Dengan tubuh telanjang, seorang wanita tak bernama membaringkan tubuhnya di atas sinar matahari. Ia lalu membuka selangkangannya, “Setubuhilah aku dengan cahayamu,” desahnya. Wanita tak bernama itu lalu memejamkan mata dan perlahan tubuhnya berguling-guling di atas padang rumput.
Ajaib! Satu minggu kemudian, di sela rumput-rumput itu mulai tumbuh bunga. Bunga yang memancarkan bau harum menyegarkan. Setelah bertahun-tahun lamanya, bunga itu tak kunjung layu dan tetap dalam keadaannya semula. Ia tetap mekar dan harum. Oleh penduduk sekitar, bunga itu dinamai bunga abadi.
Lalu datanglah seorang pujangga ke tempat itu, ia menuliskan syair terhadap bunga-bunga yang terhampar di hadapannya. Tiga hari kemudian, bunga tersebut layu dan mengeluarkan bau busuk. Warga daerah sekitar marah, dan diketahui penyebab semua itu adalah gara-gara seorang pujangga. Lalu pujangga itu dihukum mati dengan cara disembelih, dan darahnya kemudian disiramkan di sekitar bunga abadi.
Malam hari, si wanita tanpa nama kembali datang ke tempat itu setelah bertahun-tahun lamanya menghilang. Ia pun masih telanjang. Namun saat ini ia tak berbaring dan membuka selangkangannya, ia hanya diam mematung di tengah padang rumput. Bulan purnama menyorot tubuhnya yang telanjang, menyinari bagian-bagian tubuh yang tersembunyi dengan cahaya putih sejuk purnama. Si bulan rupanya tergoda, lalu ia turun ke sana menjelma seekor kelinci putih.
Malam masih cukup terang, karena posisi sang bulan digantikan oleh para bintang-bintang yang sengaja menambahkan daya pada cahayanya. Para bintang itu rupanya sedang bersiap menonton hubungan badan si wanita tanpa nama dan si rembulan.
Si wanita tanpa nama merebahkan badan, selangkangannya dibuka perlahan. “Naiklah ke atas tubuhku, wahai rembulan,” ucapnya lirih.
Si rembulan yang menjelma seekor kelinci putih itu naik ke atas tubuhnya. Perlahan ia memasukkan bagian tubuh miliknya ke dalam bagian tubuh si wanita tanpa nama. Kelinci putih itu terus menggerakkan pinggulnya tanpa henti. Dengan mata terpejam, si wanita tanpa nama mendesah sambil meremas punggung si kelinci putih.
Para bintang yang sedang menonton mereka malah tergoda. Beberapa bintang memutuskan untuk turun dan melihatnya dari dekat, namun bintang lainnya melarangnya dan mengancam mereka untuk tidak terlibat. Ketegangan terjadi di antara para bintang. Sementara di bawah sana, persetubuhan semakin liar dan menggila. Desahan si wanita tak bernama itu memancing gairah makhluk lain di sekitarnya. Mereka yang terpanggil berahinya langsung meminta pasangannya untuk segera membuka selangkangan. Tapi semua itu terhenti ketika si kelinci putih mati dalam keadaan jepitan selangkangan si wanita bertubuh telanjang. Si kelinci putih itu kembali ke dalam bentuk awalnya berupa sebongkah rembulan. Namun nyawa dalam rembulan itu sudah mati, kini dia seolah hanya cangkang kerang tanpa isi.
Si perempuan telanjang tanpa nama itu lalu bangkit berdiri, mengusap lendir pada paha dan perut dengan punggung tangannya. Lalu lendir itu ia jilat, dan diludahkan kembali pada hamparan rerumputan.
Bintang-bintang menonton dengan bengong dari atas langit. Mereka tidak percaya dengan kematian si rembulan, mereka kemudian mendoakan supaya jasadnya diterima di alam baka.
