Tak ada yang lain selain dirimu
Yang selalu kupuja
Kusebut namamu
Di setiap hembusan napasku
Kusebut namamu
Kusebut namamu
Coba Anda dengarkan lagu Dewa berjudul Satu ini, terutama di bagian refrain, berulang-ulang, di malam buta. Adakah jiwa Anda lalu merasa terapung bagai buih tanpa daya di keluasan samudera?
Sejatinya, manusia memang selalu terapung di lautan kehidupan ini. Apungan-apungan itu akan terus terombang-ambing sesuai dengan arus-arus yang menghempasnya; dari arus kepentingan, impian, hingga arus pendidikan, keluarga, kultur, dan spiritual.
Baiklah, kita fokuskan pada bulan Ramadhan saja. Tak usah khawatir, saya takkan mengkultumkan Ramadhan sebagai bulan suci dengan “pahala ibadah dilipatgandakan tak terhingga”, bahkan “tidurnya orang berpuasa itu ibadah”, sebab sudut pandang demikian telah amat pasaran, karbitan, mboseni.
Mari ikut saya membaca Ramadhan dari kacamata Fritjof Capra, yang mengubrak-abrik pemikiran mekanistik-materialistik modernisme. Capra menuding Rene Dêscartes adalah biang kerok pupusnya kebudayaan yang manusiawi (bukan manusia) lantaran mengebiri hakikat “integritas” dan “keseimbangan”-nya. Manusia mengebiri sendiri nilai-nilai kemanusiawiannya sehingga menjadi tidak bermanusiawi lagi. Persis orang bunuh diri. Benar, parah sekali!
Istilah “sehat”, misal, seharusnya merupakan buah integrasi antara health (kesehatan) dan whole (keseluruhan). Bukan health saja, ala modernisme. Kedua kata itu aslinya berasal dari bahasa Inggris Kuno, hal, yang berarti “masuk akal, keseluruhan, dan sehat”. Di dalam kata hal itu, seyogianya terliput kata hale (sehat), heal (menyembuhkan), dan holy (suci). Itulah contoh hakikat “integrasi”. Demikian urai Capra.
Bukankah kehidupan kita kini memang demikian adanya, ya?
Lihatlah gedung-gedung rumah sakit yang disimbolkan melalui tembok dingin nan putih yang dijejali para dokter, perawat, dan staf yang bertampang es batu. Simbol-simbol yang memberaikan health dan whole; kecuali bila Anda berdompet tebal. Relasi hale, heal, dan holy telah lama ditendang justru dari “dunia pengobatan” itu sendiri. Mau apa Anda? Ada uang, suster ramah; ada uang, pasien sayang; ada uang, ada barang; dan sejenisnya.
Ah, tak usah pura-pura tak tahu, BPJS bukti autentiknya.
Bila mengikuti Capra, semua problem ini dipantik oleh perceraian integritas dan keseimbangan itu. Dan rezim materialistik-mekanistik khas modernisme adalah hulu ledaknya.
Lalu, bisa apa Ramadhan di hadapan mainstream kebudayaan hidup materialistik begini?
Tentu saja, Ramadhan takkan bisa berbuat apa-apa, sebab ia hanyalah washilah. Sarana menuju. Sekadar alat atau wadah. Ramadhan yang washilah ini ibarat saya menyediakan sebuah Alphard kepada Anda untuk menuju Jakarta sebagai ghayah-nya, maka sampai/tidaknya Anda ke Jakarta sepenuhnya tergantung pada Anda sendiri; bukan saya ataupun Aphard.
Ramadhan takkan bisa mengubah apa pun, tetapi kita sebagai shaim-nya yang mampu melakukannya jika mampu mencapai ghayah Ramadhan itu. Tujuannya. Ingat selalu nasihat Muhammad ‘Abduh, “Islam itu satu hal dan orang Islam itu adalah satu hal lainnya.” Analoginya: “Ramadhan adalah satu hal dan orang yang berpuasa itu adalah satu hal lainnya.” Yang muslim tapi tidak berpuasa, ah sudahlah, harap minggir saja.
Lalu bagaimana caranya bagi kita yang shaimun/shaimat untuk memulangkan kembali “integritas” dan “keseimbangan” hidup itu?
Mari bersama-sama memahami terlebih dahulu bahwa penyebab berberainya “integritas” dan “keseimbangan” dari hidup kita ialah akibat merajalelanya pemberhalaan materi dan kebenaran tunggal.
