Setengah abad kemudian wayang hendak dimusnahkan. Padahal saat itu, jelang magrib memasuki malam Jumat kliwon yang wingit, kau pertama kali melihat dunia lewat lakon Dewa Ruci. Dan seperti Bima, melalui lubang telinga kiri sang dewa, kau dengan gegas memasuki kehidupan yang maha luas.
Kehidupan yang seolah tanpa tepi. Tanpa batas yang pasti. Tapi, batas itu kelak akan kaujumpai. Tepi itu suatu saat akan kaukenali. Setelah mengarungi ribuan obsesi. Menempuh rintangan tanpa hitungan. Rintangan seluas lautan. Lautan yang kauarungi dengan gagah berani, melaksanakan titah suci dari guru Durna yang sangat kauhormati. Meski kausadari, itu menyimpan nyeri. Memahat luka pedih peri. Tiap hari. Siang dan malam, kau dicekam kesendirian.
Ah, sejatinya kau tak pernah sendirian. Ada penonton. Iya, mereka berjubel di belakang, di samping kiri dan kanan gamelan. Gamelan yang mengalun rancak: kadang galak, kadang merdu lamban. Tapi mampu menjaga harmoni, mulai pathet nem, pathet sanga hingga pathet manyura. Bahkan lihatlah itu, para penonton dengan setia menungguimu: sejak dalang mengangkat gunungan (jejer) hingga menancapkannya kembali (tancep kayon, selesainya lakon).
“Bima … Bima … tancapkan segera kuku pancanaka!”
“Ayo, Werkudara, bunuh dia! Habisi musuhmu-musuhmu!
“Yes, Bratasena jagoanku! Lenyapkan seluruh seteru itu!
Masih terngiang, di tengah-tengah cerita yang membuat semua penonton tegang, mereka menyebutmu. Tak hanya menyebut, tapi menjagokanmu. Mengelu-elukanmu. Dengan aneka panggilan: Bima, Werkudara, Bratasena, Wijasena. Apa pun sebutannya, kau tetaplah trah Dewa Ruci. Kau tetaplah penengah Pandawa: yang jujur, lugas, tegas, ikhlas. Jujur dalam perkataan. Lugas dalam tindakan. Tegas dalam pendirian. Ikhlas melaksanakan perintah seikhlas kau menerima takdir.
Dan lihatlah, mereka semakin mengelu-elukanmu. Seiring kau hendak menikam Kurawa, musuh bebuyutanmu. Tapi …. Tapi Kurawa tak pernah mati. Benar Duryudana gugur setelah kauhantam pahanya dengan gada Lukitosari. Sengkuni berhasil kaurobek mulut dan duburnya hingga mati. Tapi ingat: ada Tirtanata! Jagoan dari Banakeling yang menyamar sebagai Jayadrata (Jayajatra, kata lidah dalang Jawa), yang telah menamatkan riwayat Abimanyu, keponakanmu itu.
Memang Arjuna berhasil memenggal lehernya, setelah Kresna membuat gerhana semu: menutup matahari dengan senjata cakra. Tapi kepala satria Banakeling itu masih bisa menggelinding bahkan sampai di hadapan Resi Sempani: guru spiritualnya yang memberinya senjata trisula, bekal untuk maju ke medan laga.
Dengan bekal trisula, kepala Tirtanata kian liar ke mana-mana. Sulit dihentikan, tak bisa dihadang. Menggelinding, maju perang seakan tanpa tanding. Merenggut ribuan nyawa. Terutama para generasi muda Pandawa, masa depan yang mestinya menyemai tunas-tunas baru peradaban.
Dan sekarang, setengah abad kemudian, kepala Tirtanata menggelinding di sekitarmu: kantor pemerintahan, gedung parlemen, kampus dan sekolahan, pabrik dan perusahaan, tempat ibadah, mal, pasar, arena olahraga, dan semua, semuanya!
Kepala tersebut menggelinding, sambil sesekali berputar-putar bagaikan gasing. Memainkan senjata trisula pemberian gurunya. Dari mulut yang menggigit trisula itulah keluar asap beracun. Dan kepulan asap akan membumbung tinggi seiring kepala yang berputar kian kencang: mengerikan, mematikan. Ya, asap beracun itu menumpulkan nurani, memberangus akal sehat dan pikiran. Kau geram melihatnya. Sangat geram!
Dan kau ingin segera menghentikan. Membinasakan! Inilah obsesimu, sejak setengah abad lalu. Ketika pertama kali melihat terangnya dunia diiringi lakon Dewa Ruci. Kau mendapat perintah suci: menghancurkan kepala Tirtanata dengan gada Lukitosari! Agar akal sehat kembali menjadi pusat. Nurani menjadi pengendali.