Seorang pemuda datang ke padang rumput di mana si wanita telanjang tak bernama sedang duduk di atas batu. Pada tangannya, si pemuda membawa sebuah pakaian untuk menutupi tubuh telanjang si wanita. Tanpa sepatah kata pun si pemuda menyerahkan pakaian yang ia bawa kepada si wanita. Wanita itu berdiri dan menerimanya tanpa kata pula. Ia berdiri di hadapan si pemuda, tubuh telanjangnya jelas mencolok langsung mata si pemuda. Diterangi cahaya rembulan yang kini sinarnya agak buram, tubuh telanjangnya tetap saja begitu mengkilat dan memancing geliat berahi siapa saja yang melihatnya.
Bau amis tercium oleh si pemuda pada tubuh telanjang si wanita, ia agak terganggu dengan itu, namun tidak mau menunjukkannya di hadapan si wanita.
“Pakailah,” kata si pemuda.
Wanita itu mengangguk, “Apa kau sangat terganggu dengan tubuh telanjangku?” tanya si wanita.
“Sedikit, sebenarnya aku merasa tidak nyaman saja saat melihatnya.”
“Kalau begitu, maka telanjanglah, buka pakaianmu, dengan begitu kita akan sama-sama melihat tubuh masing-masing dengan keterbukaan.”
Si pemuda hanya diam mematung, ketika tangan si wanita telanjang tak bernama perlahan membuka pakaiannya. Akhirnya tubuh mereka berdua sama-sama telanjang, diterangi cahaya buram rembulan.
Mereka berdua saling menatap berhadap-hadapan, dengan tubuh yang sama-sama diterpa angin malam. Si wanita telanjang tak bernama menggenggam tangan kiri si pemuda, lalu menuntunnya berjalan. Mereka berjalan ke arah utara, melewati padang rumput, sungai, bukit berbatu, hingga tiba di pemukiman penduduk.
Suara puji-pujian untuk Dewa-Dewi terdengar di salah satu bangunan. Tampak dari luar, orang-orang sedang berkumpul melingkar. Si wanita telanjang tak bernama dan si pemuda berjalan melewati mereka. Salah seorang lelaki tua kemudian melihatnya, seketika ia berteriak sambil menunjuk ke arah mereka berdua.
Seketika suasana menjadi riuh oleh teriakan penduduk, mereka mendekati dua pasangan telanjang itu sambil mengacung-ngacungkan tangan dan parang.
“Dewa Bulan akan mengutuk kalian,” ucap seorang wanita tua.
“Roh rembulan telah mati,” ucap si wanita telanjang tak bernama, sambil menatap ke arah bulan yang redup.
“Kau wanita jalang! Tak tahu malu! Tubuhmu sungguh terkutuk!” Seorang pria gemuk memaki si wanita telanjang tak bernama.
“Kau lelaki munafik. Kau mengutuk tubuhku, tapi dalam dirimu sungguh kau menginginkan tubuh ini. Kau akan meniduriku tanpa banyak berkata jika tidak ada orang lain di sekelilingmu yang membuat dirimu seolah orang suci tanpa cela.”
Si pria terdiam menahan malu oleh ucapan wanita yang dimakinya. Terdengar tawa cekikikan anak-anak kecil yang menertawainya di belakang. Gadis-gadis muda di sana hanya bengong tak berkutik memperhatikan bagian tubuh yang biasanya ditutupi oleh si pemuda.
“Aku akan mengisap bagian itu jika jadi pasangannya,” ucap seorang gadis dengan suara manja kepada kawan-kawannya. Gadis-gadis lain tertawa kecil dengan ucapan itu.
Si wanita telanjang tak bernama dan si pemuda kembali berjalan, tidak peduli terhadap makian maupun bisikan-bisikan yang di tujukan kepada mereka berdua.
Seorang lelaki di antara para penduduk itu digampar istrinya karena kedapatan memperhatikan bagian belakang tubuh telanjang si wanita tak bernama sambil memainkan sela-sela paha dengan tangannya.
“Kau memang suami bajingan!” Maki si istri di telinga suaminya. Lalu si istri membawanya pulang secara paksa. Setelah tiba di rumahnya, si istri membuka pakaian, “Tataplah ini sepuasmu!” teriaknya, sambil membuka selangkangan. Si suami sedikit ragu menatapnya, padahal tubuh di hadapan dia adalah istrinya.
