What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.
(William Shakespeare, 1564–1616)
Tahun 2015 lalu, seorang tukang kayu sedang diangkat nasibnya berkat sebuah nama. Dan dengan nama itu, ia bertanya-tanya, mengapa Tuhan Yang Agung mengangkat “Tuhan” ke hadapan publik. Si tukang kayu yang mendadak tenar itu menyita perhatian hingga diundang berbagai stasiun televisi.
Ketenaran nama “Tuhan” yang disandang si tukang kayu dari Banyuwangi ini seolah-olah ingin meruntuhkan sebuah tesis yang dibangun oleh Shakespeare yang selalu memicingkan mata di panggung teater dan bergumam; “Apalah arti sebuah nama? Andai kata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan wangi.”
Tentu, Shakespeare boleh menyangsikan nama dan kesakralannya. Ia boleh bersikap skeptis tentang muasal nama-nama setiap benda, tapi siapa yang dapat mengontrol nasib nama dan pemiliknya? Para orang tua, di Jawa khususnya, selalu meyakini, bahwa nama adalah doa. Mereka menginginkan agar makna pada sebuah nama menjadi jalan hidup yang setidaknya akan mengingatkannya hingga tubuh berkalang tanah.
Semestinya instansi agama tidak perlu sibuk melarang seseorang memiliki nama apa pun, termasuk nama “Tuhan”. Sebab manusia yang bernama “Tuhan” bukanlah Tuhan Sang Pencipta Alam. “Tuhan” dari Banyuwangi itu tetaplah manusia biasa, yang setiap pagi perlu keluar masuk kamar mandi, yang butuh makan dan minum, yang perlu tidur bila ngantuk, yang butuh hubungan biologis dengan pasangannya.
Apakah tukang kayu dari Banyuwangi yang bernama “Tuhan” itu akan berbahaya bagi lingkungannya? Apakah akan membuat orang lain murtad dengan nama itu? Tentu saja tidak. Tidak ada orang-orang di Banyuwangi, di sekitar rumah si Tuhan tukang kayu itu yang murtad sebelum diekspos media. Tidak ada. Lalu apakah dengan nama “Tuhan” yang diberi orang tuanya itu akan membuat ia akan mengaku jadi Tuhan Yang Maha Kuasa? Terlalu lebay jika kita memikirkan ke arah sana.
Perumpamaan serupa adalah nama “Nabi” yang muncul kemudian hari dari kota Pamekasan Madura. Apakah dengan nama “Nabi” akan membuat ia akan mengaku menjadi nabi baru? Tentu saja tidak. Sosial media kadang banyak memproduksi makna dan prediksi-prediksi di luar logika yang jernih.
Orang tua mereka memberi nama “Tuhan” sejatinya agar anaknya selalu ingat (eling) kepada Tuhan Yang Menciptakan Semesta Alam. Orang tua mereka memberi nama “Nabi” menginginkan agar anaknya meniru para Nabi dalam bersikap; meniru Nabi ketika disakiti; meniru Nabi dari bangun tidur sampai tidur lagi. Secara esensial, semestinya tidak ada yang perlu dipersoalkan dengan nama-nama yang berdekatan dengan inti sebuah ideologi.
***
Manusia lahir ke dunia tanpa nama dan akan menaruh kembali nama itu sebelum tubuh ditanam ke dalam lubang kubur. Tapi mengapa banyak orang yang habis-habisan memperjuangkan popularitas sebuah nama?
Nama seolah-olah memberi derma, simpati, perhatian, bejo, dan keselamatan. Itulah sebabnya, orang-orang Jawa meyakini, apabila anaknya sering sakit, akan mengganti namanya. Dan seminggu kemudian, setelah nama itu diganti, penyakit perlahan sirna.
Orang-orang Madura yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah, dapat dipastikan akan mengganti namanya sepulang dari tanah suci, misal bernama Mudabi, lalu diganti menjadi H. Abdul Hamid Al-lihyati.
Seolah-olah ada gengsi sosial yang membedakan antara orang yang pernah naik haji dan tidak. Seperti ada perbedaan status sebuah nama yang mendapatkan label haji dan belum haji, baik secara status ekonomi maupun status kesalehan dalam ruang lingkup sosial.
Dan di sinilah nama disakralkan. Tidak mudah seseorang, atau bahkan lembaga agama seperti MUI, memaksakan orang lain mengganti nama pada si tukang kayu dari Banyuwangi itu.
Jauh-jauh hari, penyair Faisal Kamandobat pernah berkumandang melalui puisinya yang berjudul “Pada Sebuah Senja”:
Aku lahir telanjang
Tanpa nama dan pakaian
Tanpa kata-kata dan kesangsian
Aku pun ingin mati telanjang:
Sebelum masuk ke dalam kubur
Kutaruh nama, pakaian, kata-kata
Dan kesangsianku
Di dunia yang bagus ini
Tidak perlu ribut perihal sebuah nama. Sebab keributan tersebut hanya akan melahirkan sensasi. Nama sebagaimana pemiliknya, memiliki makna dan nasibnya sendiri. Sang pemilik nama sebagaimana nama yang disandangnya, lahir dan diturunkan ke muka bumi ini dalam keadaan suci (fitri), bergantung bagaimana nama dan pemiliknya itu berproses, internalisasi, beradaptasi, merespons, dan menyikapi dunia yang bagus ini.
Boleh jadi ia bernama Avifah Ufah, misalnya, Habib Rusydi, Abdul Hamid, Suderap, Matrakib, dan seterusnya. Boleh jadi ia memiliki nama Abdul Ghani, yang artinya “hamba yang kaya raya”. Tetapi seiring nama dan pemilik nama itu hidup dan berproses, apakah sang pemilik nama benar-benar menjalani inisiasi makna itu sebagaimana kehendak orang tua?
Orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang sungguh-sungguh ikhlas, tapi nyatanya ia menjadi orang yang suka menggerutu, suka marah, dan suka dipuji. Ia diinginkan sang pemberi nama agar menjadi orang kaya, kok ternyata miskin, padahal sudah bekerja keras.
Dan yang demikian seharusnya menjadi renungan bersama agar tidak terjebak dalam formalitas nama. Dan tidak serta-merta akan mengganti nama-nama ideologis yang muncul kemudian seperti “Tuhan”, “Nabi”, “Gusti”, “Saiton”, “Slamet Dunia Akhirat”, “Andy Go To School”, dan “Anti Dundraaf” dengan seenak hati.
Nama, sebagaimana sebuah puisi, tidak boleh ada yang menambahi dan mengurangi. Jika ada yang berani, maka ia dapat dimaknai telah berani menanggung perihnya. Rakh! Dhikah!***
- Biografi Kesetiaan - 3 April 2016
- Tuhan, Nabi, dan Kesakralan Sebuah Nama - 6 March 2016
- Sajak Buah Pinang; Puisi-Puisi Ahmad Muchlish Amrin (Madura) - 16 February 2016