Ketika diminta mengingat masa kecil, Omar selalu nelangsa. Kejadian 32 tahun yang lalu, bagai stempel panas yang dihunjam ke jiwanya. Pedih, teraba, dan asapnya mengabuti kekuatan seorang ibu.
***
Di pintu kelas, Mak tidak berkerumun sebagaimana para orangtua lain yang ingin melihat bagaimana putra-putri mereka, dalam seragam sekolah merah-putih bersih purnasetrika, mengikuti pembelajaran hari pertama sekolah. Ya, tidak ada Mak di sana. Ketika guru memberikan pengarahan tentang sekolah, beberapa kali Omar mencuri pandang ke pintu. Siapa tahu ia melewatkan Mak, tapi tetap saja wajah-wajah itu tidak ada yang Omar kenal.
Bu Guru mulai mengabsen. Karena berawalan O, namanya masuk kelompok tengah-hampir-akhir yang dipanggil. Omar takkan lupa, Bu Guru dan para murid terpaku beberapa saat ketika ia mengacungkan tangan, seolah-olah mereka ingin mencocokkan—sekaligus mengingat-ingat—nama dan seragam yang murid laki-laki berkulit malam itu kenakan: merah-hijau kotak-kotak!
Omar tidak ingat persis bagaimana hari pertama sekolah itu berjalan, kecuali beberapa bagiannya saja. Mungkin karena teman sebangkunya, seorang gadis berambut keriting yang sekarang ia tak ingat lagi namanya, suka meminjam penghapus sehingga mereka cukup dekat, bahkan mereka menghabiskan bekal bersama di jam istirahat.
Tidak seperti beberapa orangtua yang menghampiri anak-anak mereka ketika terdengar bunyi besi dipukul dua kali, Mak tidak melakukannya. Omar juga tidak terlalu memikirkannya karena roti goreng buatan Mak dalam kotak bekal rasanya enak! Beberapa anak juga ada yang menangis atau merengek atau gegas keluar mencari-cari ayah atau ibu mereka seakan-akan sekolah adalah panti asuhan atau tempat penitipan anak yang tak bersahabat atau ruang penadahan korban penculikan. Omar dan gadis kecil rambut keriting itu hanya tertawa kecil menyaksikan itu. Omar lupa bertanya kenapa orangtua gadis itu juga tak menghampirinya di jam istirahat atau mengapa, tak seperti anak-anak cengeng lainnya, ia tak mencari-cari orangtua. Mungkin karena gadis itu juga tak menanyakan kedua hal itu kepadanya, Omar merasa tak perlu mempermasalahkannya, sehingga ia tak merasa sendirian, sehingga ia lupa perihal Mak yang tak muncul-muncul itu.
Usai istirahat, Omar diperkenalkan dengan huruf-huruf yang Bu Guru tulis di papan tulis. Karena di rumah kakeknya membuka usaha sablon—yang membuat Omar mengenal A sampai Z sebelum usia sekolah, Omar sangat percaya diri menunjuk tangan tiap kali Bu Guru melempar pertanyaan tentang nama-nama huruf. Karena yang menunjuk tangan selalu kurang dari lima orang, Omar kerap diberi kesempatan. Meski bisa menjawab semuanya, Omar tetap kecewa karena Bu Guru justru tidak menyebut namanya sebagaimana ia menyilakan murid-murid lain. Ia memanggil Omar dengan “si Baju Hijau” atau “Hijau Kotak-kotak”. Tapi, apalah arti semuanya dibandingkan dengan tepuk tangan seisi kelas tiap kali Bu Guru membetulkan jawabannya.
