Teologi Belah Bambu

annebowen.ca

Cara orang membelah bambu, satu sisi diangkat dan satu sisi lainnya diinjak, mengingatkan saya pada tren beragama hari ini yang makin kental memperagakan hal serupa. Sisi-sisi yang relevan dengan kepentingannya, faksi-ideologisnya, diumbulkan dan disiarkan; sisi-sisi yang tidak klop, berbeda faksi-ideologisnya, disembunyikan, tak disiarkan secara seimbang, apalagi diterima sebagai kebanaran pula—sebagai bagian dari bambu itu sendiri. Dalam senarai Mohamad Sobary di Semar Gugat di Temanggung, situasi demikian merupakan keanehan karena merasa bahagia di dalam kebekuan cara berpikir.

Inilah cermin ganjil dalam tata cara beragama kita kini. Tudingan ganjil ini jelas tidak terkait dengan perkara pilihan pandangan, mazhab, aliran, dan ortodoksi, apalagi benar versus salah. Kita semua bebas memilih, bebas menentukan, dan bebas mengikuti apa pun dan siapa pun. Mau ikut Wahabi atau NU, misal, sahih belaka.

Ganjil di sini semata dimaksudkan pada dua situasi: pertama, ganjil untuk jemawa mengakui dan menyatakan bahwa di dalam al-Qur’an, misal, terdapat ayat yang secara lateral mengajarkan sikap pasrah (fatalis), tetapi ada pula ayat yang mengajarkan sikap kreatif (free will); ada ayat yang memerintahkan menegakkan hukum Allah, tetapi juga ada ayat yang memerintahkan menegakkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan; ada ayat yang menyeru pada peperangan, tetapi ada banyak pula ayat yang menyeru pada perdamaian; ada ayat yang menyuruh untuk berdakwah, tetapi ada pula ayat yang menyuruh untuk menerima keragaman keyakinan; ada ayat yang membela kaum perempuan, tetapi ada pula ayat yang membatasi perempuan; ada ayat yang memfatwa konstruksi hukum Islam secara given—sehingga mengesankan yang tidak diterakan tidaklah boleh dilakukan—tetapi ada pula ayat yang memfatwa untuk mengembangkan hukum Islam secara taken-dinamis—sehingga mengesankan kebolehan melakukan hal-hal yang tidak tercantum sepanjang tidak bertentangan dengan konstruksi pokok (qath’iyyah dalalah) tersebut.

Kedua, ganjil untuk menerima keragaman pilihan ortodoksi, sehingga mengakibatkan kita berkecenderungan menegasi realitas di luar diri kita. Valuasi benar versus salah, sesuai versus bertentangan, dan murni versus gado-gado lantas menjadi tolok ukurnya. Tentu saja, pihak yang pemahamannya dinegasi—dengan dalih apa pun—akan melancarkan pertahanan. Jadilah perilaku ofensif berbenturan dengan perilaku defensif. Anda bisa membayangkan bila sebuah batu ditumbukkan kepada batu, niscaya air-air tenang di sekelilingnya akan beriak dan bergelombang.

Dapat dipostulasikan karenanya bahwa segala bentuk negasi tentu sejatinya merupakan ekspresi kepongahan yang tak tertanggungkan. Bagaimana mungkin ada manusia yang pure manusia sanggup menempatkan dirinya sebagai penentu kebenaran, selayaknya Tuhan yang Maha Tahu Segalanya? Bagaimana mungkin ada manusia yang pure manusia berani mengangkat dirinya sebagai “wakil Tuhan” yang merasa berhak memvonis ini benar, itu salah, dan berikutnya menghakimi saya benar, lurus, murni, dan Anda salah, bengkok, dan sesat? Bagaimana mungkin ada manusia yang pure manusia tega menentang takdir pluralitas keyakinan dan pemahaman manusia yang dikodratkan oleh Tuhan, dengan begitu menggebu-gebu hendak menjadikan semua kita satu kapal saja?

Al-wala’ wa al-bara’, thagut, dan bid’ah. Inilah tiga elemen yang paling kerap dijadikan alas panggung perseteruan teologis itu. Bila perselisihan paradigmatik terhadap ketiga elemen tersebut dirawat tetap berada di ranah diskursus, wacana, bukan intrik-intrik sosial, tentunya bukanlah masalah. Tetapi otomatis meletus menjadi masalah sosial yang serius bila telah merembes ke perbedaan amaliah-amaliah ritualistik.