Tapi, tidakkah kau sadar? Kini kau sendirian. Empat saudaramu memang masih bertebaran di mayapada: ia masih menggerakkan raga, dan belum mati. Namun mereka asyik dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Yudhistira lebih suka menyepi, abai pada urusan duniawi. Sementara Arjuna, tak pernah selesai dengan urusan wanita. Lalu Nakula dan Sadewa? Sudah lama mereka hanya menjadi pajangan etalase kemajuan zaman.
Oya, bukannya kau masih punya Punakawan? Rakyat kecil yang selalu setia dan menaruh hormat sejak dalam kandungan? Oh, tidak. Mereka kini sibuk berdebat dan bertarung di medsos. Terbelah jadi dua kutub: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong di kutub Utara, sementara di kutub Selatan ada Togog dan Bilung serta teman-temannya. Mereka kini tidak minat lagi pada upayamu membasmi kejahatan dengan gada Lukitosari.
Bagi mereka kebaikan adalah kutubnya! Kejahatan adalah kutub di seberang sana. Membasmi kejahatan adalah merundung kutub yang di sana. Sementara menegakkan kebaikan adalah memviralkan keyakinan yang berlaku di kutubmu! Kini, tak ada lagi dialog di antara dua kutub itu. Sungguh keduanya telah beku.
Kalau begitu, penonton! Ya, penonton. Mereka harapan satu-satunya. Mereka juga yang dulu sering mengelu-elukanmu. Apalagi ketika kau tampil gagah membasmi kejahatan. Paling tidak, mereka yang akan tetap menjagamu dari belakang, di samping kiri dan kanan gamelan. Terlebih, saat iringan gamelan memasuki pathet manyura: kian rancak, tambah galak mendukungmu. Mendorongmu untuk terus maju. Menghabisi musuh-musuhmu, melumat seteru!
Aih, tapi tidak untuk sekarang. Mereka kini tak bisa lagi diandalkan. Boro-boro berjubel datang menyaksikan pagelaran wayang, berangkat saja ogah-ogahan. Mereka lebih suka datang di panggung dangdut berjoget bersama penyanyi muda bahenol hingga larut malam atau menghadiri pengajian yang isinya menyulut kebencian, menguliti borok saudaranya seiman.
Lalu? Setengah abad kemudian, kabar itu sangat menyesakkan: wayang hendak dimusnahkan. Kau mendengar kabar ingar-bingar itu sambil membayangkan kepala Tirtanata yang menggelinding menebar racun. Dan kau ingin segera menghentikan: menggebuk kepala itu dengan gada Lukitosari. Ah, tapi kau sadar, ‘kan? Ini bukan lakon wayang, ketika Bima mendapat bantuan sepenuhnya dari Pandawa dan Punakawan. Ini alam nyata, kau sadar pertarungan menjadi tak seimbang.
Pertama, kau kini sendirian. Sementara racun di mulut Tirtanata telah menebar ke penjuru negerimu. Meracuni otak dan hati hampir semua warga. Akibatnya, mereka memusuhimu. Kau seolah-olah jadi musuh bersama. Tapi tunggu, kau agaknya yakin masih ada yang mendukungmu. Di palung terdalam hatimu, kau berbisik: Masih ada yang bersamaku. Tapi, mereka tak berani bersuara. Hanya khusyuk merapal doa-doa.
Kedua, kau kalah awu. Kau baru berusia setengah abad, sedang Tirtanata telah hidup berabad-abad. Ia bukan Raja Sindu yang menikahi Dursilawati, adik perempuan Kurawa bersaudara. Kini kausadari, kepala Tirtanata yang menggelinding menggigit trisula adalah penjelmaan nafsu angkara Qabil (saat menghabisi Habil) yang telah beranak-pinak sepanjang masa. Jadi, ia setua umur umat manusia!
Tapi kau tak bisa diam saja. Bagimu, menghentikan racun yang dibawa Tirtanata tak sekadar titah suci guru Durna. Tapi itu sebuah laku. Lakumu untuk bertemu kekasih sejati: manunggaling Kawula-Gusti. Itulah obsesi terbesar dalam mengarungi lautan bertemu Dewa Ruci. Meski, Dewa Ruci yang telah kaukenal sejak berumur empat bulan di kandungan ibumu, hingga kini tak kunjung kaujumpai.
Apakah kini kau frustrasi? Frustrasi itu wajar. Tapi jangan dijadikan pembenar. Bukan argumentasi untuk kau berhenti sampai di sini. Kau hanya perlu berkontemplasi. Sejenak. Lalu mengubah arah dan strategi. Kau tak perlu tegang memandang kehidupan sebagai dua kutub pilihan: hitam atau putih.
