
/1/
Sejarah sastra di Indonesia mustahil dilepaskan dari perubahan besar media, setidaknya, sejak akhir abad ke-19: dari sastra-budaya berbasis kelisanan ke sastra berbasis keaksaraan cetak modern. Perubahan besar ini menggeser, mengubah, dan akhirnya mengganti panggung sastra dari sastra-budaya berperistiwa lisan kepada sastra cetak keaksaraan, khususnya dalam bentuk buku (dan) media cetak modern. Dan di dekade kedua abad ke-21, sekali lagi setelah eksperimen pertama di akhir abad ke-20, kita menyaksikan gairah baru geliat sastra di media digital yang bergerak bersama gemuruh media sosial.
Perubahan dari sastra-budaya lisan ke media cetak memengaruhi banyak hal. Setidaknya, dalam esai ini, ada satu perubahan besar dan mendasar akibat perubahan media bersastra dari lisan ke cetak: hancurnya sistem pakem estetika berbasis lisan yang sebelumnya diikuti hampir semua pujangga (keraton) pada zaman sebelum percetakan modern. Dengan kehadiran teknologi modern ini, untuk menjadi seorang sastrawan, seseorang tidak memerlukan jabatan di keraton atau status sosial cukup tinggi dalam hierarki kelompok agama atau etnis agar bisa menjadi pujangga. Berkat kehadiran teknologi cetak yang mengarah pada kapitalisme sastra, terbukalah demokratisasi bersastra bagi masyarakat umum.
Perubahan ini, tentu saja, membawa suara yang bersilangan: (1) yang menolak dan tetap memeluk estetika sastra yang sudah dibuat/distigma jadi “sastra tradisional”; (2) yang menyambut dan mempersiapkan diri dengan membawa pembaruan-pembaruan. Begitu juga yang sudah mulai tampak dalam konstelasi media digital baru dalam sastra Indonesia termutakhir.
/2/
Simaklah syair agak ganjil di zaman internet tapi masih menggunakan nada estetika pantun klasik: Baiklah kirim fax undangan/ Disahut modem di laptop/ dengan lisan datang berceramah/ dengan beraksara datang menulis/ dengan bercyber hanya ber-email. Puisi karya almarhum Amin Sweeney ini tentu sudah ketinggalan zaman. Saat menulis esai Surat Naskhah Angka Bersuara: Ke Arah Mencari ‘Kelisanan’ ini, sekitar tahun 1998, media sosial belum muncul apalagi digunakan sebagai medium bersastra. Namun, pada stanza pertama, Sweeney (2011) membuka esainya dengan membandingkan pengaruh percetakan (dan media digital) terhadap sastra lisan: Baiklah pukul canang pemanggil/ Disahut tabuh di ladang,/ dengan buta datang berpimpin,/ dengan pekak berteleng-teleng, dengan patah datang bertongkat….
Peristiwa sosial-budaya yang dipantunkan Sweeney pada zaman manuskrip sastra lisan sudah sangat jarang sekali kita temukan lagi, tergusur hampir total oleh sistem sastra bermedia cetak. Dan sekarang, “dengan bercyber” bukan “hanya ber-email” tapi juga berpuisi atau berprosa digital di ruang-ruang laman media sosial. Perubahan dan peralihan besar dunia sastra, termasuk sastra Indonesia dari sastra lisan (orality) ke sastra (cetak) aksara (literacy), sangat dipengaruhi medium percetakan aksara modern. Peralihan dari sastra tradisional ke sastra modern, secara kebahasaan, adalah peralihan medium yang juga mengubah struktur estetika sastra bahkan isi karya sastra. Corak estetika lama yang berbasis kelisanan segera ditinggalkan dan jadilah sastra lama sebagai sastra tradisional.