Al-wala’ wa al-bara’ (cinta dan benci). Konsep ini mendikotomikan “saudara” dan “selain saudara” (bahkan musuh), di mana kepada saudara (sepaham, sealiran, bukan semata sesama iman) kita begitu lembut dan baik (ruhama’ bainahum) dan kepada selain saudara kita bersikap keras dan tegas (asyidda’).

Pada konteks-konteks khusus, memang kita semua niscaya sepakat bahwa sikap keras kepada musuh yang merusak tidak bisa dihindarkan untuk menjaga marwah kita. Misal, dalam situasi perang (darul harb). Sikap keras dan tegas itu (sebutlah watak al-bara’) memang tepat konteks, itu pun tetap diatur tunduk pada moral etik yang berbasis kemanusiaan—misal, dilarang menyerang orang yang menyerah, kaum perempuan, dan anak-anak. Kita telah menyaksikan kode etik tersebut pada masa Fath Makkah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw.

Aspek sensitifnya di sini, yang menjadi penegas pada hal-hal apakah yang menjadi maksud dari “marwah” itu, karena ia otomatis menjadi batas tegas cinta dan benci itu, menjadi mutlak untuk dipegang. Menurut Imam al-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat, misal, nilai-nilai esensial tersebut searas dengan orientasi pokok, ruh, syariat Islam, yakni menjaga agama (hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-‘aql), menjaga keturunan (hifdz al-nasl), dan menjaga harta (hifdz al-mal). Imam Ghazali, hujjatul Islam, juga meletakkan pondasi yang sama, dengan urutan yang berbeda. Dengan berdasar dua pemuka besar Islam tersebut, kini kita sudah mengerti “batas tegas” al-wala’ wa al-bara’ tersebut.

Maka, dengan memegang statemen tersebut, masihkah relevan bagi kita untuk bertikai dengan orang lain (baik nonmuslim, apalagi muslim) yang tidak merongrong dan mengancam keterjaminan lima prinsip pokok syariat Islam itu hanya karena berbeda pandangan, paham, dan mazhab?

Jelas tidak sama sekali. Lebih tegas lagi bila epistemologi al-wala’ wa al-bara’ tersebut dikorelasikan secara tematis dengan jubelan ayat dan hadits yang mendorong kita untuk “lakum dinukum wa liya din” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku), “wa idza huyyitum bitahiyyatin fahayyu biahsanin minha” (jika kamu dihormati dengan sebuah penghormatan maka balaslah dengan penghormatan yang lebih baik), “man qatalan nasa kaannama qatalan nasa jami’an” (siapa yang membunuh orang lain [tanpa hak] maka seolah ia telah membunuh manusia semuanya), “khairukum anfa’ukum lin nas” (orang yang paling baik di antara kalian ialah orang yang paling mampu memberikan manfaat kepada orang lain), dan lain-lain.

Sayangnya, kebanyakan kita gemar melakukan belah bambu pada dalil-dalil demikian. Walhasil, ada ketidakutuhan epistemologi di dalamnya, tentu saja berikutnya adalah reduksi dan diskriminasi sikap.

Thagut. Istilah ini setara dengan sebutan “berhala” yang mengancam kualitas iman kita karena memicu kesyirikan. Tauhid yang otentis lalu dijadikan busur besar untuk melesatkan panah mematikannya.

Tentunya kita sepakat bahwa iman seorang muslim hendaklah murni Allah semata (sebagian orang menyebutnya al-muwahhidun). Syirik pantang hukumnya. Bahkan, oleh Tuhan sendiri dinyatakan sebagai satu-satunya dosa yang takkan diampuniNya. Namun, seyogianya kita jemawa bahwa perkara syirik dan tidak sepenuhnya hanya berdenyar di dalam hati. Ia bersifat batiniah.

Orang Islam yang membaca shalawat Nariyah, misal, siapalah yang tahu geliat hatinya bahwa ia sedang menyembah-nyembah Nabi Muhammad Saw. sebagai thagut (yang tentunya syirik dan terlarang) ataukah ekspresi kecintaannya yang mendalam kepada nabinya? Orang yang berziarah kubur, misal lain, bagaimana kita bisa memastikan isi hatinya sedang meminta tolong kepada ahli kubur (yang tentunya syirik dan terlarang) dengan sepenuhnya menyembah Allah dengan mengingat ahli kubur itu sebagai bentuk tadabburnya? Jamaah haji/umrah yang sedang berebut mencium Hajar Aswad, misal, siapakah yang bisa memvonis ia sangat cinta Allah atau syirik pada batu belaka?

