Usaha Hermeneutis Memaknai Kenangan

Conceptual image of female likeness face and abstract technology
i.huffpost.com

Aku kehilangan hitungan
di jarum jam bayanganmu tak pernah padam
mengukir rindu dengan pendulum waktu

Aku ingin pagi ini
sebutir embun menyentuh wajahmu sebagai tanganku
atau berkas sinar matahari menghangatkanmu sebagaimana
doaku

Ini lagu keberapa yang kudengarkan sejak jatuh cinta
kepadamu?

Gunawan Tri Atmodjo, “Minggu Pagi”

Sebagian isi kepala kita menyimpan rapi keping-keping kenangan yang berserakan. Di ceruk paling dalam. Tanpa terkendali. Masa lalu dan masa depan bertautkelindan pada suatu wadah berkapasitas raksasa bernama otak yang sangat muskil dikotak-kotakkan. Sebab semua itu adalah sepenuhnya kehidupan.

Segala upaya memilah isi kepala (kenangan dan harapan) secara dikotomis, pula hierarkis, jelas sama utopisnya dengan impian kaum Marxis untuk menyaksikan senarai keadilan sosial-ekonomi tanpa kelas di muka bumi ini tanpa adanya gemuruh pembangunan mal, perumahan, hotel, jalan tol, atau pertambangan. Atau, yang lebih dekat lagi, serupa “cara mengada” kita di hadapan apa pun yang sukar betul untuk semata disandarkan pada murni pilihan idealisme-kesadaran, sebab faktanya justru keadaanlah yang paling jemawa membentuk wujud “cara mengada” kita, lalu darinya berpijar bentuk kesadaran-kesadaran itu. Cara mengada oleh suatu keadaan cenderung menyalip pilihan kesadaran kita, bukan? Akuilah, tak perlu malu-malu. Semua kita begitu adanya, termasuk saya.

Mari berbijaksana saja untuk legawa menerima fakta tak terbantahkan betapa baik dan buruk sejatinya terus bersetubuh siang dan malam tanpa henti di kepala kita. Hitam dan putih berkelahi tanpa jeda. Benci dan cinta bergumul di ranjang yang sama sembari mengibarkan muak dan membisikkan rindu. Semua itu duduk berdampingan begitu rapat, sedekat kepala dan ingatan atau hati dan perasaan.

Boleh jadi, saat saya memuji seseorang nun jauh di sana seiring berlesatnya kebaikan-kebaikannya dalam suatu kenangan, di detik yang sama saya sedang melayangkan sebanjar makian padanya atas suatu kemuakan. Pujian dan makian menjadi sangat sumir untuk dipisahkan, dikategorisasikan, di-clear and distinct-kan, sebab deraian perasaan, ingatan, kenangan adalah sepenuhnya depth inside kehidupan kita yang ultim dan perennial.

Angle vs demons, demikianlah misal narasi filosofis mewedarkannya. Ada dalam Tiada, ala Jacques Derrida. Realitas dalam Hiperrealitas, ala Jean Baudrillard. Fusion of horizons, ala Hans-Gerog Gadamer. Lingkaran hermeneutis, ala Martin Heidegger. Simbolik dan sintagmatik, ala Roland Barthes. Dan sebagainya.

Ambruknya kepongahan rasionalisme yang diwartakan Rene Descartes melalui Positivisme yang kondang betul dengan slogan “Aku berpikir maka aku ada” dalam menjawab unsur-unsur nyata-ultim manusia ini pada gilirannya mendorong kita untuk melarikan diri dari belenggu-belenggu keterbatasannya. Kita, secara umum nan sederhana, lalu mengusung eskapisme sebagai suatu harapan yang diimpikan lebih berpijar untuk esok hari.

Sebagian kita, bereskapis dengan cara menampik kebenaran yang menyala di dalam jiwa sendiri. Kita menempatkan diri sendiri di satu sisi bersihadap dengan diri sendiri di sisi lainnya—bak laskar Troya menyambut serbuan tentara Yunani. Suatu kekonyolan sikap memang, tetapi bukankah teramat kerap kita menggemari laku-laku konyol demi seolah kita bahagia kendati sejatinya kita mafhum tak mungkin bahagia dengannya.

Sebagian lainnya memilih bereskapis secara spiritual. Memulangkan guruh-guruh badai di relung jiwa kala didera kenangan-kenangan yang menyayat itu sebagai lelaku perjalanan hidup manusia yang fana di hadapan kuasa Ilahi yang Abadi. Kita lantas merasa teduh dengannya. Merasa legawa menerima dan menempuhinya.

Demikianlah perbedaan eksistensial antara sang eskapis yang tanpa orientasi yang sakral dengan sang eskapis yang bersandar pada suatu dimensi sakral yang memberinya orientasi hidup. Sebutlah agama, ibadah, dan hikmah.

Dari kacamata filosofis, memang, keduanya bernarasi sama belaka. Sama-sama eskapisnya, sama-sama sedang berusaha melarikan diri dari kepungan diri sendiri.

Tetapi, dari kacamata ruhani, sebutlah orientasi hidup—yang jelas tak laik dinyatakan tidak filosofis sebenarnya sebab ia sealur dengan prinsip-prinsip eksistensialisme Heidegger, misal—akan selalu tersedia perbedaan ontologis pada jiwa kita setiap kali kita, misal, sedang diriuhkan perkelahian sengit kerinduan dan kebencian pada sesosok yang mengibarkan panji-panji kenangan.