Dalam gerak peralihan mutakhir di jalur media sosial, meski tidak mungkin terjadi perubahan bersastra secara radikal, kita mendapati kerisauan, kecaman, bahkan penolakan. Dalam esai Sastra(wan) Generasi Facebook (KOMPAS, 22 April 2017), Maman S. Mahayana termasuk yang merisaukan perubahan bermedium. Kata Maman: “Sebagian besar [sastra(wan) generasi Facebook], instan, ahistori, narsistik, tanpa seleksi, tanpa kritik (yang baik). Sisanya: ada juga yang potensial dan bergizi.” Lima sifat sastra “aliran FB” itu selain “yang potensial dan bergizi”, menurut Maman S. Mahayana, sangat dipengaruhi sifat ruang FB yang “tak menghadirkan persaingan dan bersifat serba-keseketikaan”.
“Ruang FB juga begitu longgar…. Setiap saat, siapa pun, bisa memublikasikan karyanya yang berkaitan dengan sastra atau sekadar celotehan,” kata Maman.
Namun, kesimpulan ini tampaknya masih terlalu dini, terburu-buru, belum teruji waktu, dan terutama masih memakai ilmu sastra lawas. Perubahan dari media (naskah) lisan ke media cetak mengubah sistem bersastra dan sekaligus estetika sastra. Dengan sendirinya, adalah wajar jika patokan kritik sastra mengikuti perubahan ini, tidak lagi menggunakan patokan estetika sastra lawas.
/3/
Sejarah perkembangan pencapaian “estetika” sastra (puisi) modern Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan percetakan modern. Kita patut mengingat apa yang pernah dikatakan Walter Ong (1977: 42) dalam Interfaces of the Word: Studies in the evolution of Consciousness and culture: “Technology is important in the history of the word not merely exteriorly, as a kind of circulator of pre-existing materials, but interiorly, for it transforms what can be said and what is said. Since writing came into existence, the evolution of the word and the evolution of consciousness have been intimately tied in with technologies and technological developments. Indeed, all major advances in consciousness depend on technological transformations and implementations of the word.”
Sudah cukup jelas bahwa estetika, dalam pengertiannya yang paling ketat atau longgar, bukan cuma perihal keindahan bentuk dan isi, tapi juga pemunculannya sangat dipengaruhi perkembangan teknologi. Di sini, akibat teknologi cetak, kita mendapati apa yang bisa disebut “estetika tipografis”: lirisisme, atau “alienation” dalam bahasa Walter Ong (1977: 47) akibat berjaraknya si penulis dan tulisan-tercetaknya, menjadi paradigma puisi modern secara global. Percetakan modern, bukan tulis tangan manusia pada zaman klasik atau panggung pertunjukan tradisional, mengakhiri kata-ucapan dalam tradisi sastra klasik yang sangat bertumpu pada suara-yang-tersuarakan secara publik di hadapan khalayak pendengar meski dalam bentuk tertulisnya.
Saat cetakan modern berbasis tipografis sudah mulai terinternalisasi (terutama pada sastrawan modern yang berilmu dengan buku cetak, bukan ilmu retorika mulut seperti para dalang), buku (atau koran dan majalah) dianggap “sejenis objek yang “mengandung” informasi, entah itu ilmiah, fiktif, atau yang lainnya, alih-alih ucapan yang dicatat,” kata Walter J. Ong (2013: 189). Tentu saja, buku (sastra) yang sudah menghilangkan suara-mulut-langsung sangat mengandalkan kata-tertulis atau “pernyataan visual” pada “lembar putih” yang sudah disarati makna. Inilah estetika tipografis, yang sangat menonjol sekali dalam puisi-puisi liris atau dalam prosa yang bisa begitu tajam menguraikan sisi internal-psikologis manusia.
Akibat yang ekstrem, muncul “puisi konkret” berbasis spasi-tipografis. Di Eropa, untuk menyebut beberapa saja, ada George Herbert, Laurence Sterne, lalu khususnya Stéphen Mallarmé yang “merancang puisi Un Coup de dés” “menggunakan beragam font [aksara tipografis] dan ukuran cetak dengan garis-garis bertebaran penuh perhitungan di sekujur halaman-halamannya dalam semacam terjun bebas tipografi huruf-huruf yang menyiratkan peluang yang mengendalikan sebuah lemparan dadu” (Walter J. Ong, 2013: 192).
