
Sumpah atas nama Tuhan yang dilantangkan Patrialis Akbar menampik dakwaan gratifikasi seusai KPK menciduknya melalui operasi tangkap tangan (OTT), jelas bukan praktik baru di negeri ini. Jauh-jauh sebelumnya, sekadar menyegarkan ingatan, Al-Amin Nasution, Anas Urbaningrum, Lutfi Hasan Ishak, Fathanah, hingga Akil Mukhtar juga melakukan hal yang sama: memanggil nama akbar Tuhan bahkan dengan mata berkaca-kaca untuk mensterilkan diri dari dakwaan korupsi. Sayangnya, pengadilan bergeming atas sumpah-sumpah demi Tuhan itu dan menjatuhkan hukuman tetap kepada mereka.
Pada tanggal 27 Januari 2017, Patrialis Akbar berkata lantang di hadapan pers: “Demi Allah, saya betul-betul dizhalimi. Nanti kalian bisa tanya sama Basuki (Hariman). Bicara uang saja saya enggak pernah. Sekarang saya jadi tersangka. Bagi saya ini adalah ujian, ujian yang sangat berat.”
Berikutnya, dari lalu-lalang berita, kita tahu Patrialis Akbar mengakui bahwa dirinya telah melakukan pelanggaran etik. Kode etik seorang hakim yang menangani suatu perkara untuk tidak berhubungan dengan pihak-pihak yang berperkara.
Soal pelanggaran kode etik, kalau yang melakukannya adalah kaum Samurai misal, tiada cara lain untuk menyelesaikannya kecuali harakiri. Tapi kita memang tak mengenal tradisi Samurai itu. Kita berpayung tradisi Nusantara, berbaur tradisi Islam, yang menempatkan bunuh diri sebagai sikap terlarang. Balasannya neraka, begitu pandangan kita sebagai umat Islam yang menjunjung tinggi al-Qur’an dan teladan Rasulullah Saw.
Lantas, bagaimana perihal sejumlah uang yang disita oleh KPK yang diduga hasil gratifikasi itu?
Biarkan pengadilan yang kelak memutuskannya. Seadil-adilnya.
Kini mari kita ulik perkara relasi Tuhan dengan koruptor. Begini maksud saya. Fakta yang saya singgung di awal tulisan ini, bahwa sebagian koruptor menyeru-nyeru nama Tuhan, bersumpah atas kesucian namaNya, untuk melindungi dirinya dari praktik korupsi, memperlihatkan bahwa dimensi sakral (Allah) dan dimensi profan (korupsi) kerap dileburbaurkan untuk menggapai suatu tujuan. Pada konteks ini adalah tujuan menyatakan dirinya bersih dari dugaan korupsi itu. Paling mudah, gratis, dan pada sebagian orang melenakan.
Bila urusannya sudah bersumpah atas nama Allah, dalam al-Qur’an, tiada lain yang bisa dilakukan kepadanya kecuali memberikan kepercayaan bahwa sumpahnya diterima. Logikanya, terduga korupsi itu bisa diterima sumpahnya bahwa ia tidak melakukan perbuatan buruk itu. Dalam bahasa al-Qur’an, situasinya kemudian diserahkan kepada Allah: jika ia berdusta, hukum Allah yang akan melindasnya di dunia dan akhirat; dan jika ia benar, maka Allah pula lah yang akan menolongnya di dunia dan akhirat.
Tetapi, memang negara kita memiliki perangkat regulasi legal-formal tersendiri. Maka dilakukanlah berbagai rangkaian proses pengadilan yang mahapanjang itu. Hingga pada puncaknya, hakim akan memutuskan terdakwa bersalah atau tidak. Namanya hakim yang sama manusianya dengan kita, boleh jadi keputusannya benar atau salah. Boleh jadi pula ada suatu kepentingan tertentu di dalam keputusannya. Apa pun itu, secara legal-formal, negara hukum kita telah menggariskan demikian, sehingga siapa pun yang berperkara di pengadilan haruslah patuh sepenuhnya kepada keputusan final pengadilan.
Kasus Antasari Azhar, misal. Banyak sekali cerita dan kesaksian yang mengatakan bahwa keputusan hukum yang dipikulnya memiliki tendensi politis tertentu. Benar atau salahnya, hanya Tuhan yang tahu. Faktanya, secara hukum, Antasari haruslah menghadapi keputusan pengadilan itu.
Begitupun yang akan terjadi pada Patrialis Akbar. Ini fakta pertama.
Kedua, fakta yang amat membuat kita gelisah ialah mengapa teramat banyak orang Islam yang memperlihatkan keagungan-keagungan simbolis religius Islam terjatuh ke kejahatan-kejahatan yang sama sekali tak sepantasnya dilakukan?
Kurang religius bagaimana lagi sosok Patrialis Akbar ini secara simbolis Islam? Lengkap sempurna semua emblem kekaffahan itu tersemat padanya. Mulai dari sosok cendekiawan muslim, penda’i, hingga pembangun masjid. Namanya harum sebagai muslim terpandang, anutan masyarakat, dan guru banyak umat.