Sebaliknya, orang yang sedang sujud di masjid, misal, siapalah yang berani menjamin bahwa hatinya sedang berserah diri semurninya kepada Allah dengan sedang riya’ agar mendapat applaus sosial dalam bentuk pujian, jamaah, dan memuluskan kepentingan tertentu?

Pendek kata, ilustrasi terakhir di sini, bagaimana cara Anda mengetahui isi hati saya yang sedang membaca niat junub dengan tidak saat melihat saya mandi berkeramas?

Memperkarakan thagut yang berskala kebatinan dengan kacamata lahiriah sama sekali tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sebuah hadits menyebutkan: “Al-islamu hahuna, Islam itu di dalam hati”. Memaksakan hal-hal yang tidak bertanggungjawab jelas hanya akan memantik stigma, berikutnya benturan dan kebencian.

Bid’ah. Ini dia istilah terpopuler dan sekaligus tersensitif dalam ontran-ontran antarumat Islam belakangan ini. Ada sebuah hadits yang sangat populer yang diangkat (sebagai belahan bambu bagian atas) sebagai landasan naqli-nya. Dari Jabir bin Abdullah Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru. Setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan adalah di neraka.” (HR. Muslim [867]).

Dengan “semata” berbekal hadits sahih tersebut, digebrakkanlah fatwa-fatwa bid’ah (muhdatsah, hal baru) secara keseluruhan sebagai sesat, termasuk adat istiadat meski secara substansial tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat atau telah diisi dengan nilai-nilai syariat. Siapa yang mengikuti dan melakukannya mutlak otomatis sesat dan ahlun nar. Siapa yang meninggalkannya mutlak otomatis benar, lurus, murni, sesuai tuntutan Rasulullah Saw.

Tetapi, bagaimana kita mesti meletakkan keberadaan hadits-hadits yang juga berkualitas shahih ini di hadapan hadits shahih sebelumnya?

Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).

Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah Saw. bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat itu. Setelah Rasulullah Saw. selesai shalat, Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Para sahabat melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka kepada Rasulullah Saw. Lalu beliau saw. menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau Saw. bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233).

Dalam hadits shaih lain, Rifa’ah bin Rafi’ ra. berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi Saw. Ketika beliau bangun dari rukuk, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih”. Setelah selesai shalat, beliau saw. bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau Saw. bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).

Lalu hadits ini: “Siapa yang berijtihad dan benar, maka ia nmendapatkan dua pahala; siapa yang berijtihad dan salah, maka ia mendapatkan satu pahala.”—yang memperlihatkan kebolehan brekreasi dalam perkara hukum (bahkan), sepanjang tidak bertentangan dengan pokok-pokok syariat tadi.

Andai kedua belah hadits yang tampak berbeda muatannya (jika dikaji secara semantik tentu saja maknanya sepenuhnya sejalan) tersebut diperhatikan secara keseluruhan, diperlakukan adil dengan disiplin studi tematik, misal, niscaya praktik belah bambu itu takkan terjadi. Niscaya wajah hukum Islam takkan diperuncing dikotominya. Niscaya gaya teologi belah bambu takkan memisahkan sisi atas dan bawahnya.

Tentu saja, kita semua takkan pernah bisa seragam. Sudah menjadi khittah-Nya, bahwa manusia, juga umat Islam, akan berbeda satu sama lainnya, satu kelompok dengan kelompok lainnya, termasuk satu wilayah dengan wilayah lainnya. Ini jelas adalah hal yang mesti kita mafhumi sebagai takdir, panorama yang alamiah, dan tak lagi diperlukan ekspresi-ekspresi sosial yang meruncing.

Sayangnya, teologi belah bambu menyulitkan realisasi ukhuwah islamiyah tersebut, untuk bisa saling respect each other. Sebuah cermin beragama, berislam, yang tendensius, arogan, dan buahnya intoleran. Dari titik inilah konstruksi teologi menjadi sangat problematis pada segala aspeknya—aspek normatif dan historisnya.

Blandongan, Jogja, 10 Maret 2016

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!