WR Supratman: Lagu dan Buku

Sekian hari lalu, orang-orang menikmati sebuah lagu berbahasa Jawa. Para penikmat yang berada di Istana Negara maupun duduk di depan televisi. Di sana, para tokoh kondang turut berjoget. Kita menonton lagu asmara dan tubuh-tubuh terbebas dari ketegangan saat upacara bendera. Tubuh-tubuh itu tentu tak berani berjoget saat menghormati bendera dan mendengarkan lagu Indonesia Raya.

Lagu Indonesia Raya paling sering disenandungkan dalam sejarah pembentukan dan pemuliaan Indonesia. Bukan untuk hiburan, tapi pengajaran sejarah. Lagu yang membuat para tokoh pergerakan politik memiliki kesanggupan melawan kolonialisme. Pada masa lalu, Soekarno malah menginginkan ada peringatan hari kelahiran lagu kebangsaan Indonesia Raya, sebelum orang-orang terbiasa mengadakan acara-acara demi Sumpah Pemuda. Lagu Indonesia Raya terlalu penting. Penggubah bernama WR Supratman pun mendapat pujian dan perhatian besar dari Soekarno.

Masa lalu dan lagu Indonesia Raya mungkin tak lagi menarik disampaikan di sekolah atau menjadi perbincangan publik. Kita malah mendapatkan keramaian gara-gara sebuah lagu berbahasa Jawa. Lagu itu mengikutkan masalah penggubah, bocah, acara di televisi, pertemuan dengan pejabat, dan lain-lain. Kita agak melupa untuk membincangkan lagi WR Supratman dalam sejarah lagu dan politik di Indonesia. Kita pun terlambat memberi penghormatan bahwa WR Supratman merupakan pengarang novel berjudul Perawan Desa, terduga terbit awal 1928 atau 1929.

Di buku berjudul Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (1982) terbitan Departemen P dan K, kita memperoleh sedikit keterangan mengenai WR Supratman dalam babak kesusastraan Indonesia masa 1920-an. Ia selalu diceritakan sebagai komponis dan pernah menjadi wartawan. Kita mengutip: “Selain sebagai wartawan, Supratman juga mengarang buku-buku cerita, seperti Perawan Desa (1929) yang boleh dikatakan suatu roman sosial yang mencolok sekali antara si kaya dan si miskin.” Keterangan cukup mengagetkan, tapi belum tentu semua mengandung kebenaran.

Pada 2022, penerbit di Solo bernama Buku Katta mencetak lagi novel Perawan Desa. Di situ, dicantumkan keterangan terbit awal: 1928. Perawan Desa memang mengisahkan kritik sosial berkaitan orang desa, kaum terpelajar, dunia hiburan di kota, dampak kereta api, pekerjaan modern, pertanian, asmara, selera busana, dan lain-lain.

Masalah mengejutkan diungkapkan dalam buku terbitan Departemen P dan K mengenai novel gubahan WR Supratman tersebut: “Zaman dulu orang-orang desa dipikat untuk bekerja di perkebunan di sekitar Deli, Medan, dengan segala daya tipu, dengan kontrak yang amat merugikan orang kecil.” Kita yang sudah khatam membaca Perawan Desa menjadi kaget. Keterangan itu bukanlah masalah yang diceritakan oleh WR Supratman. Para penulis buku cap pemerintah itu mungkin tak pernah menemukan atau membaca novel berjudul Perawan Desa pada masa 1970-an dan 1980-an.  

Penjelasan berikut agak bisa diterima: “Roman sosial ini adalah hasil percakapannya dengan dan anjuran seorang wartawan terkenal Saerun yang juga bekerja di Sin Po. Buku itu dilarang oleh Belanda karena tajamnya kritik yang terjalin dalam cerita.” Perawan Desa memang memuat kritik-kritik, tapi tak “galak” melebihi lirik lagu Indonesia Raya. “Pelarangan” Perawan Desa mengakibatkan orang-orang tak mudah mendapatkan maupun membaca dan turut menempatkan WR Supratman dalam arus perkembangan sastra modern di Indonesia.

Kita masih dibuat heran dan ragu terhadap keterangan yang disampaikan dalam buku terbitan pemerintah: “Karya lain WR Supratman ialah Darah Muda dan Kaum Panatik.” Para penikmat sastra Indonesia mengetahui Darah Muda adalah novel gubahan Adinegoro. Pada masa 1920-an, Adinegoro tekun menggubah novel tersebut tapi berlanjut memilih menekuni jurnalistik. Ia menjadi tokoh pers. Persembahan bukunya yang paling teringat adalah Melawat ke Barat. Keterangan salah dalam buku itu mungkin tak pernah diralat.

Pengetahuan bahwa WR Supratman seorang pengarang novel mungkin tak pernah atau belum diajarkan di sekolah. Menjadi masalah sebab tak dicantumkan dalam buku-buku pelajaran. Kita mungkin memerlukan siasat untuk mengajak murid-murid dan para mahasiswa mulai mengenali persembahan novel dari WR Supratman. Novel yang mengandung cerita seputar dunia sekolah pada masa kolonial. Novel yang berhak dipelajari bersama berkaitan dengan peringatan hari-hari nasional di bulan Agustus dan Oktober.

