(Solusi Hannah Arendt dan Ricoeur atas Perkataan Soekarno)
“Aku lebih senang pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yang memikirkan diri sendiri”, perkataan subjektif dari Ir. Soekarno yang kemudian melanglang buana ke segala penjuru yang dikumandangkan oleh beberapa orang dengan penafsiran yang berbeda-beda. Dari hasil penafsiran perkataan Soekarno di atas tentunya akan menghasilkan interpretasi yang berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh siapa yang menafsirkannya dan kerangka teoretis apa yang digunakan. Pertarungan gagasan dari dua kelompok yang sering kali menjadikan narasi Soekarno di atas sebagai senjata. Dua kelompok tersebut dapat ditemukan dalam kehidupan modern saat ini. Berdasarkan penelaahan fenomena, dua kelompok yang dimaksud yakni mereka yang lahir dari ranah intelektualitas, sebut saja kelompok yang berafiliasi pada segi teoretis dan praktis. Kelompok teoretis adalah mereka para kaum intelektual yang memiliki ketertarikan tersendiri untuk mengarungi bahtera ilmu pengetahuan dari sudut pandang teori, sementara kelompok praktis adalah kelompok yang juga lahir dari rahim yang sama dengan kelompok teoretis yakni ruang intelektual namun perbedaannya adalah mereka lebih tertarik pada kehidupan praksis dan cenderung menyimpulkan sebuah teori secara singkat.
Sederhananya, kelompok praktis lebih condong pada narasi populer “satu kata, satu tindakan” sedangkan kelompok teoritis lebih berkarakteristik “beberapa kata untuk satu tindakan dan tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan beberapa tindakan”. Arus pertarungan keduanya semakin tampak mencolok dalam dunia modern. Kelahiran dua kelompok tersebut sebenarnya secara tersirat dikumandangkan dari perkataan Soekarno di atas yang mana kelompok teoretis bisa kategorikan sebagai “kutu buku yang memikirkan diri sendiri” dan kelompok praktis adalah mereka yang “merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini”. Secara sekilas, dalam tinjauan kehidupan modern yang menghasilkan masyarakat modern dengan karakter budaya instan, tentunya akan lebih bersepakat dengan kelompok praktis dengan barometer yang mungkin saja menjurus pada konteks tindakan karena pada dasarnya tindakanlah yang akan mencetuskan sebuah bentuk perubahan dan kenyataannya memang seperti itulah seharusnya, ibaratkan cerita kopi dan gula. Segelas kopi yang nikmat tentu yang akan mendapat jempol dari penikmatnya adalah kopinya. Sebaliknya, jika kopinya kurang nikmat maka yang akan dihakimi oleh para penikmatnya tentunya gula dengan dalih bahwa kopinya kurang nikmat karena gulanya kurang. Hampir dipastikan bahwa begitulah kisah antara kelompok teoretis dan praktis.
Menelaah Perkataan Soekarno
Hannah Arendth dengan filsafat tindakannya hadir menengahi polemik antara kelompok teoretis dan praktis. Kita ketahui, filsafat tindakan Hannah Arendth berasal dari konsep vita activa. Konsep vita activa merumuskan tiga aktivitas manusia, antara lain: kerja, karya, dan tindakan. Konsep vita activa terinspirasi dari tiga taraf kehidupan dalam pemikiran Aristoteles. Tiga taraf aktivitas tersebut adalah produksi, tindakan, dan kontemplasi. Arendt kemudian mengkritik tiga taraf aktivitas tersebut, bahwa tindakan diletakkan di bawah kontemplasi. Bagi Arendt, tindakan adalah penyempurna aktivitas manusia sehingga tindakan menjadi aspek penting di dalam vita activa. Vita activa digunakan Arendt bukan untuk dibandingkan dengan vita contemplativa, kedua hal tersebut mempunyai muatan yang sama.
