Yang Lama dan Yang Baru (Membaca Konghucu, Membaca Diri)

artpeoplegallery.com

Siapa yang ingin menciptakan yang baru

maka harus mengenal yang lama dengan baik.

Ernt H. Gombrich

Kata “tetap” dan “menjadi” mungkin tak pernah Anda anggap memiliki nilai apa pun untuk direnungkan selama ini. Tetapi coba perjumpakan kedua kata tersebut dengan nilai paling mendasar pada hidup manusia, yakni “baik”. Kini Anda akan mendapatkan dua narasi ini: (1) “Tetap baik”, dan (2) “Menjadi baik”.

Andai diminta memilih—sebab pasti setiap kita ingin baik—kira-kira Anda akan memilih narasi yang mana? Pasti narasi pertama: tetap baik.

Mudah dimengerti, kedua frasa itu akhirnya membuat kita berpikir—kata “tetap” dan “menjadi”—tentang adanya perbedaan sangat pokok antara “tetap (orang) baik” dan “menjadi (orang) baik”. Frasa pertama menempatkan kita adalah orang baik, sejak dahulu kala, sejak lama, dan tetap orang baik hingga kini dan besok. Frasa kedua menggambarkan kita adalah orang yang tidak baik, sejak lama, dan kini menjadi orang baik. Yang pertama baik sejak lama dan yang kedua baru baik. Berbeda sekali. Sudah pasti, kita semua menghasrati frasa pertama dengan sangat menggebu-gebu.

Uniknya, bagaimana mungkin kita begitu enteng menanggalkan hal-hal lama dengan dalih perkembangan dan kemajuan (diri dan dunia), dengan menudingnya usang, kolot, beku, ketinggalan zaman, padahal kita hendak menuju tujuan yang sama: kebaikan.

Dari Ernt H. Gombrich (2004) saya mengenal lebih dekat dua sosok besar dalam sejarah bangsa Cina (Tiongkok)—dan dunia—yang menempuhi cara berbeda untuk menjadikan orang-orang baik-baik saja. Yakni Konghucu dan Lau Tzu. Keduanya hidup di masa yang bersamaan.

Sekalipun sama-sama mengajarkan risalah-risalah kebaikan, keduanya tidak sejalan dalam upaya-upaya menempuhinya. Konghucu menggali dan mengedarkan pandangan sederhana berbasis tradisi-tradisi leluhur nenek moyang. Seperti membungkukkan badan di depan orang yang lebih tua, berdiri ketika bicara dengan orang yang lebih dihormati, mendengarkan dengan saksama orang yang sedang berbicara, dan mengelus kepala anak untuk membuatnya merasa nyaman. Sesederhana itu!

Berbeda dengan Konghucu, Lau Tzu yang lebih dekat kepada ajaran Buddha meninggalkan hiruk-pikuk dunia, meletakkan jabatannya, dan berjalan kaki sampai ke pegunungan di perbatasan Cina. Di tempat senyap itu, ia mewedarkan ajaran kesunyian, bahwa selalu ada Tao (jalan) dalam segala hal pada kehidupan dan dunia ini, seperti pergantian cuaca, gerak angin, terbit dan tenggelamnya matahari, bintang-bintang, gunung-gunung, sungai-sungai, dan segalanya. Tao adalah Hukum Besar yang mengatur dengan tertib dan teratur semua lalu lintas semesta. Semua menjadi tenang dan damai dalam bingkai Tao—termasuk kehidupan manusia.

Hanya saja, manusialah yang kemudian menyebabkan ketenangan kerja Hukum Besar itu terganggu karena sesaknya kesibukan, rencana, pikiran, ambisi, kehendak, hasrat, dan nafsu, termasuk pengorbanan dan doa. Dengan segala keinginannya, manusia menjadi berjarak dari Tao. Inilah biang kerok segala keburukan hidup ini. Maka, agar hidup manusia menjadi baik, kata Lao Tzu, tidak ada jalan lain kecuali melalui menarik diri dari keriuhan keinginan itu. Sebuah jalan sunyi untuk mensunyikan batin dari belenggu-belenggu duniawi. Kesunyian, tegasnya, merupakan jalan untuk menjadi orang baik.

Tentu saja, saya dan Anda tidak berhak sedikit pun untuk membandingkan secara hierarkis, biner, atau kanan-kiri kedua jalan menuju kebahagiaan hidup ala Konghucu dan Lao Tzu tersebut. Keduanya punya jalannya sendiri, kekhasannya sendiri, dan tata nilainya sendiri.

Hanya saja, memang secara substantif, terlihat jelas bahwa Konghucu mengidealkan posisi “tetap baik” dan Lao Tzu memperjuangkan posisi “menjadi baik”. Jika memasuki posisi Konghucu, dapat diandaikan bahwa galur-galur kebaikan hidup ini cukuplah dengan merawat hal-hal kecil yang telah sejak dahulu kala dikenal dan diamalkan oleh para leluhur kita dan bila mengikuti jalan Lao Tzu kita tertuntut untuk melakukan dobrakan-dobrakan besar pada kebiasaan hidup kita yang kepalang penuh hiruk lagi pekat pikuk.

Sudah pasti, posisi kedua lebih sulit untuk diarungi. Masihkah pada diri kita hari ini berdenyut kesadaran untuk tidak berbuat apa-apa di antara gemuruh perkotaan yang selalu gahar berkelahi? Berat sekali—untuk tidak disebut mustahil. Maka mari kita simpan saja dulu jalan Tao Lau Tzu ini—bukan menyingkirkannya—untuk direfleksikan di bagian berikutnya dari esai renungan ini.

