Tuan Patung

ilustrasi tuan patung

Gadis berambut abu itu menatap langit begitu lama—seakan ada atraksi menarik yang sayang untuk dilewatkan—sambil terduduk di bangku taman di sisi bukit kecil ini, yang untungnya tak membuat ia menengadah terlalu tinggi untuk melihat hamparan awan di atasnya. Aku sendiri tak menyukai langit dengan jutaan awan yang bergerak perlahan ke sana-kemari itu. Aku selalu yakin, sore akan bertemu dengan rintikan hujan jika langit pagi seperti itu.

“Itulah yang kunantikan. Hujan sore hari. Dan awan-awan inilah para delegasi yang akan menghantarkan hujanku nanti,” bisik si gadis berambut abu dengan ujung bibir yang menyunggingkan senyum manisnya. Bukan padaku, tapi aku mendengar bisik lembutnya itu.

Tak lama setelahnya, wajahnya tak lagi menengadah ke langit luas. Kebalikannya, kini ia tertunduk. Tangannya bergerak lincah di atas kanvas kecil seukuran buku catatan. Ia tengah melukis sesuatu. Aku tidak dapat melihatnya, helai-helai rambut abunya yang terjuntai di samping wajahnya menutupi kertas lukisnya dari pandanganku. Tak apa. Biasanya, setelah ia selesai melukis dan kembali duduk dengan tegak, aku dapat melihat hasil dari tarian lincah jemari ajaibnya itu.

Aku akan menunggu, seperti biasa.

“Selesai,” ucapnya dengan nada riang. Dengan senyum lebar, ia mengangkat hasil lukisnya. Mungkin agar ia sendiri pun dapat mengamati lebih jelas, dibantu sinar mentari pagi ini, yang masih bersahabat. Atau, mungkin ia tahu aku tengah menunggu hasil lukisannya. Mungkin ia sengaja mengangkatnya, selalu.

Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, pagi ini gadis berambut abu itu menggambar sebuah sequence.

Di atas kanvas putihnya, seorang pria hitam dengan senjata di bahunya. Ia tampak angkuh dan gagah berdiri tegak dengan seragam tentaranya. Lalu, tentara hitam itu menurunkan senjatanya dari bahu. Dengan tetap menggenggam senjatanya, pria tersebut turun dari tempatnya yang berupa tembok setinggi setengah meter khusus untuknya.

Pria bersenjata yang bagaikan siluet di kanvas itu berjalan menuju sebuah kursi, dengan latar kursi taman dan padang rumput. Aku merasa mengenal tempat di lukisan tersebut.

Di akhir kisahnya, gadis pelukis itu menggambarkannya. Sesuatu yang tak kuduga.

Pria bersenjata itu membungkuk, mengambil sebuah buku terbuka.

Dengan jelas, si pelukis menuliskannya di gambar itu, pesan di halaman depan buku untuk si tentara hitam: “Untukmu, Pahlawanku”.

Aku tersenyum. Berterima kasih. Aku tidak tahu, apakah gadis berambut abu itu mendengarku atau tidak, tapi kini ia menatap ke arahku dengan sorot matanya yang teduh dan senyum kecilnya yang manis, sambil mengangguk kecil.

Lalu, ia beranjak dari tempatnya. Meninggalkan buku kanvasnya yang terbuka di kursi taman. Di atasnya tertulis: “Untukmu, Tuan Patung”.

Sore datang, aku meringis. Karena tidak dapat mengambil kanvas tersebut dari kursi taman itu seperti yang gadis itu lukis. Karena, seperti dugaan kami, hujan pun datang. Memudarkan namaku di atas kertas lukis itu.

Malam datang, dan aku hanya harus kembali menunggu pagi untuk dapat merasai mentari bersama si gadis abu kembali. Seperti biasa. Sekalian, akan kupinta gadis itu membawa pulang buku kanvasnya. Kasihan, aku tak bisa menerimanya. Itu pun, jika ia mengerti.

