Waktu, Manusia, dan Tuhan (Mengais Iman ala Heideggerian yang Religius)

esai-waktu-manusia-dan-tuhan
tremendouswallpapers.com

Sapardi Djoko Damono, dengan puisinya yang berjudul “Yang Fana Adalah Waktu”, berhasil menampilkan pengalaman amat subtil bersama waktu. “Yang fana adalah waktu. Kita abadi.” Dua kalimat yang dalam sekejap mengentak selubung rutinitas dalam kehidupan kita.

Sejak awal kita selalu memahami waktu sebagai “detik demi detik” yang serialitasnya terangkai “seperti bunga”: hal yang suatu hari nanti akan layu, tak berguna, sehingga “kita lupa untuk apa”. Karenanya, waktu itu fana. Dan kita, manusia, abadi. Itulah waktu yang dikonsepsikan oleh fisika. Sapardi menyadari betul kefanaan waktu yang “seperti bunga” itu. Waktu dalam konsepsi fisika itu dapat kita sebut sebagai “waktu objektif” yang, tergeletak “di sana”, di luar diri kita, sebagaimana bunga dan objek-objek fisik lainnya.

Waktu objektif yang menampak ke dalam kesadaran itu kemudian kita cacah-cacah menjadi tiga: waktu lalu, waktu kini, dan waktu mendatang. Kita hidup dalam rangkaian serialitas tiga waktu tersebut. Terus-menerus kita melewatinya, secara bergantian, dalam alur yang konstan.

Orang yang menautkan hidupnya semata pada waktu objektif akan tampak mekanis. Ia akan selalu menyesuaikan ritme kehidupannya dengan alur waktu yang konstan. Pagi, siang, sore, dan malam, ia seperti terus diburu dan dikendalikan oleh waktu yang berada di luar (kehendak kreatif) dirinya.

Lalu apa yang salah dari waktu? Tak ada yang salah! Bahkan Nabi Muhammad pernah bersabda kepada umatnya: “Janganlah kalian memaki waktu. Karena Allah adalah waktu.” Sabda tersebut memberi sinyal bahwa ada waktu lain selain waktu objektif. Sebab tak mungkin Nabi Muhammad menyamakan Allah seperti waktu yang terus memburu-buru manusia—yang menjadikan manusia seperti mesin dalam perputaran siklusnya.

Tapi, apa waktu yang di luar waktu objektif itu?

Pada bulan Juli 1924, Martin Heidegger menyampaikan kuliahnya yang berjudul Der Begriff der Zeit di Marburg. Di situlah filsuf Jerman itu, untuk pertama kalinya, membahas soal waktu yang lebih primordial, yang bukan waktu objektif seperti dihitung oleh perputaran jarum jam. Melalui kuliah yang kemudian diterjemahkan oleh William McNeill ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Concept of Time itu, Heidegger mengutip satu pernyataan liris dari Agustinus: “In you, my spirit, I measure times; you I measure, as I measure time. […] In you, I say repeatedly, I measure time. Di dalam dirimu, wahai jiwaku, aku menghitung waktu; engkau yang aku hitung, saat aku menghitung waktu. […] Di dalam dirimu, sekali lagi aku katakan, aku menghitung waktu.”

Kutipan itulah yang membuat Heidegger sampai pada satu kesimpulan yang cukup mengagetkan para pendengarnya: “Time is Dasein. Waktu adalah manusia.” Heidegger saat itu, saya kira, telah menjawab teka-teki yang disampaikan Nabi Muhammad 14 abad silam. Itulah waktu yang berbeda dari waktu yang ditunjukkan oleh jarum jam.

Namun, sepintas, kesimpulan Heidegger itu tampak sangat kontradiktif dengan sabda Nabi Muhammad: “Allah adalah waktu.” Nalar teologis pasti akan menolak menyamakan Tuhan dengan manusia. Tapi dalam waktu, manusia beririsan dengan, atau lebih tepatnya dapat menjangkau, Tuhan. Persis di situlah, saya kira, persinggungan sabda Muhammad tentang waktu yang bercorak teosentris dengan kuliah Heidegger yang bercorak antroposentris. Mari kita coba pahami secara jernih.

Saat bersabda “Allah adalah waktu”, pilihan kata yang dipakai Nabi Muhammad untuk merujuk pada “waktu” adalah ‘al-dahr’: “fainna al-Lâha huwa al-dahru.” Ini menandai muatan filosofis yang hendak disampaikan sabdanya. ‘Al-dahr’ berbeda dari ‘al-zamân’ yang bermakna waktu fisikal (waqt al-asy-yâi al-mâddiyah wa al-jasmâniyah). Dalam makna semantiknya, al-dahr adalah waktu bagi entitas non-material (waqt li al-mujarradât ‘an al-mâddah al-‘unshuriyyah). Di situ tampak jelas bahwa waktu yang dimaksud Nabi Muhammad sebagai Allah bukanlah waktu fisikal, tetapi waktu non-material yang bersifat spiritual. Waktu bagi ruh dan jiwa.