Tujuan yang hendak dicapai Mallarmé adalah untuk “menghindari narasi” dan “meluaskan” pembacaan puisi sehingga pada halaman-halaman buku puisi, dengan ruang spasi-tipografisnya, bukan baris-barisnya, menjadi unit sajak itu sendiri. Inilah puisi konkret tipografis akibat pengaruh percetakan modern yang mematok puisi pada pernyataan visual pada ruang sunyi lembar kertas. “Puisi konkret bermain dengan dialektika kata yang terkunci pada ruang atau spasi sebagai kebalikan dengan kata lisan terucap yang tak pernah bisa terkunci ke dalam ruang-visual,” kata Walter Ong (2013: 193) dalam Kelisanan dan Keaksaraan.
Di Indonesia, kita bisa dengan cukup mudah mendapatkan model puisi konkret ala Mallarmé. Tentu saja, barangkali contoh yang sangat tipikal adalah puisi Sutardji Calzoum Bachri, terutama puisi berjudul Q, meski (secara ironis) Sutardji begitu berkehendak mengembalikan “kata” pada bunyi tanpa beban makna tapi toh tetap wajib ditulis sebagai prasyarat mutlak puisi modern berikut penataan ruang-spasi-tulis yang tak konvensional. Atau, puisi tanpa sekata pun dari Afrizal Malna yang berjudul Gempa Digital. Atau bahkan, “puisi konkret” dari Danarto yang menghadirkan instalasi kata, benda rupa, termasuk daging segar asli, hanya dengan niat pendaulatan sebagai “puisi” yang benar-benar konkret. Tentu, yang terpaparkan ini hanya sketsa dari beragam kehendak sastra modern untuk selalu berbeda, berhasrat pada “orisinalitas” dan “kreativitas”, antara para sastrawan sendiri dengan basis “pemilikan” kata-kata secara individual, bukan pakem irama kalimat yang dimiliki secara kolektif dari satu masyarakat lawas (Walter J. Ong, 2013: 195).
Maka, secara retrospektif antara puisi modern versus klasik, kita juga pantas untuk mengatakan bahwa puisi (bebas) modern hampir pasti bakal diklaim sebagai puisi jelek oleh pujangga klasik yang mempunyai anutan estetika sastra berbasis sistem penataan bunyi suara yang sudah jadi dan sah secara kolektif. Puisi bebas modern pasti bakal dianggap puisi urakan, ngawur, dan tak indah. Apalagi, kita pun tahu bahwa sastrawan modern awal Indonesia juga masih terdengar membawa pakem-suara dari masyarakat manuskrip lisan dan banyak yang menganggapnya sebagai “puisi (modern) gagal” (Keith Foulcher, 1991). Sastra modern yang dianggap berhasil adalah yang benar-benar lepas dari suara-manuskrip. Kita pun sadar dan tahu, sebagaimana penilaian Sutan Takdir Alisjahbana pada “puisi lama”: estetika sastra Pujangga Baru yang dipengaruhi percetakan modern sangat berbeda dengan estetika pujangga klasik pada zaman manuskrip.
/4/
Secara umum, perbedaan tersebut bukanlah terutama pada masalah etos “keseriusan berkarya dan kesabaran menunggu pemuatan” atau kehadiran redaktur-penguasa yang penuh pertimbangan arif: “tanggung jawab etik, moral, dan sosial” atau pengaderan sastrawan yang penuh persaingan sengit agar bisa menghasilkan karya sastra bermutu tinggi. Perbedaannya, meski awalnya tidak begitu disadari bahkan oleh para sastrawan sendiri, adalah pada pengaruh perengkuhan dan penggunaan medium yang menjadi basis utama bersastra.
