Istilah Thrifting tampaknya sudah tidak asing lagi di telinga kita, ya paling tidak, kita sering menemukan atau mendengarnya. Thrifting berasal dari kata thrift dalam bahasa Inggris yang artinya hemat, berhemat atau penghematan. Dalam konteks dunia fashion, istilah thrift dipakai untuk menyebut barang bekas yang masih dalam kondisi layak pakai; bisa berupa pakaian ataupun benda lainnya yang dinilai cukup antik dan unik sehingga layak untuk dibeli meskipun kondisinya bekas. Sementara Thrifting, atau yang terkadang juga disebut sebagai thrift shopping bisa dimaknai sebagai kegiatan seseorang untuk mencari dan membeli barang bekas. Tempat dijualnya barang-barang bekas ini disebut sebagai thrift shop atau thrift store. Di dalamnya bisa ditemukan berbagai jenis barang bekas yang masih layak dan dianggap masih punya nilai jual.
Memang kegiatan jual beli barang bekas bukan hal baru, pada masa-masa sebelumnya pun sudah banyak dilakukan. Namun, dulu sebagian besar barang bekas yang dijual tujuannya semata kegiatan sosial, yaitu untuk mereka yang membutuhkan pakaian, namun hanya punya uang sedikit. Praktik jual beli pakaian bekas juga banyak dilakukan selama Perang Dunia karena kurangnya bahan baku dan kesulitan ekonomi yang ekstrem. Pada masa itu, barang yang dijual kebanyakan adalah milik pribadi. Setelah Perang Dunia berakhir, praktik ini tidak berhenti begitu saja, melainkan terus berlangsung dan malah makin berkembang.
Pada perkembangan selanjutnya, kegiatan ini semakin meluas dan menjadi budaya populer (pop culture), khususnya di negara-negara Barat seperti Inggris dan Amerika Serikat. Di awal 2000-an thrifting menjadi alternatif sebagian orang di Barat dalam membeli pakaian karena adanya kesadaran bahwa industri fashion yang semakin berkembang akan berdampak pada lingkungan, sehingga membeli pakaian di thrift stores adalahupaya mengurangi limbah.
Di Indonesia, pakaian bekas mulai banyak dilirik saat terjadi krisis moneter tahun 1998. Saat itu, pakaian bekas dianggap sebagai solusi menarik di tengah kondisi ekonomi yang rapuh dan menurunnya daya beli masyarakat. Sebagian besar pakaian bekas didatangkan dari luar negeri (impor). Belakangan, tren membeli pakaian bekas di Indonesia kembali menggeliat, apalagi semenjak masifnya penggunaan media sosial dan aplikasi belanja online. Kini sebutannya jadi lebih keren dan kekinian, thrifting. Jika sebelumnya kegiatan thrifting dilakukan dengan berkunjung ke tempat atau pusat penjualannya, seperti Pasar Senen di Jakarta, Pasar Gedebage di Bandung, atau Pasar Tugu Pahlawan di Surabaya, kini bisa dilakukan lewat cara lain. Semakin banyak penjual pakaian bekas membuka toko online. Ini adalah strategi penjualan yang efektif, karena bisa menjangkau lebih banyak orang sehingga kemungkinan dagangannya terjual pun semakin tinggi.
Perkembangan media sosial seperti Instagram dan Tiktok dan banyaknya tren yang merekomendasikan outfit kekinian, turut menjadi pendorong maraknya thrifting di kalangan anak muda. Keinginan tampil modis dengan pakaian bermerek namun dengan harga miring, membuat barang thrift menjadi jalan keluarnya. Ini juga ada kaitannya dengan status dan gengsi, di mana beberapa pakaian bekas dari merek tertentu cenderung memiliki status sosial yang tinggi sehingga mendorong lebih banyak orang untuk membelinya. Hal ini membuat thrift store semakin menjamur di Indonesia yang hadir dalam bentuk toko fisik maupun melalui media sosial dan tidak hanya di kota-kota besar saja.
Tren thrifting di kalangan anak muda Indonesia cukup relevan apabila dianalisis lebih dalam menggunakan perspektif sistem dunia. Dalam teori ini, negara-negara di dunia terbagi menjadi tiga kategori, yaitu negara inti (core), semi-pinggiran (semi-periphery), dan negara pinggiran (periphery). Teori sistem dunia melihat bahwa dunia berada dalam sebuah sistem yang terstruktur, khususnya bidang perekonomian. Negara-negara di dunia disebut saling terhubung dalam sistem ekonomi dunia kapitalis, di mana hanya ada segelintir pihak yang menguasai dan mengendalikan. Negara-negara Barat yang menerapkan kapitalisme dalam perekonomiannya cenderung berada dalam posisi tinggi, karena dianggap memiliki sumber daya (modal) mumpuni, sementara Indonesia diposisikan sebagai negara semi-pinggiran (tahap berkembang). Immanuel Wallerstein, pelopor teori ini menjabarkan bahwa sistem dunia berkembang melalui kecenderungan yang meliputi proses pencaplokan (incorporation), komersialisasi agraria, industrialisasi, dan proletarianisasi.