“Mengapa? Kau tidak suka dengan tubuhku, hah? Bukannya kau menikahiku karena ini? Oooh, rupanya kau sudah bosan ya, dan kau kini mencari lagi tubuh-tubuh wanita baru yang belum kaujamah. Dasar kau suami bangsat!” Si istri masih belum puas memaki si suami. Si suami hanya terdiam, ia menerima makian si istri karena memang itu kebenarannya.
Sangat benar ia menginginkan tubuh si wanita telanjang tadi, bagian tubuhnya begitu memikat, sangat pas untuk dijamahnya. Memang, mau tak mau aku harus mengakui bahwa aku adalah lelaki bangsat, katanya dalam hati.
Si wanita telanjang tak bernama dan si pemuda masih berjalan, kini sudah keluar dari pemukiman penduduk. Mereka terus berjalan ke utara hingga pagi, siang, malam, dan pagi lagi. Tangan si pemuda masih digenggam oleh si wanita telanjang tak bernama, dan melepaskannya ketika tiba di sebuah pantai. “Milikmu tidak berdiri dari saat kau bertemu denganku di padang rumput malam itu,” kata si wanita, “Kau memang pemuda tangguh. Sekarang kau boleh pergi ke mana pun sesukamu.”
“Aku ikut denganmu saja, ke mana pun kau akan membawaku,” kata si pemuda.
Tangan si wanita telanjang tak bernama kemudian menuntun lagi si pemuda, mereka berjalan ke lautan. Semakin jauh berjalan, semakin dalam pula lautan menenggelamkan badan mereka.
Saat ketinggian air laut berada pada dada mereka, si pemuda berkata, “Bawalah aku, asal kita masih sama-sama telanjang.”
Si wanita telanjang tak bernama membawanya ke dalam lautan. Mereka berdua kemudian berubah bentuk menjadi sepasang ikan marlin di samudra.
***
Kisah ini diceritakan dari generasi ke generasi selama berabad-abad setelahnya. Kemudian tersiar kabar bahwa setelah beberapa abad si wanita telanjang tak bernama dan si pemuda mengarungi luasnya lautan, si pemuda kemudian tertangkap oleh seorang nelayan tua yang sedang mencari keberuntungan. Kisah itu dituliskan dalam buku berjudul The Old Man and The Sea oleh Ernest Hemingway.
Setelah kabar kematian si pemuda tersebar ke seluruh penjuru bumi, langsung banyak kesaksian-kesaksian yang beredar tentang wanita telanjang tak bernama yang mendatangi kembali padang-padang rumput. Para pria yang telah mendengar kabar ini akan menunggu di padang rumput yang dipercaya akan didatangi oleh si wanita seperti dalam cerita. Sebagian dari mereka ada yang berharap melakukan hubungan badan saja tanpa berniat melakukan perjalanan bersamanya, ada pula yang berniat tulus dengan membawa pakaian seperti yang dulu dilakukan si pemuda.
Namun para pria beristri harus menanggung kecewa, karena ketika mereka duduk menunggu sendirian di padang rumput, istri merekalah yang datang dari arah belakang tanpa pakaian dan mengajak bercinta di sana. Kemudian para istri itu akan mengeluarkan makian yang sama kepada suaminya, “Dasar kau suami bangsat!” ucap mereka dengan keras di telinga si suami.
- Wanita Telanjang Tak Bernama - 27 August 2021
Yasinta fani
Saya mau ngirim cerpen gimana caranya yach?
EMBOH
Kayaknya sulit sih kak diterima di sini, soalnya seleksinya ketat.
Nadya Tifa
cerita yang menarik. bingun ku baca mereka berubah menjadi ikan. tapi tetap menarik
IWAN RUDIAWAN
Lumayan menarik .. bagus lah !
Aya
Bagus banget kak karyanya
Nisa
Masih bingun sama ceritanya, tapi benar-benar menarik untuk dibaca.