Vita activa memperoleh perhatian Arendt untuk mengkritik kemajuan masyarakat modern yang hanya menekankan “berpikir” untuk hal-hal praktis. Antara vita activa dan vita contemplativa harus berada dalam keseimbangan namun jika keduanya tidak seimbang maka akan melahirkan dampak, seperti yang dipaparkan Hardiman (2003: 25) bahwa: Manusia percaya begitu saja apa-apa yang terjadi secara rutin dengan perspektif akal sehatnya. Term vita contemplativa bahkan menjadi bahan perbincangan di era postmodern. Vita contemplativa identik dengan teori, sementara dalam realitas kehidupan tidak melulu menggunakan teori, bahkan teori harus dikaitkan dengan praksis. Persoalan yang muncul kemudian adalah tidak ada keseimbangan dalam penggunaan teori dan praksis, seperti ketika kita terbiasa menghayati daripada memikirkan atau sebaliknya. Jika lewat dari wilayah ini, manusia merasa ada sesuatu yang “aneh”, “luar biasa”, “gila”, dan seterusnya. Wilayah ini belum direfleksikan, maka bersifat prareflektif, sebuah “wilayah tidak bertuan” yang belum diduduki oleh penafsiran-penafsiran ilmiah dan filosofi. Manusia di sini lebih “menghayati” daripada “berpikir”, atau kalaupun berpikir, berpikir untuk hal-hal praktis yang sudah barang tentu.
Sampai di sini, kita bisa merefleksikan perkataan Soekarno di atas yang secara tidak langsung menyiratkan pembagian kelompok dalam arena kehidupan intelektualitas. Vita activa yang mewakili kelompok praktis sementara vita contemplativa adalah kelompok teoretis. Keduanya dituntut berjalan beriringan untuk menghasilkan sebuah tindakan yang mengarah pada perubahan yang sebenarnya. Dalam kajian vita activa, manusia pun tidak hanya dituntut untuk melakukan sebuah tindakan tanpa proses berpikir sebelumnya dan berpikir pun tidak hanya sekadar berpikir untuk hal-hal yang praktis tapi berpikir yang dimaksud adalah aktivitas di mana terjadi dialog antara diri dengan suara batin, sehingga berpikir memerlukan aspek kesadaran, bukan hanya dengan menghayati namun dengan bertindak. Dari sudut pandang vita contemplativa, manusia sebelum melakukan sebuah bentuk tindakan, mereka dituntut mapan dalam wilayah kerangka teoretis dan memiliki kecakapan dalam mentransformasikan basis teori yang dimilikinya sehingga mampu bergerak untuk menerapkan konsep dan gagasannya yang merujuk pada langkah ultim seorang manusia yakni tindakan.
Hermeneutika sebagai Aturan Interpretasi
Paul Ricoeur dengan Hermeneutikanya memberikan sedikit gambaran perihal interpretasi. Bagi Ricoeur, Hermeneutika merupakan suatu teori tentang aturan-aturan dalam penafsiran teks. Hermeneutika bertujuan untuk menggali makna yang terdapat pada teks dan simbol dengan cara menggali tanpa henti makna-makna yang tersembunyi ataupun yang belum diketahui dalam suatu teks. Hermeneutika tidak dimaksudkan untuk mencari kesamaan antara maksud pembuat pesan dan penafsir. Melainkan menginterpretasi makna dan pesan se-objektif mungkin sesuai dengan yang diinginkan teks yang dikaitan dengan konteks. Seleksi atas hal-hal di luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Suatu interpretasi harus selalu berpijak pada teks. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses penafsiran selalu merupakan dialog antara teks dan penafsir.
Objektivitas interpretasi dapat dicapai melalui empat kategori metodologis yang meliputi objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui tulisan, distansiasi melalui dunia teks, dan apropriasi. Objektivasi melalui struktur adalah suatu upaya yang menunjukkan relasi-relasi intern dalam struktur atau teks, hermeneutika berkaitan erat dengan analisis struktural. Analisis struktural adalah sarana logis untuk menafsirkan teks. Penafsiran melalui objektivasi struktur terhadap perkataan Soekarno, “Aku lebih senang pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini”. Kalimat tersebut berpihak pada satu kelompok sekaligus menekankan keberpihakan Soekarno melalui kalimat “Aku lebih senang” serta menjadikan kelompok tersebut berada di posisi atas. Selanjutnya, pernyataan “daripada pemuda kutu buku yang memikirkan diri sendiri”, melahirkan kelompok baru yakni kelompok kutu buku sementara kata “daripada” merupakan legitimasi keberpihakannya terhadap kelompok “pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini”.
