup untuk membuatnya tenang. Merasa bahwa aku masih bisa memberinya perhatian meski dari jauh. Sampai dua hari kemudian, Naila mengirim pesan melalui email.

Bagaimana jika aku tak sanggup lagi menunggumu? Bagaimana seandainya saat kau kembali nanti, aku sudah jadi milik orang lain? Kau tahu, bagiku menerima orang baru sama sulitnya dengan melepaskan sesuatu yang orang lain bilang tidak pasti–kamu. Itu satu paket. Lagi pula, bagaimana bisa aku membuka hati untuk yang lain jika aku belum sanggup berhenti mengharapkanmu? Konyol memang jika kubilang cinta ini terlalu besar kepadamu, bahkan mengalahkan ribuan kilometer jarak yang saat ini membentang di antara kita. Siapa pun, siapa pun pasti akan mengatakan aku bodoh karena membuang terlalu banyak waktuku untukmu yang… yah sangat jauh dariku dan tak pasti kapan akan datang untuk membawa hubungan kita ke jenjang yang lebih serius. Orang tuaku ingin aku segera menikah!

 

Desember, 2016

Sepanjang penerbangan dari Kuala Lumpur ke Jogja, aku duduk bersama seorang pria Malaysia yang sangat ramah dan lancar berbahasa Indonesia. Kami membincangkan banyak hal. Aku bercerita tentang kepulanganku dari Jerman setelah tiga tahun meninggalkan Indonesia, dan pria itu berkisah belum lama menikahi wanita cantik yang ditemuinya satu tahun lalu. Aku seperti melihat kilatan penuh bahagia di mata pria itu ketika menceritakan tentang istri yang sangat dicintainya.

“Saya menyukainya saat pertama kali bertemu. Saya hanya butuh beberapa bulan untuk mengenalnya lebih dekat, lalu melamarnya untuk menjadi istri saya. Karena saya pikir buat apa mengulur waktu. Wanita baik dan menarik seperti dia sangat layak dimiliki oleh pria normal mana pun. Saya khawatir akan kehilangan kesempatan jika membuatnya menunggu terlalu lama.”

Kulihat Naila di antara kerumunan orang yang menunggu di luar pintu kedatangan. Wajahnya… ah, terlalu manis untuk kugambarkan dengan bahasa apa pun. Seperti perasaanku kepadanya, kecantikan Naila tak lekang digerus waktu. Masih seperti tiga tahun yang lalu. Saat terakhir kali aku meninggalkannya di bandara ini. Dengan wajah semringah, Naila melambaikan tangan. Seorang lelaki berbadan tegap, yang tadi duduk bersebelahan denganku di pesawat, menghampiri dan mencium kening Naila. Itu suaminya!

Mataku mengerjap. Hujan baru saja reda. Secangkir kopi di genggaman tak lagi hangat. Ternyata sudah hampir tiga puluh menit aku mengenang Naila dalam diam.

Avifah Ve

Comments

  1. Diyya Reply

    Ajib! Buat kopi lagi saja, Man. Biar bisa lebih lama mengenangnya dalam diam 😀

  2. Bernando J. Sujibto Reply

    ini kisah yg bikin lumpuh orang-orang yang jauh dari kekasihnya, macam aku. aku kok seperti baca kisahku sendiri hiks… Vip, tulis lg yang lebih mellow ya :p

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!