Ketika Bu Guru memberi tantangan membaca satu-dua kata (belakangan Omar ingat kalau tulisan di papan tulis itu berbunyi “Ini Budi” dan “Itu Ani”), Omar khawatir ada yang bisa menjawab, sementara ia sendiri belum bisa membaca (Omar lupa bahwa, jangankan membaca, yang mengenal huruf saja hanya lima orang!). Ah, saat itu ia serta-merta merutuk dalam hati karena teringat jawaban kakeknya tiap kali ia minta diajari membaca. “Main sajalah sana. Belajar membaca itu urusan sekolah.” Tapi, rutukan itu gugur ketika ia tak satu anak pun yang menunjuk tangan, tak satu anak pun yang bisa membaca. Omar tertawa dalam hati. Omar berpikir kalau ia akan minta maaf pada kakeknya sesampai di rumah nanti, meskipun kekesalannya hanya menggeliat dalam hati.
Bunyi besi dipukul. Kali ini tiga kali. Omar bertanya-tanya dalam hati, bagaimana besi mirip bambu besar yang menggantung di dekat kantin itu menjadi “bel” ketika dipukul. Tapi, karena sepertinya hanya ia seorang yang heran, tidak juga gadis kecil teman sebangkunya, yang menganggapnya sebagai tanda berakhirnya jam belajar, Omar menelan saja keheranannya.
Sekeluar kelas, Omar mencari-cari Mak. Tak sampai semenit perempuan 24 tahun itu sudah menghampiri dan menggamit tangan Omar dan mengajaknya meninggalkan SD dengan langkah terburu-buru. Beberapa orangtua murid memandangi mereka dengan tatapan yang baru sekali itu Omar lihat, tapi Omar menganggapnya bentuk pujian karena beberapa hal:
1) di kelas tadi memang ia yang paling banyak dapat tepuk tangan;
2) Mak masih cantik sekali—tentu mereka tak perlu tahu kalau Mak menikah usia 16 lalu menjanda 5 tahun kemudian karena ayah meninggal dalam sebuah kecelakaan di luar kota.
Omar sebenarnya ingin bercerita tentang hari pertama sekolah, tapi ia ingin Mak yang bertanya dulu. Sayangnya, perempuan itu membisu selama perjalanan. Omar ingin bertanya kenapa Mak begitu (apa karena celetukan ibu-ibu yang tak sengaja ia dengar di pagar sekolah tadi bahwa Mak akan jadi bini muda? Bini muda? Apa itu bini muda?), tapi napas Mak yang memburu dan wajahnya yang masam membuat Omar mengurungkan niatnya.
Di rumah, ketika sedang makan siang di dapur, Omar mendengar keributan di kamar. Mak dimarahi Nenek yang memang suka marah. Samar-samar Omar mendengar Nenek menuding Mak lalai sehingga kemeja sekolah putra semata wayangnya sampai tidak ada. Meskipun Mak menyebut tukang jahit itulah yang zalim karena tidak mengerjakan pesanannya hingga subuh hari pertama sekolah Mak tetap saja salah. “Mana mau orang menjahit tanpa uang muka!” Lagi, Nenek merepet. “Sekarang, masih juga kau menimbang-nimbang tawaran kiai pemilik pesantren itu? Apa kau tidak dengar kalau Ummi Maryam sudah memberinya izin?!” Ingin sekali Omar membela Mak kalau Nenek masih terus merepet. Tapi … ia tunggu dan tunggu, tak ada lagi suara cempreng perempuan paruh baya itu. Mak pasti menangis. Omar hafal sekali, salah satu keterampilan Mak adalah menangis tanpa suara.
Omar bergegas menghabiskan nasi dan minum sekadarnya. Ia ingin cepat keluar dan bermain. Entah bagaimana, ketika meninggalkan rumah ia menoleh ke belakang dan memandangi kontrakan mereka. Rumah itu terbuat dari kayu, sengnya sudah mencokelat dan berkarat, dan beberapa jeruji jendela yang juga terbuat dari kayu juga sudah ada yang lepas. Entah bagaimana, matanya hangat. Tapi ia tidak jadi menangis sebab ia tidak tahu untuk apa dan kenapa air matanya keluar. Omar biasanya menangis karena habis berkelahi dengan teman atau dipukuli Mak karena pulang ketika azan Magrib atau diomeli Nenek karena tidak menghabiskan nasi di piring sementara harga beras mahal.