Selain daripada hasil penafsiran melalui objektivasi struktur di atas, tentu akan melahirkan bentuk penafsiran lain yang mungkin saja akan keluar daripada metode hermeneutika versi Ricouer atau dengan kata lain penafsiran para penafsir yang menyesuaikan dengan kepentingannya masing-masing. Berdasarkan logika kepentingan, para penafsir tentu akan menafsirkan perkataan Soekarno tersebut ke arah tendensi kelompok. Contohnya, kelompok praktis akan secara tidak langsung menyudutkan kelompok kutu buku dengan narasi pembenarannya dan ditambah lagi dengan tesis bahwa “tugas manusia ultim adalah tindakan”. Fenomena seperti ini marak terjadi dalam ruang pendidikan tinggi khususnya kampus, pergulatan antara mahasiswa yang kecanduan “tindakan” dengan kelompok mahasiswa yang kecanduan “teori” sehingga keduanya terlibat dalam nuansa konflik batin yang berkepanjangan. Misalnya, kelompok praktis berargumen bahwa kita butuh untuk bertindak bukan hanya berteori dan kemudian kelompok teoretis mengatakan bahwa sebelum menunaikan sebuah bentuk tindakan maka kita harus memiliki gagasan yang lahir dari akumulasi teori-teori yang ada agar tindakan kita mengarah ke sesuatu yang diinginkan secara bersama. Perdebatan keduanya bukan hanya terjadi dalam dunia nyata, di dunia media pun bahkan sering terjadi tindakan singgung-menyinggung. Kelompok praktis acap kali menjadikan perkataan Soekarno di atas sebagai sebuah senjata untuk menyudutkan para kelompok teoretis, begitu pula kelompok teoretis yang kerap berargumen bahwa mengebiri sebuah teori akan menghasilkan tindakan yang sporadis dan tak berjenjang. Tak ayal, keduanya susah bertemu dalam sebuah konsensus. Pasalnya, keduanya termakan oleh ego masing-masing sehingga efek yang sering lahir adalah terjadinya sebuah bentuk pembiaran terhadap permasalahan.
Oleh karena itu, Hannah Arendht dalam filsafat tindakannya yang mencakup vita activa dan vita contemplativa melihat perkataan Soekarno, “Aku lebih senang pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yang memikirkan diri sendiri”, sebagai sebuah langkah yang secara tersirat membagi dua kelompok yang pada dasarnya bagi Arendht sendiri adalah sesuatu yang harusnya dimiliki oleh seorang manusia, artinya antara vita activa (kelompok praktis) dan vita contemplativa (kelompok teoretis) harus berjalan berdampingan tanpa salah satunya berada di atas maupun di bawah. Kekayaan teoretis dan praktis sudah seharusnya tertanam dalam diri manusia tanpa berpihak di antara keduanya karena pada dasarnya sebuah tindakan akan bermuara kepada hasil yang memuaskan jika ditopang kuat oleh gagasan dan kerangka teoretis dan sebuah teori akan betul-betul hidup jika diterapkan dalam konstruksi kehidupan nyata. Mengebiri sebuah “teori” akan melahirkan “tindakan yang sporadis dan membungkam sebuah “tindakan” dengan kecanduan pada “teori” akan menanggalkan kerja paripurna seorang manusia yakni tindakan.
- Titik Balik Kaum “Teoretis” dan “Praktis” - 4 November 2019
- Kaleng Khong Guan untuk Indonesia lebih Toleran - 2 October 2019
- Nietzsche, Marjane, dan Mas Pur Menyapa Para Bucin - 21 August 2019
Handi
Saya dua duanya: kutu buku dan ngopi!
Khozin
Gimana cara masukin kontennya min
Dan daftarnya juga
Admin
di web sudah ada ketentuan pengiriman naskah ya, kak. silakan dibaca-baca dulu 🙂
Nama samaran
Kaka boleh pakai nama samaran gak untuk author nya?
BeN Mustofa
Terbuai alur saat membacanya…makin dalam koq ngrasa dibawa kpd ‘keberpihakan’ persepsional penulis…
Hmmm…bisa jadi saat menyusun telaah ini, penulis ngrokok n sesekali srupuut kopi depan laptopnya…oraaa? 😉
#salamlogikaterbalik BeN
sri diastuti
harus ada covernya juga min?
Ibnu Gozali
Teoritis membentegi Praktisi dikala Praktisi tersudut sebuah fenomina alam di luar kuasa pemikirannya. Kadang jalan praktisi mengundang hal yang tidak terduga melewati daya sejuta teori. Jugalah pasti ada, kekuatan teoritis menjadi heroik dikala praktisi hilang daya karena ketidaksempurnaan. Prakstisi nyaris meleset karena kritisinya, sementara Teoritis kadang tidak ayal berdamping dengan kecerobohan lewat dalil pasca sial dengan ucapan “sebagai pengalaman”.
Ruzbihan A
Soekarno adalah teori dan praksis
Dino
Masalahnya, zaman sekarang pemuda-pemuda ngopi sambil mabar