Tuan Segala Nama

Menurut asy-Syaikh al-Akbar Muhyiddin ibn ‘Arabi (1165-1240), alam semesta ini tak lain merupakan dimensi lahiriah Allah Ta’ala. Tidak ada siapa pun yang mengejawantahkan dan menjadikannya eksis hingga detik ini kecuali hadiratNya. Tak mungkin ada siapa pun yang lain. Tak mungkin pula alam semesta ini lepas dariNya. Secara hakikat, keberadaannya adalah keberadaanNya. Dari Allahlah alam semesta ini terealisasi dan bersamaNya jua menempuh proses demi proses dari Dia yang awal menuju Dia yang akhir.

Bila realisasi dari alam semesta ini berikut segala proses yang ditempuhnya ditangani oleh sejumlah nama hadiratNya, maka al-Haqiqah al-Muhammadiyyah yang merupakan induk dari seluruh anasir alam semesta ditangani secara spesifik oleh induk dari seluruh namaNya. Yakni, “Allah” itu sendiri. Bukan “ar-Rahman”, “ar-Rahim”, “al-Malik” dan lain sebagainya dari semua nama yang indah di dalam al-Asma’ al-Husna.

Di alam semesta yang empiris dengan gelombang kehidupan yang senantiasa bergerak dan sering kali gaduh ini, al-Haqiqah al-Muhammadiyyah itu mengejawantah menjadi Nabi Muhammad Saw. yang lahir di Mekkah pada 571 M dan wafat di Madinah 63 tahun kemudian. Dunia ini tidak pernah melahirkan sesosok manusia yang sempurna sebagaimana beliau sebelumnya. Juga tidak pernah dan tidak akan pernah melahirkan lagi orang yang seagung beliau sampai kapan pun, bahkan hingga kiamat tiba entah kapan di masa depan.

Dan karena ditangani langsung oleh “Allah” yang merupakan tuan bagi seluruh namaNya yang lain, maka efeknya adalah bahwa beliau jauh lebih bermutu kualitasnya dibandingkan dengan semua yang ada dan yang akan mengalami ada. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dunia dan akhirat sekalipun hanyalah merupakan bagian dari “derma” beliau yang tidak akan pernah sanggup untuk menyaingi dan menandingi beliau baik secara substansial maupun secara ontologis.

“Allah” yang dimaksud dalam konteks esai ini tak lain merupakan atribut mutlak yang menunjuk kepada zat, sifat-sifat dan nama-nama hadiratNya semata. Semuanya dikandung di dalam atribut paling sakral tersebut. Dan karena itu, sebagai konsekuensinya sangatlah rasional jika diungkapkan bahwa sebagai “wadah” yang tidak kepalang tanggung luasnya, al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, itu begitu longgar menampung hakikat segala sesuatu dari seluruh alam raya. Dengan kalimat lain bahwa Nabi Muhammad Saw. itu jauh lebih luas secara substansial ketimbang dunia ini dan akhirat nanti. Sungguh mengagumkan.

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa beliau merupakan tuan bagi seluruh alam raya. Namanya, dengan demikian, adalah tuan bagi seluruh nama yang pernah ada dan yang akan muncul dari lumbung kemahaan hadiratNya. Namanya juga merupakan yang terindah dan teragung dari semua nama. Bahkan Allah Ta’ala sendiri dengan sengaja menjejerkan namanya dengan nama hadiratNya sebagaimana yang tertera pada dua kalimat syahadat.

Dimensi lahiriah Nabi Muhammad Saw. merupakan tuan bagi dimensi lahiriah alam semesta. Sedang dimensi batiniah beliau adalah tuan bagi dimensi batiniah alam semesta. Itulah sebabnya kenapa dalam suatu perjalanan Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib pernah menyaksikan secara langsung adanya sejumlah pepohonan dan bebatuan mengucapkan salam takzim dan penghormatan pada beliau dengan suara yang gamblang. Makhluk-makhluk tak berakal pun tunduk dan hormat kepada beliau.

Dari sisi martabat beliau di hadapan Allah Ta’ala, bukan dari sisi kemanusiaannya, beliau dianugerahi rububiyyah: sebuah kedudukan rohani tertinggi yang digunakan oleh hadiratNya untuk mengatur dan menumbuhkembangkan seluruh makhluk hingga akhirnya mencapai finis masing-masing. Sedang dari dimensi kemanusiaannya, beliau tak lebih dari seseorang yang senantiasa membutuhkan Tuhannya sebagaimana hamba-hamba yang lain. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!