Warung itu hanya menjelma saat gerimis. Ia akan raib dengan misterius seiring langit yang perlahan pulih cerah usai menabur serbuk-serbuk air ke bumi. Banyak yang bilang ia pindah ke alam lain. Dan, ini cerita yang membuntutinya: hanya orang-orang berhati gerimis yang bisa melihat warung itu.
Menjelma? Orang-orang berhati gerimis? Raib misterius? Pindah ke alam lain? Ah, boleh percaya boleh tidak, sila pula mencibir. Begitulah cerita turun temurun yang beredar di sekitar danau itu. Entah sejak kapan ia bermula. Entah pula telah berapa generasi mengekalkan kisah itu. Yang jelas, agar gampang diingat, penduduk sekitar danau menamainya Warung Gerimis.
Jangan bayangkan ia mirip warung remang-remang di pinggiran kota, tempat lonte-lonte mangkal menjaring mangsa. Di tepi danau yang dilingkari perbukitan, di sanalah Warung Gerimis berada. Jika membentang pandang, kau akan terpukau melihat panorama alam bagai lukisan tak berbatas bingkai. Beberapa sisi bukit tampak pitak. Pepohon yang telah puluhan tahun umurnya telah ditebangi perambah hutan dan anak buah cukong-cukong kayu dari kota.
Tersusun dari butir-butir gerimiskah warung itu? Bagaimana mungkin ia muncul perlahan ketika gerimis berderai? Bagaimana bisa ia raib serupa liuk asap larut dalam udara? Siapa penghuni warung itu? Bagaimana suasana di dalamnya? Apa saja yang dijual di sana? Demikianlah sederet tanya beraroma penasaran dari pengunjung danau yang mendengar kisah itu.
Taklah sedap makanan tanpa bumbu. Demikian pula kisah Warung Gerimis. Ada dua versi cerita tentangnya yang kerap terdengar. Pertama: warung itu adalah warung jadi-jadian milik naga gaib yang bersemayam di dasar danau. Penjualnya adalah jin-jin baik hati yang tinggal dalam istana sang naga.
Kedua: berpuluh tahun lampau, datanglah sepasang suami istri perantau dari pulau seberang. Untuk menyambung hidup, mereka membuka warung di tepi danau. Mereka sepasang manusia sederhana yang sangat menyukai gerimis. Jika musim hujan datang, mereka duduk berdampingan di depan warung, menikmati suasana romantis ketika butir-butir air jatuh berderai dari langit. Kegemaran menikmati gerimis itu berakhir ketika mereka dibantai gerombolan serigala yang merasuk dalam badan manusia. Konon, warung itu jadi tempat berkumpul orang-orang yang dicap komunis. Mereka dibantai tengah malam kemudian ditenggelamkan ke dasar danau. Warung sekaligus gubuk mereka disulap jadi abu. Arwah sepasang suami istri yang mati penasaran itu hadir dalam bentuk lain. Mereka datang untuk menyambut orang-orang baik yang berhati gerimis.
Banyak yang membubuhi dengan cerita indah dan kelakar. Misalnya, pernah ada yang mengaku melihat warung itu berada tepat di ujung pelangi. Pengakuan itu disambut guyon, bahwa para bidadari turun dari langit bukan hendak mandi di danau, melainkan hendak jajan di warung itu. Ada pula yang melempar kisah seram. Seluruh makanan di warung itu sejatinya belatung, ulat, dan cacing. Minumannya adalah kencing sang naga. Namun, sejauh ini tak pernah ada yang mengaku melihat hantu atau raib misterius di danau itu.
Kala kemarau menahun, Warung Gerimis tak muncul. Ia bagai menguap dalam cuaca panas. Orang-orang pun cuai. Banyak yang lebih penting dikerjakan di tengah kemarau ketimbang menumpukan perhatian pada warung itu. Tapi pernah terjadi gerimis siang bolong di musim kemarau. Ketika orang-orang risau, menanti dan menerka kabar duka apa yang akan hinggap di telinga mereka, warung itu muncul. Hanya segelintir orang berhati gerimis yang sempat melihatnya. Mereka bagai meneguk setangkup air segar di tengah kemarau sengit. Antara takjub dan kehabisan kata mereka melepas kepergian warung yang muncul sejenak itu.
Bila hatimu sekerontang kemarau, bila hatimu kerap mendung muram, jangan harap bisa melihat Warung Gerimis. Bila ngotot menyinggahi, kau akan linglung bingung, seperti telah dikelabui mata sendiri; setiba di tempat itu tak kau temui apa yang kau cari. Tak ada secuil pun jejaknya di tanah. Hanya rimbun perdu dan serak batu bisu.