Kita mengutip di permulaan novel: “Begitu juga dengan murid-murid di Betawi yang mengunjungi sekolah pertengahan dan sekolah rendah. Sekarang mereka telah beriang hati karena vakansi telah datang. Sebagian murid-murid dengan terburu-buru memberitahukan bahwa mereka lulus dalam eksamen dan akan duduk di pangkat yang lebih tinggi. Murid-murid yang demikian itu alangkah riangnya. Dengan lekas mereka mengabarkan kepada orang tuanya, baik dengan surat atau telegram.”

Kita berimajinasi pendidikan modern di Indonesia masa kolonial mengubah beragam gagasan dan tata cara hidup. WR Supratman mengisahkan kepada sidang pembaca mengenai dampak sekolah, pekerjaan, hiburan, adab agraris, dan birokrasi-kolonial.

Kita terlambat menjadikan novel ini sebagai sumber ingatan bertema pendidikan modern, sejarah kota, dan gejolak perubahan di desa untuk disampaikan kepada murid-murid. Pada masa kekuasaan Soeharto, novel Perawan Desa tak terpilih untuk dicetak ulang menggunakan Inpres. Novel ini gagal masuk koleksi di ribuan perpustakaan di seantero Indonesia. Sejak puluhan tahun lalu, murid-murid cuma mengetahui Sitti Noerbaja, Salah Asoehan, Azab dan Sengsara, Lajar Terkembang, Belenggoe, dan lain-lain.

Maman S. Mahayana, Oyon Sofyan, dan Achman Dian juga tak memilih Perawan Desa masuk dalam buku berjudul Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (1992). Buku yang sering digunakan para murid dan mahasiswa itu memang mengenalkan novel-novel dianggap terpenting dan berpengaruh di Indonesia. Di situ, tak ada nama WR Supratman. Tiga penulis tersebut mungkin belum pernah memegang dan membaca Perawan Desa.

Novel Perawan Desa memang lama tak teringat dan jarang mendapat pembicaraan. Di buku mengenai sejarah sastra dan kritik sastra, Perawan Desa sulit ditemukan. “Pelarangan” masa lalu mungkin berakibat jumlah eksemplar tersisa cuma sedikit. Dulu, novel tersebut mungkin tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin meski kritikus sastra tersebut tak membuat ulasan.

Kita yang tergoda untuk mengetahui siasat WR Supratman dalam mengisahkan (manusia) Indonesia mungkin merasa kecewa bila Perawan Desa dibiarkan tanpa pembicaraan. Kita diajak mengenali kekhasan orang desa: “Semua kejadian itu bukan lantaran di situ tak ada aturan. Tapi, kebersihan hati dan adat istiadat mereka yang baik. Itulah mereka hargakan dan hormatkan. Siapakah berani bilang bahwa orang desa bangsa Indonesia yang sebodoh itu rendah budinya atau pemalas?”

Pembaca menemukan kritik atau sangkalan atas tuduhan-tuduhan para elite kolonial atau para sarjana kolonial yang sering menganggap orang-orang desa di Indonesia belum mengerti adab atau “terbelakang”. WR Supratman seperti membuat “perlawanan” dengan mengisahkan kemuliaan orang-orang desa. Kita agak mengerti bila desa dan petani pun turut dalam seruan kaum pergerakan politik kebangsaan sejak awal abad XX. Soekarno termasuk getol mengisahkan desa dalam deru nasionalisme. Novel Perawan Desa berani memberi kritik-kritik meski pembaca berhak mengatakan buku ini sebagai novel populer.

“Sejarah novel populer Indonesia ternyata lebih tua daripada novel ‘kesusastraan’,” demikian keterangan Jakob Sumardjo dalam buku Novel Populer Indonesia (1982). Kemunculan sastra “populer” dipengaruhi industri surat kabar dan pertumbuhan kota-kota. Sajian cerita di surat kabar dan buku cerita menjadi hiburan. Pertumbuhan cerita populer menghasilkan ketenaran dan untung besar. Jakob Sumardjo menjelaskan: “Perjalanan novel populer sebenarnya tak pernah mengalami semacam ‘krisis sastra’. Jenis ini selalu dicetak tanpa mengalami masa vakum. Selalu ada pembacanya.” Nasib apes dialami novel gubahan WR Supratman. Di buku tersebut, Jakob Sumardjo tak memberi alinea atau halaman untuk mengulas Perawan Desa.  Kini, kita membaca dan membicarakan Perawan Desa setelah terlalu lama cuma mengenali WR Supratman sebagai komponis. Warisannya tak cuma lagu-lagu. Ia memberikan novel meski sedikit pembaca dan lama tak dibicarakan untuk menilik sejarah Indonesia. Kita pantas mengenang lagu dan bukunya, setelah dibuat sibuk oleh keramaian lagu berbahasa Jawa di Istana Negara, 17 Agustus 2022. Kita menjadi pembaca novel tanpa perlu berjoget. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Comments

  1. Dalbo Reply

    Lho?, Pak Bandung kok di Hibernasi?, tapi memang sudah lama tidak muncul di BasaBasi

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!