Teringat Penjahit, Terceritakan Indonesia

Seabad sudah berlalu. Cerita perempuan dan mesin jahit masih teringat. Ia bernama Rohana Kudus, penggerak kemajuan di Sumatra Barat. Orang-orang terus mengingat ketokohan Rohana Kudus di pers dan pendidikan-pengajaran. Ia pun penjahit. Biografi disusun bersama gerak dan suara mesin jahit selama puluhan tahun. Mesin jahit bermerek Singer. Peran menjahit bermaksud berseru pada kaum perempuan agar turut dalam kemajuan. Pada puisi jarang teringat publik, Rohana Kudus (1912) menulis: Perempoean haroes menggerakkan diri/ patoetlah poela mengeloearkan peri/ penarah nan kesat nak hilang doeri/ penghentian goendjing sehari-hari.

Kemauan memajukan kaum perempuan diwujudkan dengan pelbagai cara: mendirikan sekolah dan usaha menghasilkan nafkah keluarga. Pada masa lalu, kaum perempuan diajari menjahit. Kerja itu bakal memberi penghasilan dan meninggikan martabat perempuan. Rohana Kudus itu penjahit. Kemajuan tampak di mesin jahit. Suara mesin jahit itu suara perempuan ingin berubah dari tatanan kehidupan lama. Ia mengubah sejarah dengan tulisan dan mesin jahit (Tamar Djaja, Rohana Kudus, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, 1980). Kini, kita menjadikan Rohana Kudus itu “penjahit” suara-suara meniti zaman kemajuan bergaung sampai sekarang.

Di Soenting Melajoe edisi 7 Agustus 1912, Rohana Kudus menulis artikel berjudul “Perhiasan Perempoean”, memuat penjelasan tentang keunggulan perempuan sebagai penjahit. Di Minangkabau, menjahit adalah kepandaian bagi kaum perempuan:  diajarkan dan diwariskan demi kehormatan dan nafkah. Rohana Kudus mengusahakan agar kaum perempuan bisa emansipatif dengan ketekunan menjahit. Rohana Kudus menulis: “Sajang sadja kepandaian kita itoe tidak dimadjoekan teroes dan tidak dihematkan soepaja kian bertambah haloes, sebab bila ia dimadjoekan, tentoe akan dapat mendjadi mata pentjaharian bagi kaoem iboe.” Rohana Kudus terus bergerak. Kemauan itu perlahan mendapat tanggapan besar. Pada tahun 1924, berdirilah sekolah tangan agar kaum perempuan semakin rajin menjahit.

Gagasan perempuan menjahit terus berlaku di Indonesia sampai abad XXI. Pembesaran peran selaku penjahit sering dimunculkan di iklan-iklan termuat di majalah-majalah bercap perempuan. Kita membuka majalah paling rajin memuat iklan mesin jahit dan menyodorkan bonus pola pakaian bagi pembaca. Di majalah Femina, 6 Desember 1977, iklan sehalaman dari Singer. Iklan mujarab: “Pesan Singer: Sekarang anda dapat membeli Singer tanpa menunggu tabungan penuh.” Harga mesin jahit itu tak murah. Kaum ibu mungkin harus menabung sekian bulan demi mendapatkan Singer. Hasrat memiliki mesin jahit itu mengarah ke pemuliaan dan penciptaan bahagia di rumah. Pembaca jangan lupa simak slogan serius: “Dunia gemar menjahit berkat Singer.”

          Penjahit dalam biografi dan mesin jahit di iklan-iklan memiliki “teman” pengertian jahit di kamus-kamus. Pengertian lugas dan samar tersimpan di kamus lama dan baru. Kitab Arti Logat Melajoe (1940) susunan D Iken dan E Harahap mengartikan jahit dengan pembedaan sebutan ke tindakan. “Menjahit cara laki-laki berarti menoesoekkan djaroem loeroes kemoeka.” Menjahit sempat mengandung pengertian “tjara toekang djahit dan perempoean menoesoekkan djaroem kekiri dan benang djalan kekanan.” Menjahit tindih kasih mengartikan “mendjahit bersama-sama doea kelim.” Orang yang tak mengalami sebagai penjahit akan agak bingung membaca lema jahit di kamus lama.

