“Sesungguhnya Tuhan kalian itu esa.”
Ayat empat surat ash-Shaffat itu mengabarkan kepada kita semua bahwa sesembahan kita, Tuhan, tunggal adaNya. Tak mungkin lebih. Sebab, lebih dari satu itu tidak “memenuhi syarat” sebagai Tuhan. Itu menunjukkan adanya persekutuan. Dan persekutuan adalah kelemahan. Dan kelemahan tak mungkin disandangNya. Sampai kapan pun. Selamanya.
Tunggal zatNya. Tunggal sifatNya. Tunggal perbuatanNya. Bahkan tiga “komponen” itu tunggal adanya. Tiga hal itu disebut sendiri-sendiri semata untuk keperluan penjelasan. Artinya adalah bahwa sifat dan perbuatan Tuhan itu tidak terpisahkan dari zatNya. Sama sekali tidak. Karena hal itu jelas menunjuk pada kemahasempurnaan Tuhan yang memang merupakan sifatNya.
Hanya ada satu Tuhan. Lantas, kalau memang demikian, kenapa ada banyak agama? Hal itu tak lain merupakan aneka ragam “perspektif” atau pendekatan kepada hadiratNya. Dan karena manusia senantiasa diborgol oleh kenisbiannya yang jelas terbatas, maka heterogenitas pendekatan kepada Yang Mutlak itu tidak bisa dihindarkan.
Objek dari seluruh sembah sujud yang digelar oleh masing-masing agama itu dapat dipastikan satu adanya. Dialah Tuhan Yang Esa. Dalam konteks ini saya tidak sedang membicarakan yang mana yang paling sahih dari sekian “model” sembah sujud yang dipraktikkan oleh masing-masing agama. Tapi untuk memastikan bahwa sesungguhnya Tuhan Yang Esa itu merupakan “konvergensi” agama-agama.
Menurut Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj (wafat pada 922 M) dalam kitab Haqaiq at-Tafasir (Kairo, Maktabah Madbuli, cet. I: 2006, hlm. 233), selain memastikan adanya Tuhan Yang Esa bagi seluruh alam raya, ayat di atas itu juga secara tidak langsung mendorong umat manusia agar memahami sekaligus menyadari bahwa secara substansial keanekaragaman itu sebenarnya tunggal adanya. Perbedaan-perbedaan itu hanya terletak di permukaan, menjadi bagian dari segala yang artifisial. Sama sekali tidak hakiki.
Di sini, keanekaragaman itu tampil sebagai ujian sekaligus jebakan. Sebagai bayang-bayang yang menyimpan berbagai tipuan. Dan karena hanya merupakan bayang-bayang, maka warna-warni yang melekat padanya sama sekali tidak autentik. Tidak sebagaimana asal-usulnya. Bukankah warna-warni itu batas? Sedang Tuhan tidak mungkin tersentuh, apalagi sampai diringkus oleh warna-warni itu.
Segala anasir yang seolah beraneka ragam di alam semesta ini mutlak datang dari Tanpa warna, dari Tanpa bentuk, dari Tanpa arah, dari Tanpa rupa, dan lain sebagainya. Semua itu datang dari Yang Maha Mutlak yang tidak mungkin dilingkupi oleh berbagai macam pembatasan apa pun yang menunjuk pada adanya kenisbian dan kelemahan. Itu tidak korelatif absolusitasNya.
Orang yang sadar dan merasakan bahwa semesta ini merupakan bayang-bayang yang sebenarnya tunggal, maka dia pasti mengalami dan meyakini bahwa Tuhan itu tunggal adaNya. Dan karena semesta ini tidak muncul dari mana pun kecuali dariNya, maka kita bisa menarik seutas konklusi bahwa wujud itu sesungguhnya satu, wujud Tuhan semata. Karena itu, janganlah kita hidup dengan mendua, tapi murni tenggelam dalam samudra esaNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024