Kapitalisme, yang menjadi dasar dari teori ini, memungkinkan negara-negara di dunia melakukan aktivitas ekonomi dan perdagangan secara lebih bebas. Modal akan dipindahkan dari tempat yang sudah tidak efisien (negara maju, karena sudah banyak) ke tempat baru yang sedang tumbuh (negara semi-pinggiran). Memungkinkan terjadinya industrialisasi di negara-negara berkembang sebagai hasil suntikan modal yang diberikan oleh negara maju melalui perusahaan-perusahaan multinasional yang berinvestasi di negara berkembang tersebut. Perdagangan bebas dan proyek investasi juga menjadikan negara berkembang sebagai konsumen dari produk yang dihasilkan negara maju, atau dalam istilah lain memunculkan ketergantungan. Dalam hal ini, Indonesia masuk dalam sistem dunia karena mengalami industrialisasi. Pada 1990-an, perusahaan retail dari negara-negara maju seperti Jepang, Belanda, dan Amerika Serikat masuk ke Indonesia. Hal ini adalah salah satu bentuk strategi Indonesia untuk naik kelas dalam sistem dunia, yakni dengan menarik investasi perusahaan luar negeri untuk mendirikan perusahaan multinasional dan menggandeng pengusaha lokal.
Ketika perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang fashion melakukan ekspansi ke Asia Tenggara, Indonesia adalah salah satu negara yang dituju dan dianggap cocok sebagai lokasi pabrik mereka. Beberapa merek besar seperti Nike dan Champion mendirikan pabrik dan memproduksi beberapa lini produknya di Indonesia. Walaupun diproduksi di Indonesia, namun produk tersebut mayoritas dijual ke negara di Eropa, sebagian Asia ataupun di Amerika Serikat. Di sisi lain, anak muda di Indonesia kini banyak yang memilih untuk membeli pakaian bekas impor. Menariknya, merek yang banyak dijumpai adalah Nike dan Champion, yang mana juga diproduksi di Indonesia. Fenomena ini menunjukkan bagaimana sistem dunia bekerja. Negara maju mengeksploitasi negara berkembang, dan negara berkembang akan selalu menjadi konsumen berbagai produk dari negara-negara maju tersebut. Negara berkembang seperti Indonesia menjadi pasar yang sangat “seksi” bagi negara maju untuk menjual berbagai produknya. Sekalipun itu barang bekas, dengan kekuatan merek yang terkenal, nyatanya masih banyak orang mau membelinya.
Selain itu, berkembang pesatnya tren thrifting menjadi indikator bahwa pakaian bekas impor jumlahnya semakin banyak. Logikanya, jika permintaan meningkat, otomatis harus dipenuhi. Maka dari itu, pakaian bekas yang di negara asalnya merupakan “limbah”, malah menjadi barang incaran di Indonesia, khususnya kalangan anak muda yang menjadikannya sebagai outfit estetik. Di satu sisi, hal ini bisa dimaknai positif dengan tidak bertambah banyaknya limbah pakaian karena pakaian bekas digunakan kembali, termasuk oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Namun di sisi lain, menimbulkan berbagai persoalan terkait potensi penyebaran penyakit dari pakaian bekas tersebut dan adanya praktik penyelundupan pakaian bekas impor.
Pada akhirnya, posisi Indonesia sebagai negara semi-pinggiran menjadikannya cocok sebagai pasar produksi dan pasar konsumsi, karena ada di tengah-tengah, bukan negara maju namun bukan juga negara tertinggal. Walaupun teori sistem dunia mengeklaim bahwa ada kemungkinan negara-negara bisa naik atau turun kelas, namun peluangnya cukup minim mengingat hal itu sangat bergantung pada dinamika yang terjadi. Jadi, jika relatif aman dan tidak terjadi banyak perubahan, maka posisi negara-negara di dalamnya pun akan tetap sama. Artinya, Indonesia akan tetap diposisikan sebagai negara semi-pinggiran, apalagi dengan kenyataan bahwa kita memang menjadi konsumen utama produk dari negara-negara maju, bahkan untuk “produk limbah” berupa pakaian sekalipun.