Pernyataan Heidegger “waktu adalah manusia” itu juga berkait erat dengan kemampuan manusia (Dasein) untuk menjangkau Sang Ada (Being)—yang hal itu hanya dapat dilakukan dalam temporalitasnya, dalam kemewaktuannya (Being and Time, 1996: 373-385). Artinya, manusia adalah makhluk yang dapat menghayati waktu, sehingga waktu itu tidak lagi berada jauh di luar manusia, tetapi intim di kedalaman batinnya. Bersatu padu.

Dalam penghayatannya atas waktu itulah, manusia bisa menemui saat-saat penuh kecemasan yang menjadikan segala pengada yang hadir di depannya menjadi tiada, seolah semua gemerlap dunia telah jadi sirna, sehingga yang tersisa selain tiada hanyalah Sang Ada. Momen kecemasan itu, momen yang menjadikan tiada menyeruak dan lalu Ada menampak, dapat muncul seketika dalam patahan radikal manusia dengan waktu objektif.

Patahan itu, oleh Sapardi, digambarkan dengan kelupaan: “kita lupa untuk apa”. Manusia yang mulanya hidup dalam waktu fisika, dalam waktu yang “seperti bunga”, seketika menemui dirinya lupa; relasinya dengan waktu objektif runtuh, tak bermakna. Momen ketakbermaknaan itulah yang dimaksud “ketiadaan” (no-thing)—sesuatu yang, kata Heidegger, tak mampu dijangkau sains seperti fisika, tetapi harus dengan metafisika (Heidegger dalam “What is Metaphysics?”).

Segera setelah momen patahan itu, Sapardi sungguh menyadari Ada-nya dan kefanaan waktu yang diandaikan di mula “seperti bunga”. Di situlah terjadi momen perjumpaan antara manusia dengan Ada melalui waktu yang dihayati sebagai pengalaman ketiadaan atau—meminjam bahasa Sapardi—kefanaan. Ini pun persis satu paragraf yang, saya baca, sangat powerful dalam “What is Metaphysics?”, kuliah Heidegger yang disampaikan pada 24 Juli 1929 di Universitas Freiburg:

’Pure Being and the pure Nothing are therefore the same’. This proposition of Hegel’s is correct. Being and the nothing do belong together, not because both—from the point of view of the Hegelian concept of thought—agree in their indeterminateness and immediacy, but rather because Being itself is essentially finite and reveals itself only in the transcendence of Dasein which is held out into the nothing.

Ada dan tiada, oleh Heidegger (dengan mengafirmasi proposisi Hegel), dianggap sama—dalam arti “belong together”. Ada yang terbatas itu menyingkapkan dirinya dalam transendensi manusia yang bertahan dalam ketiadaan. Ini, pertama-tama, mengandaikan kesetangkupan Ada dan tiada. Ada dialami, ditemui, dalam ketiadaan. Bersatu padu.

Lalu, apa itu ada? Juga tiada? Dan bagaimana kaitan keduanya dengan manusia? Dengan waktu? Dengan Tuhan?

Tiada, kata Heidegger, adalah “not a thing; not annihilation; not negation”. Artinya, sebagai “not a thing”, sebagai “yang-bukan-sesuatu”, ia tidak bisa disamakan dengan objek fisik tertentu. Ia bukan “ini” dan juga bukan “itu”. Ia juga bukan “annihilation”, peniadaan—yang mengandaikan adanya sesuatu, lalu ditiadakan seluruhnya, sehingga yang tersisa hanyalah tiada.

Lebih radikal lagi, Heidegger menyebut tiada bukanlah negasi, sebab negasi hanyalah aktivitas intelek. Semisal, kita dapat memikirkan Tuhan itu ada, dengan segala argumen dan pembuktiannya, dalam pikiran kita. Namun, pada suatu saat, entah saat kuliah atau saat merenungi hasil suatu bacaan, kita menemukan satu argumen kuat yang menyanggah keberadaan Tuhan. Karenanya, kita pun menegasikan keberadaan Tuhan; menganggap Tuhan tiada, lagi-lagi, dalam pikiran kita, dalam suatu aktivitas intelek.

Apakah dengan itu berarti Tuhan benar-benar tiada? “In this way we do attain the formal concept of the imagined nothing but never the nothing itself,” demikian jawab Heidegger. Dengan cara demikian kita tidak sungguh-sungguh mencapai yang-tiada (the nothing), tetapi hanya tiada-yang-terbayang dalam pikiran kita. Maka Tuhan, dalam contoh di atas, bukannya sungguh tiada, tetapi hanya terbayangkan tiada.