Ambil contoh. Bagaimana sikap kita pada anak yang tidak mendapat nilai bagus dalam pelajaran matematika dan bahasa Inggris? Bukankah kita dengan murah hati bersegera menistanya “bodoh”?
Di kepala kita, pelajaran matematika dan bahasa Inggris telah dijadikan “berhala”; kebenaran tunggal yang digugu sepenuh lahir-batin sebagai “satu-satunya jalan” meraih kesuksesan masa depan. Plus kebahagiaan. Anak yang tidak jago matematika dan bahasa Inggris dikapling si bodoh yang “bermasa depan suram”. Madesu! Tidak ada apresiasi untuk orang bodoh.
Gobloknya, di sisi lain, kita sebenarnya tahu bahwa teramat banyak tokoh-tokoh sejarah yang mempengaruhi peradaban dunia ini yang “bodoh”. Thomas Alfa Edison, misal. Di masa kecilnya ia dibodoh-bodohin, tetapi kini, bayangkan, bagaimana tampang dunia ini jika tak pernah dihuni “kebodohannya”?
Stephen Hawking, ilmuwan yang lumpuh sejak remaja. Siapalah yang sudi memasukkannya ke dalam “list manusia” sampai kita dibuat tercengang oleh karya-karya besarnya, terutama tentang relasi Waktu dan Big Bang.
Semua klaim bodoh yang sangat bias dan absurd itu merupakan anugerah durja dari “materialisasi-mekanisasi pintar” ala modernisme, yang mengubur kita ke liang “kebenaran tunggal”. Materi eksakta ditempatkan di lantai teratas sembari menginjaki dunia psikologi dan spiritual di lantai terbawah. Tak ayal, rontoklah integrasi dan keseimbangan hidup ini karenanya. Dan, kita tahu, setiap tali integritas putus, sontak di detik yang sama langgam keseimbangan pun jungkal. Persis mata rantai makanan di kehidupan alam liar.
Saya beri contoh lagi.
Saat semua orang berpacu menimbun saldo segunung-gunungnya, sebagai titah berhala “kebenaran tunggal” bahwa gunungan materi merupakan jalan tunggal menuju kebahagiaan, di waktu yang sama wafatlah “integritas hidup” berupa kepedulian lagi kedermawanan, apalagi kehalalan. “Keseimbangan hidup” untuk bekerja dan bersyukur jelas amblas. Kita lalai menyirami bunga-bunga hal di kebun kepala dan dada, sehingga kita selalu merasa kurang, sedih, dan cemas. Kebahagiaan sebagai ghayah “integritas” dan “keseimbangan” hidup, justru membuang muka dari hidup kita. Kita adalah tumbal diri kita sendiri.
Bukankah di sekitar kita kian berjubel saja orang berduit yang hidupnya tak lucu saking cemasnya, sampai rela melakukan hal-hal ganjil demi membeli kebahagiaan yang amat diidamkan?
Semua banjaran kisah itu saya kira telah cukup untuk mengetuk pintu hati kita bahwa hidup kita memang sarat anomali. Sembari menunggu berbuka, mari mikir-mikir rada ilmiah; kenapa saya diwajibkan berpuasa?; kenapa saya diperintahkan banyak mengaji?; mengapa saya dianjurkan banyak sedekah?; juga mengapa saya disunnahkan tawarih dan iktikaf?
Semua “prosesi Ramadhan” itu sejatinya mengandung titah bagi kita untuk segera pulang ke rumah “integritas” dan “keseimbangan” hidup. Bahwa tubuh kita perlu diistirahatkan; pikiran kita perlu disujudkan; harta kita perlu dihadiahkan; malam kita perlu disrawungkan; tidur kita perlu dipendekkan; dan seterusnya. Jika kita mampu untuk meletakkan “sesuatu” di hadapan “sesuatu lainnya”; bekerja di hadapan beristirahat; menabung di hadapan memberikan; merenung di hadapan berbicara; duduk di hadapan berdiri; diri di hadapan khalayak; ego di hadapan kolektivitas; aku di hadapan Kamu; dll., niscaya semua akan berarak secara health dan whole.
Ah, kebablasan, saya udah kayak lagi mengisi kuliah saja ini. Semoga Anda berkenan memaafkan saya yang mengutip Fritjof Capra di sini, bukan ayat atau hadits yang lazimnya dikutip para ustadz.
Monggo, selamat berbuka. Pastikan takjil Anda sepenuhnya halal, ya. Agar health dan whole berkenan menghuni rumah batin Anda.
Jogja, 4 Juli 2015
Sumber gambar: wallpapersncovers.com
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019