Korupsi kemudian tanpa ampun menjatuhkannya. Betul, masih dalam proses hukum yang panjang. Tetapi, mari ingat, orang-orang yang kena OTT KPK selama ini dapat dipastikan tak bisa lepas sama sekali dari jeratan hukum korupsi itu. Artinya, secara fakta persidangan, mereka terbukti kuat dan meyakinkan telah melakukan dugaan korupsi itu. Dan, Patrialis Akbar berada di posisi demikian pula kini.
Pertanyaan di atas, bila diperdalam lagi, bisa dimunculkan dalam narasi resah begini: dikemanakan gerangan wajah Allah dari hatinya ketika seseorang tergoda untuk menerima suap itu? Apakah dalil-dalil al-Qur’an dan hadits yang fasih banget disampaikannya selama ini di berbagai panggung ceramah, termasuk ancaman-ancaman siksa neraka, hanya bekerja layaknya sebuah etalase, lipstik, gagah-gagahan wacana dan sama sekali tak sublim di dalam jiwanya? Bagai air di atas daun talas yang ketumpahan minyak?
Dengan situasi menggelisahkan sejenis itu, tampaknya statemen Paul Feyerabend, filsuf Jerman, akurat perihal kebenaran itu sesungguhnya tak lebih dari sekadar cara memandang sesuatu kemudian mengidealisasikannya dalam kebenaran-kebenaran. Dalil-dalil itu benar hanya dalam satu sudut memandangnya—adapun di tingkat idealisasinya di jiwa sebagai kebenaran-kebenaran adalah hal-hal lain yang amat boleh jadi begitu centang-perenang. Kita bisa melihat dengan benderang pada perilaku politikus kita yang tega betul menguntaikan simbol-simbol Islam untuk mengeduk keuntungan politiknya belaka.
Saya, misal, memandang Anda cantik dan seksi. Itu satu hal. Tetapi, pada hal berikutnya, saya tak pernah mengidealisasikan kecantikan dan keseksian Anda sebagai apa pun dalam jiwa saya, hidup saya, maka Anda tiada efek sama sekali kepada diri saya. Beda kisah bila kecantikan dan keseksian Anda membuat saya terbius, terobsesi, lalu menjadi idealisasi dalam hidup saya, jiwa saya, maka terbanjarlah efek-efeknya.
Ketika nama agung Tuhan yang sakral beserta banjaran ayat dan hadits penyokongNya juga tak berhasil saya idealisasikan sebagai prinsip hidup, pandangan jiwa, sudah pasti Tuhan hanyalah kesia-siaan buat saya. Saya tak beda sama sekali dengan kaum ateis yang menarik keberadaan Tuhan. Mungkin Tuhan lalu hanya saya hadirkan dalam suatu etalase, lip service, untuk suatu tujuan profan. Bisa pencitraan, kepentingan politik, target ekonomis, atau topeng kemunafikan.
Statemen ini akan sangat mudah kita rasakan esensinya bila kita kaitkan lebih lanjut dengan fakta bahwa Tuhan adalah Dzat yang Supranatural dan kita adalah makhluk yang natural. Naturalitas kita, sebutlah nalar, takkan mampu menghadirkan Wajah Tuhan dalam bentuknya yang natural macam kita—sekali lagi, sebab Tuhan memang adalah Dzat yang Supranatural. Maka Tuhan kemudian hanya bisa kita ejawantahkan sebagai bingkai tata nilai, filosofi, world view. Itulah makanya antara orang yang percaya Tuhan dan tidak akan berbeda pegangan tata nilai, filosofi, dan world view-nya pada hidup ini. Contoh sederhana, tanyakan saja kepada mereka: apa tujuan hidupmu? Pasti akan sangat total berpunggungan.
Di derajat rasa Supranatural pada maujud kita yang natural begini, sama sekali tiada ukuran apa pun yang bisa ditakikkan pada seseorang selain kekarimahan perilakunya. Orang yang rajin mengaji al-Qur’an, misal, akan disebut mulia sepanjang perilakunya tidak menyimpang dari perilaku kekarimahan atau keadaban. Akan lain cerita bila yang bersangkutan pada suatu hari diketahui publik tengah berduaan dengan seorang perempuan nonmuhrim di sebuah kamar hotel. Begitu seterusnya: nalar natural kita akan mampat untuk menakar kualitas nilai Supranatural pada diri seseorang kecuali perilaku keadabannya, kekarimahannya.
Orang secara umum lantas akan menyeru bahwa pelaku suatu keburukan, sebutlah korupsi, adalah orang yang tidak punya kualitas hubungan yang baik dengan Tuhan, meski ia fasih betul melafalkan dalil-dalilNya. Tidak berarti Tuhan lalu kehilangan sakralitasNya di lisan seorang koruptor. Tidak. Buktinya, koruptor pun bersumpah atas nama Tuhan. Tetapi, Tuhannya sang koruptor memang tidaklah sama dalam idealisasi kita tentang Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Tentu, suatu kelak, melalui suatu perjalanan jiwa, sebutlah pertobatan, Tuhannya mantan koruptor bisa sepenuhnya sama atau bahkan lebih baik daripada Tuhan yang kita sembah-sembah selama ini.
Siapa bisa menyangka perkara hati orang?
Jogja, 5 Februari 2017
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019