Namun, tiga kali mentari pagi menyapa, gadis abu tak kunjung datang. Hanya buku kanvasnya yang semakin lusuh menemaniku.

Aku teringat ia pernah menggumamkan sesuatu tentang ibu peri. Harapnya, saat itu, ada seorang ibu peri yang datang dan mengabulkan semua inginnya. Inginnya yang hanya satu. Pergi dari rumah, pergi jauh dari semua orang di rumahnya.

Kini, aku pun berharap, ibu peri itu ada. Dan mengabulkan satu mohonku. Untuk dapat melakukan seperti apa yang gadis itu lukis. Melindungi kanvas si gadis abu. “Biarkan aku lepas dari beton ini,” pintaku, pada ibu peri yang entah ada atau tiada.

Lalu kupikir, ibu peri itu benar adanya. Kini ia telah mengabulkan ingin si gadis, yang mungkin saja telah pergi jauh dari rumahnya. Karenanya ia tak kunjung datang menatap langit di bukit ini. “Ibu peri, datanglah, kini giliran inginku kau kabulkan,” pintaku, sekali lagi.

Malam itu tidak tenang seperti biasa. Beberapa suara berat pria bermunculan di sekelilingku. Entah membicarakan apa, aku tidak begitu mengerti. Mereka mengatakan sesuatu tentang pembangunan. Dan sesekali menunjukku dengan jari mereka. Tapi, bukan itu yang kupedulikan, tidak biasanya orang-orang datang ke bukit kecil dan sepi ini. Hanya si gadis abu. Aku takut buku kanvasnya mereka ambil. Buku lukis yang kini telah tergeletak tak berdaya dan tambah lusuh di bawah kursi. “Ibu peri, cepat datang. Biarkan aku menyelamatkan buku itu!” Aku menatap putus asa pada senjata yang kupegang. “Tidak berguna!” makiku. Andaikan aku punya cangkul, akan kucangkul kakiku dari beton ini. “Ah, bahkan jika punya pun, aku tak bisa menggunakannya,” bisikku, putus asa.

***

Pagi itu, langit tidak berawan. Aku tersenyum. Sore ini tak akan hujan. Buku kanvas ini pun tak akan basah, lagi pula, “Ah, kau benar, gadis cantik! Ibu peri memang ada!” seruku, semangat.

Kini, lembaran-lembaran hasil lukisan si gadis berambut abu itu bisa kujaga. Buku itu telah ada, tepat di bawahku. Aku melindunginya, bahkan dari sinar mentari.

Aku melihatnya, tembok beton tempatku biasa berdiri itu akhirnya telah hancur, dan aku sudah tak lagi berdiri mematung di sana. Kini aku berada dekat dengan lukisan wajahku.

Tes.

“Apa ini?” tanyaku, merasakan ada setitik air jatuh di atasku. Aku yakin, langit tak berwajah sendu dan mendung untuk begitu saja menjatuhkan air hujannya.

“Hiks, hiks, Ayah….”

Itu suara si gadis pelukis. Aku melirik seseorang yang terduduk di sampingku.

Ah, benar. Si gadis berambut abu. Tapi, kenapa dia menangis?

“Jangan menangis, aku tidak bermaksud merusak buku lukismu,” ucapku, walaupun sia-sia saja, ia tidak mendengarnya.

“Paman! Paman janji nggak akan ganggu bukit ini! Paman juga janji nggak akan hancurin patung Ayah!”

Aku tidak mengerti. Mengapa si gadis abu berteriak-teriak frustrasi pada pria paruh baya yang telah kuberikan predikat “ibu peri” karena telah mengabulkan mohonku untuk keluar dari tembok itu?

Dini Nurilah
Latest posts by Dini Nurilah (see all)

Comments

  1. Anonymous Reply

    Aduh 😢😢

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!