Anda mau lari ke mana dari serbuan kenangan-kenangan?

Seorang gadis, sebutlah Ve, membisu di hadapan sebuah jendela kaca bening yang lebar, dengan mata melayang teramat jauh, jauh sekali, melintasi rerimbunan kembang yang menggigil, pucuk-pucuk rumah yang mengkeret, langit yang menggelap dipeluk mendung-mendung, dan hujan-hujan yang tak bosan menderaikan kisah-kisah panjang kenangannya pada sesosok di Malaka. Lalu, ia mendekati jendela kaca yang berembun ditempiasi hujan-hujan. Mendekat. Menempelkan telunjuknya yang dulu, dulu sekali, kerap disentuhkannya pada sebuah pipi dan kening seolah sedang membuat garis-garis masa depan. Air matanya mulai membasahi pematang matanya, lalu tumpah tetes demi tetes melintasi tanggul pipinya, dagunya, lehernya, dan lesap ke kerah bajunya.

Ia mendengus, menghempaskan arak-arak kenangan yang seolah padu sempurna antara ia yang manusia di balik jendela kaca dengan sesosok imajinasi ketika pipinya yang basah ditempelkan serapatnya ke wajah kaca bening itu. Dingin hujan yang merambati kaca bening itu seketika menyergap pipinya, merasuki batinnya, dan akhirnya membuatnya menyerah dalam sebuah bisikan, “Ya Allah….”

Tepat pada titik bisikan itu, ia memaklumi segalanya; menemukan wujud eskapismenya. Allah adalah ekspresi eskapismenya di hadapan deraan kenangan yang menyayat-nyayat. Allah menjadi penyelamatnya; bahwa kenangan adalah bagian nyata dari kehidupannya, yang tak mungkin disangkal dengan upaya-upaya apa pun selain kematian. Allah adalah jalan eskapisme yang membuatnya tetap setia pada kehidupan.

Bukankah tamsil ini merupakan sebuah eskapisme dengan suatu orientasi sakral (Allah) yang memiliki energi luar biasa untuk menguatkan segala bentuk kerapuhannya di hadapan kenangan?

Biar saya pungkasi refleksi ini dengan menukil secara agak nakal pandangan Paul Ricoeur tentang hermeneutika—bolehlah saya berseronok menyebutnya hermeneutika kenangan. Maafkan, Bung Ricoeur.

Di antara pilar filosofis hermeneutika Ricoeur ialah “event of meaning”: suatu peristiwa yang memproduksi makna-makna. Event itu tentunya bisa berskala privat-personal atau publik-komunal. Makanya tafsir apa pun bisa berskala privat-personal atau publik-komunal sekaligus.

Mekanisme lahirnya suatu makna (atau banyak makna) pada suatu event terkait erat dengan “teks yang menyingkapkan dirinya kepada pembaca” dan “pembaca yang membuka dirinya kepada teks”. Kesalingterbukaan antara teks dengan pembaca, antara suatu peristiwa dengan pencerita, menjadi pintu gerbang bagi lahirnya makna-makan tersebut. Itulah yang disebut Ricoeur sebagai “peristiwa hermeneutis”.

Bila teori peristiwa hermeneutis ini diterapkan pada Ve dan kenangannya (sesuai kisah di atas), sebutlah meruahnya ingatan, air mata, kerinduan, dan kebencian sebagai suatu “event of meaning” kenangan itu, ia sejatinya hanya memerlukan sikap legawa untuk menciptakan suasana saling menyingkapkan antara dirinya yang hidup (pembaca) dengan kenangan yang berderai di masa kini (teks). Ingat teorinya, teks yang menyingkapkan dirinya di hadapan subjek (pembaca) yang pula menyingkapkan dirinya.

Bila sang subjek (Ve) berkenan menyingkapkan dirinya sebagai Dasein (Manusia) dengan Being (meng-Ada) masa kini di hadapan kenangan-kenangannya (teks), amat mudah untuk memproduksi makna-makna baru atas (teks) kenangan-kenangan itu. Kenangan-kenangan yang telah menempuhi peristiwa hermeneutis ini takkan lagi mampat sebagai kerak-kerak mimpi masa lalu belaka, tetapi sanggup terjenterahkan (beyond) sebagai sejarah dan realitas kehidupan—yang tentu berfaidah sebagai medium pendewasaan.

Itulah sebabnya akan selalu berbeda nilai maknawinya antara subjek yang reflektif-filosofis dengan subjek yang reaktif-emosional dalam mewedarkan kenangan-kenangannya. Sekalipun, tetap saja, semua kita akan selalu sama perihal ikon-ikon yang menampak di permukaan (seperti kesedihan, air mata, kebencian, dan kerinduan), sebab semua kita tetaplah sama manusianya.

Air mata Ve yang hermeneutis akhirnya tidak akan sama lagi dengan air mata Ve yang reaktif-emosional; begitu pun perihal kesedihan, kerinduan, dan kebenciannya pada suatu kenangan.

Di tangan orang hermeneutis, kenangan adalah bagian dari mekanisme produksi Being. Bukankah tak lebih dari suatu kekonyolan belaka bila kita berupaya keras menyangkal Being kita sendiri, Dasein kita sendiri, atas nama apa pun?

Maka biarkan saja kenangan-kenangan selalu menjadi bagian eksistensial dari kehidupan kita—sepelik dan sejelaga apa pun ia.

Jogja, 17 November 2016

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!