Demikian juga ketika kita mesti memahami Ada. Ada bukanlah sesuatu yang bisa kita tangkap thatness-nya, esensinya. Ia bukan “ini” atau “itu”—dengan menunjuk pada objek tertentu. Juga bukan aktivitas intelek seperti saat kita berpikir bahwa “Tuhan itu ada” atau “saya ini ada”. Itulah kritik keras Heidegger terhadap metafisika Barat yang disebutnya selalu bercorak “onto-teo-logis”.

Metafisika, kata Heidegger, selalu memandang Ada dalam dua cara: “in the first place, the totality of beings as such with an eye to their most universal traits, but at the same time also the totality of beings as such in the sense of the highest and therefore divine being,” (dalam “Introduction to ‘What is Metaphysic?’”). Pertama, Ada dipandang sebagai sifat-sifat universal yang meresapi dan mendasari segala-yang-ada sehingga, karenanya, ia bersifat “ontologis”; kedua, Ada dipandang sebagai yang-tertinggi yang bersifat ilahiah sehingga, karenanya, ia bercorak “teologis”. Kritik metafisika Heidegger ini hendak mendestruksi konsepsi metafisika yang “onto-teo-logis” tersebut.

Dalam konteks ketuhanan, terlepas dari fakta bahwa Heidegger seorang ateis, upaya destruksi ini memunculkan titik problematik. Menolak metafisika yang “onto-teo-logis” tersebut berarti menyangkal Tuhan (theos) sebagai Ada. Tuhan, karenanya, mesti dipahami tidak sebagai Ada, tetapi sebagai pengada (beings) yang status ontologisnya sama dengan kursi, meja, dan benda-benda lainnya. Sebuah destruksi memang, sebuah reduksi yang sulit diterima para teolog.

Lalu, apa sebenarnya Ada dan juga tiada?

Setelah merenung beberapa purnama, memikirkan proyek metafisika Heidegger yang demikian ambisius (untuk tidak mengatakannya brutal), saya sampai di tepi sebuah pantai, menemukan satu horizon pemahaman, bahwa Ada dan tiada itu adalah relasi kebermaknaan. Ada adalah selalu ada-untuk-manusia; demikian juga tiada adalah selalu tiada-untuk-manusia.

Oleh karena itu, tesis Heidegger, Ada dan tiada itu tersingkap dalam momen kecemasan (Angst). Ketika seseorang jatuh ke lubang gelap kecemasan, segala relasi kebermaknaan runtuh. Pacar yang cantik tampak asing dan jauh, bunga-bunga yang indah tampak sayu, mobil dan rumah mewah tak lagi beda dengan sampah. Semuanya menjadi begitu tak bermakna, sia-sia. Semuanya tiada.

Namun, dalam kecemasan yang menyingkapkan ketiadaan, yang meruntuhkan relasi kebermaknaan, diam-diam, Ada menyingkapkan dirinya, menghadirkan makna pada segala-yang-ada dalam keseluruhannya: saya ada, di dunia, begitu saja, bersama dengan pengada lainnya. Momen ini hanya mungkin dialami manusia dalam kemewaktuannya, dalam waktu subjektifnya, yang bukan waktu yang diukur oleh fisika.

Dalam pergulatan bersama waktu subjektif itulah, seorang Heideggerian di garis religius dapat menyelinap masuk ke ruang-ruang gelap yang menghadirkan makna keberadaan Tuhan. Di titik yang sedikit problematik ini ia memahami Tuhan tidak sebagai “ini” atau “itu”. Tetapi sebagaimana Ada dalam pengandaian Heidegger, Tuhan adalah relasi kebermaknaan, yang timbul-tenggelam seturut fluktuasi iman, dalam getar ketiadaan, di titik lenyap kefanaan.

“’Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?’ tanyamu. Kita abadi,” demikian bait terakhir puisi Sapardi.

Dalam pengalaman kefanaan bersama waktu (ketiadaan), kita menemukan keabadian bersama Tuhan (transendensi). Maka, seperti sabda Nabi Muhammad, janganlah sekali-kali memaki waktu, karena waktu, seperti terang Heideggerian bergaris religius, adalah lintasan ketiadaan yang dapat mengantarkan kita pada relasi kebermaknaan bersama Tuhan.[]

Taufiqurrahman
Latest posts by Taufiqurrahman (see all)

Comments

  1. alfian nur Reply

    Terima kasih
    Istimewa!

  2. Arip Senjaya Reply

    Apakah Heidegger dan Sapardi bisa menjelaskan waktu sebagai arsip bagi kesombongan kaum ‘Aad, Tsamud, dan Fir’aun? (lihat al-Fajr). Apakah keduanya bisa menjelaskan waktu dan perlindungan bagi seorang yatim, yang memberi petunjuk dan kecukupan? (adh-Dhuha). Apakah filsof dan penyair itu dapat menjelaskan waktu dan kerugian manusia? (al-‘Ashr). Apakah orang Jerman dan Indonesia ini bisa jelaskan waktu dan kaitannya dengan akhirat dan dunia? (lihat al-Lail). Betapa terbatasnya kita, betapa jelasnya al-Quran.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!