Idiom “wali” berasal dari kata “wala'” yang berarti dekat. Tentu saja dalam konteks pembahasan ini berarti dekatnya seorang hamba dengan Allah Ta’ala. Bukan dengan apa atau siapa pun yang lain.
Ada dua macam kewalian. Yaitu, kewalian secara umum dan kewalian secara khusus. Dalam konteks kewalian secara umum, semua orang yang beriman secara hakiki adalah para wali sebagaimana yang diungkapkan Qur’an surat al-Baqarah ayat 257: “Allah adalah wali bagi orang-orang yang beriman. Dia membebaskan mereka dari berbagai kegelapan menuju cahaya.”
Sedang kewalian secara khusus hanya diberikan kepada orang-orang yang istimewa secara rohani. Yaitu, para salik atau penempuh jalan rohani yang telah sampai kepada hadiratNya. Kewalian secara khusus ini bisa dipahami sebagai ketenggelaman seorang hamba di dalam samudera Allah Ta’ala. Pada waktu yang bersamaan diungkapkan bahwa pada saat itu si hamba juga memasuki gelanggang kekekalan karena murni ditopang oleh hadiratNya.
Wali adalah seseorang yang telah lenyap bagi dirinya sendiri dan eksis semata karena diejawantahkan oleh Tuhannya. Dia sudah merdeka dari segala sesuatu yang selainNya. Dia telah mengalami apa yang disebut sebagai hijrah secara spiritual. Yaitu, dari kediriannya yang terbatas dan nisbi menuju kepada cakrawala Tuhannya yang sama sekali tidak bertepi.
Fana’ adalah akhir dari perjalanan spiritual seorang salik menuju kepada hadiratNya. Sementara idiom baqa menunjuk kepada permulaan perjalanan rohani di dalam Allah Ta’ala itu sendiri.
Ketika seorang salik mengalami wushul atau sampai kepada hadiratNya, sesungguhnya hal itu bukan berarti bahwa jalan yang menuju kepada Tuhan itu terbatas, juga bukan berarti bahwa si salik itu sanggup melipat jarak spiritual yang membentang antara dirinya dengan Sang Awal dan Akhir itu, tapi murni hal itu merupakan karunia dari hadiratNya semata. Tidak karena yang lain, termasuk semangat ibadah dan perenungan tentang keagungan dan keindahan yang sangat sakral.
Ketika seorang salik yang telah wushul memulai perjalanan rohani di dalam Allah Ta’ala, dia akan merasakan bahwa perjalanannya itu tidak mungkin menemui tepi, mustahil menabrak batas. Karena pasti bahwa hadiratNya itu tidak mungkin dilimiti oleh garis apa pun. Di situ, seorang wali tidak akan pernah sanggup mengkhatamkan membaca dan mengalami Tuhannya. Hasil pembacaan dan pengalaman rohani akan senantiasa baru, tak akan pernah terulangi adanya pembacaan dan pengalaman yang betul-betul sama.
Itulah taman-taman rekreasi yang paling menawan. Di taman-taman itu, para wali menikmati berbagai keindahan yang sangat luar biasa dan paling menawan sehingga mereka merasa tidak memerlukan untuk menceburkan diri ke dalam tempat-tempat rekreasi yang berserakan di kehidupan dunia yang sementara ini.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Qasim al-Muqri - 11 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah Al-Muqri - 4 October 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah al-Maula - 27 September 2024