Konghucu sama sekali tidak menganjurkan kita untuk meninggalkan dunia ini. Ia pun kerap beranjangsana dengan kaum elite penguasa, dari kalangan pangeran, panglima, hingga kaisar. Bertukar pikiran, bersilatrurahim. Ajarannya selalu satu: merawat nilai-nilai tradisi lama yang baik, yang sederhana, yang merupakan “hakikat kemanusiaan” lintas SARA—tentu saja, istilah ini belum ada kala itu. Ia mengerucut pada akhlak, moral, etika universal manusia.

Yang sangat menarik dari ajaran Konghucu ialah perhatiannya yang mendalam pada keluarga dan raja (kaisar, penguasa, pejabat). Ia mengatakan bahwa akar kebaikan bersumber dari hal yang paling kecil bernama keluarga. Seorang bocah yang terbiasa mendapatkan perlakuan dan pelajaran etis dari anggota keluarganya niscaya akan mengenal kebaikan-kebaikan sebagai cara hidup yang baik, yang akan dipegangnya sampai tua. Anak yang melihat ayahnya membungkukkan badan kepada orang yang lebih tua akan tahu bahwa kesantunan itu haruslah ia lakukan pula kepada ayahnya. Demikian seterusnya.

Situasinya jelas akan berkebalikan bila anak tidak dikenalkan secara langsung pada tata nilai kesantunan itu—sebutlah anak yang besar dalam keluarga berangasan. Niscaya anak itu akan mengabaikan nilai-nilai sederhana kesantunan sejenis itu, hingga tercerabutlah ia dari kebaikan-kebaikan hidup.

Anak pertama adalah anak baik yang “tetap baik” karena memang sejak dini sudah terbiasa dengan kebaikan-kebaikan. Ia tidak memerlukan usaha untuk “menjadi baik”—seperti dimaksud Lao Tzu.

Selain keluarga, Konghucu menyebut raja sebagai sumber utama kebaikan hidup. Ini bukan karena raja memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan rakyatnya, menghukum para pelanggarnya, tetapi lebih kepada nilai keteladanan yang memancur dari atas ke bawah. Saya membayangkan sebuah air terjun: sumber air jernih melimpah yang mengalir sederas apa pun ke bawah di tebing yang curam takkan mengubah wajah air yang jernih itu di bawah; genangan air di bawah tebing (sebutlah danau) akan mengikuti kejernihan air terjun yang deras itu.

Bila seorang raja selalu merawat nilai-nilai kebaikan leluhur, misal mengunjungi rakyat-rakyatnya, seperti yang kerap dilakukan Umar bin Khattab selama menjabat Khalifah Kedua di Madinah dan Iskandar Zulkarnaen (Alexander yang Agung)—putra Raja Filip asal Makedonia yang juga murid Aristoteles dan pendiri kota Alexandria di Mesir—yang tanpa sungkan mengunjungi filsuf Diogenes yang meninggalkan dunia dengan memilih hidup di tong besar yang terletak di alun-alun kota Korintus.

Raja yang baik akan menghasilkan kebaikan-kebaikan yang melimpah ruah pada kehidupan rakyatnya—begitu finalnya. Bila konsep “raja yang baik” ini ditakik ke ranah keluarga, maka sosok ayah adalah figur pertama yang memperagakan kebaikan-kebaikan yang akan digugu oleh seluruh penghuni rumah. Ayah yang baik bukanlah ayah yang tidak sempat mengelus kepala anaknya, mendengarkan cerita-cerita anak remajanya, dan keluh-kesah kesehariannya yang khas anak muda, yang tak jauh dari perkara pergaulan dan jatuh cinta—sudahkah Anda melakukan tugas “raja” ini di dalam rumah?

Jika kebaikan hal-hal kecil dan lama demikian berhasil dirawat oleh seorang ayah, oleh sebuah keluarga, dapat dipastikan individu-individu yang kelak akan menjadi bagian dari masyarakat (menjadi suami, ayah, istri, ibu) atau bahkan negara akan menghasilkan perilaku-perilaku yang baik pula.

Sampai di sini, teranglah bagi kita apa yang dimaksud Konghucu dengan hal-hal kecil dan hal-hal lama itu.

Perkara peliknya bagi kita kini ialah bagaimana cara kita menempatkan diri di hadapan realitas hidup yang sangat kompleks, yang terus bergerak dinamis-progresif, yang sarat kompetisi, yang sangat keras, yang kemampuan beradaptasi dengan kompleksitas itu menjadi penentu bagi pencapaian hidup yang semua kita mengimpikannya?

Bila kita menempuhi nilai-nilai kebaikan lama dan sederhana yang diajarkan Konghucu (tentu saja, Anda berhak betul untuk menyerap nilai-nilai universal itu dari mana pun dan siapa pun, tidak harus Konghucu), kita telah berada dalam posisi “tetap baik” sejak kecil. Mempertahankan “tetap baik” adalah tantangan berikutnya di antara hiruk pikuk kompleksitas kehidupan yang menjadi perkara pelik itu.

Di titik berikut inilah, ajaran Lao Tzu menjadi sangat relevan untuk direnungkan. Bahkan dinyalakan di dalam hati, agar menerangi pikiran dan langkah kaki.

Apakah mesti dengan menepikan diri ke laut, gunung, lembah, ngarai, jurang, hutan, atau tempat tak bernama yang tak pernah dikenal sehelai sejarah dunia?

Lau Tzu saya bahas di bagian berikutnya.

Jogja International Hospital, 11 Januari 2016

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!