Kita berganti membuka Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1954) susunan Sutan Mohamad Zain. Di halaman 193, jahit diartikan “mempersambungkan bagian-bagian pakaian dengan benang sehingga mendjadi satu.” Pengertian sederhana bagi publik awam. Urusan jahit, menjahit, penjahit, dan jahitan dalam bahasa Indonesia menempuhi jalan panjang untuk dimengerti secara gampang. Arti di dua kamus mendapat saingan di Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan Poerwadarminta. Kita rampungi saja menengok kamus-kamus agar tak semakin bingung dan memicu bantahan.

* * *

Puluhan tahun lalu, murid-murid diajari mesin jahit di buku pelajaran berjudul Bahasa Kita 2A susunan Baidilah Halian, 1969. Sejak di sekolah, bocah perempuan diajak berimajinasi menjadi penjahit. Cerita di buku itu mengajarkan peristiwa menjahit sering memberi girang di keluarga. Kita menjenguk sejenak untuk mengerti suguhan cerita menjahit di Indonesia masa lalu.

Rini bercerita mengenai sang ibu. Pengakuan: “Ibu pandai mendjahit. Ia hampir tak pernah membeli badju djadi untuk anak-anaknja.” Ibu di rumah adalah penjahit. Ia menjahit dengan mesin jahit bermerek Singer. Di rumah ibu berujar pada Toto: “Laki-lakipun harus pandai pula mendjahit. Putarlah mesin! Perhatikanlah tjara ibu mendjahit. Djarak antara tepi kain dengan djahitan harus selalu sama.” Ibu mengajari Rini dan Tono cara menjahit. Di rumah, menjahit itu penting agar keluarga tak gampang tergoda membeli busana di pusat perbelanjaan atau pasar.

Dulu, seruan kaum perempuan ampuh (Kartini, Rohana Kudus, Dewi Sartika) tak meluputkan kemampuan perempuan dalam kerajinan di rumah. Menjahit terpilih dalam pendidikan-pengajaran memicu sebutan “kepandean poeteri”. Dulu, perempuan mahir menjahit mendapat penghormatan. Sangkaan bahwa perempuan melulu pasif terbantahkan saat mereka bermesin jahit. Tanah jajahan turut berubah gara-gara kaum perempuan tekun menjahit, memberi busana bagi jutaan orang. Puncak dari adegan menjahit dimiliki Fatmawati di hari-hari menjelang Indonesia bercerai dari kolonialisme. Fatmawati menjahit bendera merah-putih.

* * *

Penjahit tak selalu perempuan. Di Indonesia, kaum lelaki pun menjadi penjahit. Biografi mereka semakin moncer saat Joko Widodo mengenalkan penjahit langganan di Solo. Penjahit itu lelaki. Puluhan tahun sebelum Indonesia memiliki cerita sempat mengejutkan mengenai Joko Widodo sering menjahitkan baju di Solo, pembaca masa lalu mendapat cerita suka-duka penjahit di majalah Minggu Pagi, 3 Maret 1957.

Lelaki itu penjahit keliling di desa. Ia masih malu dijuluki tailor. Pembandingan nasib dengan sesama penjahit di kota: “rekan-rekanku dikota menempati rumah sewanja sendiri. Bahkan ada pula jang bergedung. Dengan papan namanja jang mentereng dan berhuruf besar-besar. Berbahasa asing pula: TAILOR.” Julukan dalam bahasa asing menambahi gengsi. Penjahit itu pekerjaan yang tak boleh diremehkan di revolusi Indonesia. Revolusi tanpa penjahit tentu membuat penampilan orang-orang tampak compang-camping dan amburadul.

Desa memiliki lakon berbeda dari kemodernan di kota. Pengakuan kalem dan jujur: “Didesaku, aku dipanggil orang ‘pak gredji’, artinja pendjahit. Panggilang jang memang sesuai dengan pekerdjaanku: mendjahit. Tetapi dengan kata ‘pendjahit’ itu djangan saudara pembatja ingat pada perkakas rekanku jang serba mewah tersebut.” Di desa, ia berperan sebagai penjahit keliling. Mesin jahit tangan bermerek Singer, pisau, dan gunting biasa dibawa keliling dengan pikulan. Ia mendatangi para pelanggan atau orang-orang yang memerlukan jasa penjahit. Ia menempuhi perjalanan jauh mencari rezeki. Mesin jahit itu berputar berarti rezeki diperoleh untuk dibawa pulang.