Bukannya dilarang memperjuangkan yang putih. Tapi kau jangan merasa sok paling putih. Putih sejati hanya ada di sisi-Nya. Dan kau tak akan kuasa menggapainya. Sedekat-dekat hamba di sisi Tuhannya, ia masih membawa residu: ada di wilayah abu-abu, kecuali satu nama: Muhammad saat berada di sidratul muntaha. (ingatlah, saat kera putih Hanoman menanyakan surga pada Sang Hyang Wenang).
Di wilayah abu-abu kau belajar menemukan hikmah. Akan mengenali batas. Memahami tepi. Di mana batas putih dan hitam. Tanpa terobsesi ada di dalamnya. Kau hanya perlu menuju ke salah satunya. Karena bagi seorang manusia biasa sepertimu, Tuhan tidak akan menilai capaianmu. Ia hanya akan melihat niatmu, ikhtiarmu, dan keikhlasanmu. Meski kau sudah setengah abad, yakinlah belum terlambat.
Kini, kau hanya perlu mengambil salah satu buku koleksimu. Raih dan bukalah Life Begins at Forty yang ada di sudut rak buku paling ujung itu. Buku yang kini telah penuh debu. Sabar, usaplah dulu dengan lembut. Selanjutnya, hapus judulnya. Gantilah dengan tajuk baru: Life Begins at Fifty. Dan, seperti Walter Pitkin saat mengawali bukunya di 1932, kau akan memekik lantang: “Jadilah generasi yang paling bahagia saat menginjak usia 50!”
Dan, kaulihat itu, bentangan halaman bukumu: berpuluh, beratus, beribu, berjuta-juta halaman menghampar luas. Kau hanya perlu tekun membukanya satu per satu. Lalu di situ, ya di situ, kau harus menuliskan kesaksianmu! Kesaksian atas dunia yang penuh warna.
Tentu di depan dan belakangmu, juga di samping kiri dan kananmu, masih ada penonton seperti dulu. Tak sedikit mereka yang mendukungmu, mengelu-elukanmu. Tapi, juga ada yang menghadangmu. Melukai, membunuh, memusnahkanmu. Seperti ketika mereka hendak memusnahkan wayang: jejak sejarah hidupmu.
Ah, namun kau yakin wayang tak bisa dimusnahkan. Wayang adalah bayangan. Pertunjukan wayang adalah tontonan dari pantulan ajaran hidup. Esensinya ajaran di balik lakon. Kalau mereka hendak memusnahkan, yang dirusak hanya kulit sapinya, blencongnya, gedognya, kepraknya, kotaknya, kelirnya, debognya, dan gamelannya. Tapi ajarannya akan tetap lestari di hati, memantul dalam wujud bayangan yang lain—selalu menuntun menuju Yang Esa (ma hyang).
Pun juga dengan kau. Mereka tetap akan berusaha mengusik, melukai, bahkan membunuhmu. Kalaupun mereka berhasil, yang mati adalah jasadmu, bukan idemu. Tirtanata hanya akan menyentuh jasadmu. Bukan hanya karena kau berada di wilayah abu-abu, tapi kau terbiasa melepaskan ruh dari gerak jasadmu. Jasadmu bisa dihadang dihentikan. Tapi gagasan dan pikiranmu kelak akan bertemu anak cucu.
Setengah abad yang akan datang, kau merayakan kemanangan.***
Wisma_Aksara, 2022
Catatan:
–pathet: merupakan pengaturan nada gamelan (musik) tradisional Jawa. Setiap pathet menjadi tanda waktu pertunjukkan wayang. Pethet nem dipakai untuk membuka pertunjukan sampai perang (pukul 21.00-24.00). Pathet sanga untuk mengiringi adegan pasca perang sampai pertapaan (24.00-03.00). Pathet manyura digunakan setelah pukul 03.00 sampai selesai.
–kalah awu: kalah senior.
- Trah Dewa Ruci - 4 November 2022
- Menunggu Suara Azan - 19 February 2021
Kunti kamalia
Subhanallah…
Bener-bener tersentuh, terimaksih penulis. Telah membuka sedikit skat antara dunia anak muda dan dunia penuh hikmah (lakon wayang)
Inaya Galih
Memberikan konteks pada pesan kearifan cerita wayang dengan kondisi kekinian. Karya yang mantap dan membekas.
Soegito WS
Cerita yg asyik. Nambah pengetahuan dan menginspirasi 👍
Yeyen
Cerpen yg asyiiik…. Dah gitu aja
Suwondo
Dlm kehidupan nyata kadang bias: siapa dalang, siapa wayang? Dan cerpen ini kian menegaskan bias itu. Tp tak apalah, bisa utk bacaan yg lumayan menghibur. Semoga basabasi memuat lagi cerpen bertema wayang. Saya suka. Baik yg pakem maupun carangan.
Soebroto Soekanto
Werkudara versi kontemporer 😀
Ervina Eka Safira
Keren