Telah banyak cara dilakoni mereka yang penasaran ingin melihat Warung Gerimis. Kadang terdengar tak masuk akal, naif, atau bikin geli. Ada yang mengaku berhati gerimis. Berhari-hari ia menunggu dekat warung. Hasilnya nihil belaka. Beberapa wartawan yang sengaja datang dari luar kota, gigit kamera setelah tiba di lokasi. Seorang pelukis flamboyan yang konon punya ilmu kebatinan dan piawai menerawang hal-hal gaib, bertekad memindahkan Warung Gerimis ke dalam kanvasnya. Sampai gerimis usai, kanvasnya tetap putih melompong.
Pernah sekelompok orang berambisi memecahkan misteri Warung Gerimis. Bak pemburu hantu mereka susun matang rencana. Beragam peralatan disiapkan: teropong, kamera, radar, dan lainnya. Awal musim hujan, mereka tiba di tujuan. Kamera tersembunyi dipasang di beberapa titik strategis. Mereka berpencar, mengepung mengintai dari beberapa tempat, termasuk di atas tebing yang bisa leluasa memandang ke arah warung. Hampir seminggu mereka menunggu. Berharap arak-arakan awan hitam di langit segera sampai di dekat danau. Tapi sosok warung itu tak kunjung muncul. Anehnya, dalam perjalanan pulang, sopir dan pembantu rombongan mengaku melihat warung itu dari kejauhan. Ah, tentu dua orang itu berhati gerimis.
Warung Gerimis mendatangkan rezeki bagi penduduk sekitar danau yang lama menganggur atau ingin menambah isi kantong. Ada yang jadi tukang parkir, penjual makanan, tukang foto amatir, atau menyewakan kamarnya untuk tamu yang hendak menginap. Yang doyan mengoceh jadi tukang cerita. Sampai letih rahang mereka panjang lebar mengulang-ulang cerita yang sama. Jika ada yang meragukan, meremehkan, atau menganggap tak masuk akal, si tukang cerita akan menyebut sejumlah nama yang telah menyaksikan warung itu.
Warung itu telah jadi sahabat orang-orang berhati gerimis. Apalagi jika mereka sedang dimabuk cinta, patah hati, kecewa, atau ingin menepi dari keriuhan, berada di warung itu jadi semacam pelipur. Acap pula terjadi, mereka yang pertama kali ke danau itu dan tak tahu kisah Warung Gerimis, tak sadar telah melihat bahkan singgah di warung itu. Setelah mendengar cerita dari orang lain, terperanjatlah mereka.
Hari-hari berdesingan. Hidup habis dilumat hiruk-pikuk dan rutinitas. Tiada yang ganjil di sekitar Warung Gerimis. Tiada pula yang mengusiknya. Semua berjalan biasa saja. Orang-orang datang dan pergi ke sana. Ia bagai memiliki magnet kuat. Kisah Warung Gerimis tetap hidup, jadi bagian sah danau itu. Orang-orang berhati gerimis akan menyimpannya dalam ingatan.
Jika merasa hatimu gerimis, musim hujan kelak sempatkanlah melancong ke danau itu. Mohon maklum jika jalan menuju danau rusak parah. Bila langit murung dan awan hitam merubung, jangan abai mengarahkan pandang ke tepi danau. Siapa tahu kau mujur, bisa melihat Warung Gerimis muncul. Namun jika berbulan-bulan ke depan baru pergi ke sana, mungkin kau akan kecewa. Sebab telah santer kabar beredar, sejumlah orang berduit dari kota; cukong, pengacara, dan pejabat, telah mengincar tanah di sekitar danau itu.
Bandar Lampung 2011
- Warung Gerimis - 27 May 2016
Fahrizal Mukhdar
luar biasa, ceritanya membius … saya hatinya hujan lebe ;(
widy benny
Awesome. Ini beneran ada, Mas? 😁😂. Saya berhati gerimis lo. (loh?).😁
Chatrina Darros
Kalau boleh jujur, saya sudah babak belur, terjatuh, terbangun kembali ketika membaca alur ceritanya. Keren. Saya hampir putus asa mencari di mana “part” saya akan ditampar. Ternyata saya mendapat hantaman cukup keras hingga tersungkur ketika membaca bagian akhir. Tulisan yang cerdas.