Di desa, ia pun menuruti jadwal perhitungan pasaran Jawa agar mendapat jahitan dari warga. Hari dinantikan oleh penjahit: “Itulah maka tiap hari pasaran, kupikul mesin djahitku kepasar. Dan selama djam pasaran, aku ‘buka kantor’ di udjung salah satu losnja. Pembatja akan kagum melihat ketekunanku bekerdja. Begitu aku selesai makan pagi diwarung, mulai aku diserbu langgananku. Begitu sampai pulang. Tanpa istirahat. Atau mogok menuntut kenaikan upah. Sebab aku sendirilah madjikanku. Dan buruhnja sekali. Lalu apa jang mereka suruh djahitkan? Matjam-matjam saudara. Dari kutang sampai ke tjelana tanggung.” Ia ingin menjadi lelaki terhormat, mencari rezeki dengan menjahit agar istri dan anak di rumah terhindar dari lapar dan kemiskinan.

Kini, peristiwa menjahit seperti itu memiliki lanjutan dengan pilihan di pinggir jalan. Di Solo, kita bakal mudah melihat jasa menjahit di pinggir jalan. Mereka itu lelaki dan perempuan bermodal mesin jahit di bawah pohon rindang atau depan toko. Sekian penjahit mengadakan tenda menghindari panas. Pagi sampai sore, mereka “berdinas” menjahit sambil mendengar orkes jalan dan tebaran debu. Di pinggir jalan, mereka mungkin memilih dipanggil penjahit ketimbang tailor. Di Indonesia, tailor itu tampan seperti di film dengan aktor yang memang tampan.

* * *

Cerita menjahit itu bertokoh Djoko Pekik dan Tinuk. Pada tahun 2003, Sindhunata menggubah puisi berjudul “Suara Mesin Jahit”, puisi persembahan bagi Djoko Pekik dan Tinuk. Sindhunata menulis: Pulang dari penjara/ tak ada yang kita punya/ hanya mesin jahit itulah harta/ dengannya kita mencari nafkah// Kuteringat, malam telah larut/ tak jauh dariku kau duduk/ mengitik lubang kancing/ baju dan celana jahitanku. Masa kemiskinan itu mengajarkan kerja keras dan pantang berputus asa.

Hidup segera berubah. Rezeki dari lukisan-lukisan Djoko Pekik telah melimpah. Masa lalu jadi nostalgia: Tinuk, sekarang semuanya sudah kita punya/ tapi mengapa anak-anak kita suka berkata,/ tak ada yang lebih indah daripada/ malam di mana kita mendengar/ mesin jahit ayah bersuara tak henti-hentinya/ Suara itu adalah janji/ esok pagi akan datang rejeki/ dan perut kita takkan lapar dalam sehari. Nostalgia puitis.

Sekian ingatan dan cerita menjahit sampai ke urusan sejarah dan seniman. Djoko Pekik mendapati hukuman akibat malapetaka 1965. Episode getir berlalu dengan kemuan menjahit dan melukis. Hari-hari seperti menjahit biografi dan nasib Indonesia. Di tatapan mata rezim Orde Baru, peristiwa melukis dan menjahit mungkin gampang dituduh sebagai ancaman. Djoko Pekik memilih di renungan, tak mau di jebakan politis murahan. Sindhunata pun mengisahkan: Nasib memaksaku meninggalkan keindahan/ tak bisa lagi aku melukiskan kehidupan/ tinggal kutanggung bebannya/ lalu kujahitkan semuanya dalam baju dan celana/ tiap hari selalu sama, bentuk duka dan deritanya. Kita diingatkan lakon penjahit dan masa lalu kelabu. Deretan ingatan dari Rohana Kudus sampai Djoko Pekik tak mau punah meski orang-orang terbujuk berdatangan ke toko atau pusat perbelanjaan, menginginkan diskon atau gengsi. Mereka cuma ingin necis dan bergengsi, tak sempat memiliki cerita mengenai penjahit, sejak seabad lalu. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!