“Omar!”
Pemuda bercambang itu menoleh ke sumber suara.
Di jalan setapak tak jauh dari kontrakan, teman-temannya melambaikan tangan. “Jangan lupa bawa kelereng, Mar!” teriak mereka lagi.
Omar gegas berlari ke arah mereka. Bunyi kelereng-kelereng yang memenuhi saku celananya memompa semangatnya.
“Omar Salamullah.”
Omar menoleh lagi. Dan terperangah mendapati tempatnya berada saat ini. Ia mendekat ke sumber suara dan duduk di hadapan gadis berblazer merah. O o, tiba-tiba ia merasa ada yang aneh. Ada déjà vu. Gadis berambut keriting sebayanya itu memperhatikan berkas, membenarkan kacamata sebentar, lalu memandangnya beberapa saat.
Omar ingin menyapanya, tapi ia tak tahu, oh lebih tepatnya, ia lupa nama gadis itu. Ya, dia yakin, dialah orangnya. Tapi … bagaimana mungkin dia semuda ini, hati kecilnya sangsi. Apa mungkin teman sebangkunya itu melakukan operasi plastik sehingga ia masih tampak muda, sedangkan aku yang masih membujang di usia 40 saja sering dipanggil Pak dalam berbagai kesempatan, batin Omar
“Sudah kami periksa semua berkasnya. Benar Anda akan melakukan …?” ia mengernyitkan dahi seperti kesulitan mengingat sebuah kata.
“Residensi,” Omar mencoba membantunya.
“Ah iya!” ia tersenyum lebar. “Sepanjang Januari di Pakistan?”
Kini Omar yang mengernyitkan dahi. Ya, gadis di hadapannya ini sangat mirip … dengan teman sebangku hari pertamanya sekolah dulu. Tapi, ingatan hari kedua sekolah tiba-tiba menyalip bagai hendak mengoreksi, bahwa Omar dan Mak datang pagi-pagi. Di ruang guru, Mak mencak-mencak kepada kepala sekolah. “Sekarang putra saya sudah punya seragam,” suara Mak bagai berlomba dengan deru napasnya. “Jadi, jangan biarkan dia duduk sendirian lagi seperti kemarin!”
Oh, petugas visa itu rupanya masih memandanginya. Oh, bukan. Ia memandangi kemeja hijau kotak-kotak yang Omar kenakan.
“Mohon maaf atas ketidaknyamanannya,” kata petugas itu. “Karena satu dan lain hal Visa on Arrival kita tiadakan tahun ini sehingga mau tidak mau Anda harus mengurusnya langsung ke sini,” katanya dengan senyum yang kuasa membuat siapa pun gelisah. “Boleh tahu, apa yang akan Anda lakukan selama residensi?”
Omar menjawab panjang lebar. Sebagai penulis buku-buku yang memenangkan penghargaan sastra, bukan perkara susah baginya untuk memesona lawan bicara dengan kata-kata. “Saya ingin memastikan kalau Mak baik-baik saja di Hunza, kalau Kiai dan Ummi Maryam yang terkenal bermulut kasar itu tidak membuat Mak sengsara. Oh, sungguh, aku tahu, Mak rela menjadi martir, menjadi istri kedua, agar mengeluarkan keluarga dari jerat kemiskinan dan ketiadaan harga diri,” jerit hati kecilnya.
Hanya dalam hati.
Lubuklinggau, 16 Juli 2021–7 Desember 2022
- Puisi Benny Arnas - 20 February 2024
- Tenang, Pelan, dan … Mengerikan - 25 November 2022
- On, Perpisahan Itu - 23 September 2022
Joel
Ini serial Dammahum ya.
Bakal jadi kumcer blio yang luar biasa ini.
Bakal sealiran dengan Cinta tak Pernah Tua ini ya. Cant wait!
Kasih
Amboi. Indah sekali!
Dhofar
Aduh… Kejutan2nya jos..
Me
Closingnya mengharu biru Ben
Geofani
Plot twist-nya! Ampunnnn!