Dan, sejauh ini, saat menghadapi media (digital) sosial, kita masih berhadapan dengan stereotip sinis negatif (mengikuti kritik Plato pada zaman antik terhadap huruf-tulis) sebagai ruang yang “longgar”, “licin”, “bersifat keseketikaan”, pengklaiman kepenyairan instan dan personal, dan seterusnya. Tentu, klaim ini boleh-boleh saja dan masih cukup valid sejauh ini. Namun, sebagaimana percetakan modern terhadap sastra berbasis mulut, kita masih belum mempunyai bukti yang cukup kuat atas klaim temporer ini. Penilaian kita masih terlalu berpatokan menggunakan sastra cetak modern yang sudah telanjur didaulat sebagai puncak terbaik karya sastra. Padahal juga banyak karya sastra cetak yang diremehkan dan direndahkan, seperti juga pernah dikeluhkan H.B. Jassin pada 31 Desember 1952. Penilaian yang dikemukakan selama ini masih belum menggunakan kriteria penilaian baru yang lebih sesuai dan didesakkan oleh estetika (baru) media sosial sendiri. Dan, kita perlu sedikit ingat, para pujangga media sosial masih baru saja lahir dan uji coba puitik masih baru tahap eksperimen awal.
Salah satu sifat dasar media sosial adalah (dis)interaksi sosial dan (dis)integrasi sosial yang terjadi dengan cara-cara yang sangat baru jika hanya dibandingkan dengan televisi, radio, apalagi khususnya medium kertas (koran, majalah, atau buku konvensional). Bahasa yang bermunculan dari dua elemen dasar media sosial itu juga memunculkan bahasa yang tidak bisa kita perlakukan dengan bahasa media cetak. Puisi dan “puitwit” Joko Pinurbo (atau penyair media sosial lain) tidak cukup bisa kita baca dan nilai dengan hanya menggunakan konvensi ilmu sastra media cetak. Puitwit punya ekologi bahasa yang sangat berbeda: networking dan broadcasting (bukan printing atau press). Dua dasar ekologi berbahasa ini menghadirkan sesuatu yang tak begitu terpikirkan dalam ilmu (kritik) sastra lawas.
Di sini, kita tahu dan sadar, calon sastrawan baru harus bertarung di arena baru: media massa cetak, yang sudah tidak dalam bayang-bayang raja sebagai patron utama, tapi ada di tangan seorang redaktur media cetak. Sekarang, kehadiran teknologi cetak/media digital seperti media sosial, secara umum, tidak hanya (bisa) menghilangkan kuasa hierarki redaktur media cetak atau media digital. Tapi, karya sastra dan sastrawan bisa langsung berinteraksi dengan publik pembacanya. Begitu juga publik pembaca bisa membuat klub atau fan page tersendiri dengan segala aktivitas literasinya masing-masing. Dan, di atas semua itu dan di masa yang segera datang, bukan tidak mungkin bahwa perubahan media ini bakal menghasilkan estetika sastra yang berbeda dari sastra cetak kertas akibat tuntutan keniscayaan media sosial sebagai media arus utama kehidupan digital kita.
Maka, daripada terburu nafsu menghakimi apalagi dengan ilmu lawas, barangkali kita bisa berharap ada gebrakan baru terhadap sastra Indonesia dari ruang-ruang media sosial yang pantas kita perhatikan, seraya mengembangkan dan memperbaharui ilmu (kritik) sastra yang lebih sesuai dengan media sosial—termasuk, yang sangat penting, siapakah yang sudah bergerak mengkliping peristiwa sastra di media (digital) sosial, seperti yang dilakukan H.B. Jassin di zaman media cetak?
/5/
Tak hanya itu. Pemunculan sastrawan baru sekarang sudah mulai bergeser cukup tajam: bukan lagi di media cetak konvensional, seperti koran atau majalah bergengsi seperti Horison yang sudah almarhum dan situsnya tak terurus padahal sudah berjanji mengembangkannya. Para sastrawan baru justru bermunculan dari media baru seperti cybersastra.net (situs yang dulu sempat memantik polemik cukup seru tapi sudah tak terurus lagi), basabasi.co, dan seterusnya termasuk akun media sosial masing-masing (calon) sastrawan. Kemunculan media baru biasanya juga akan memunculkan situs (kelompok) budaya sastra baru, bahkan estetika baru, berikut jangkauan kuasa baru dalam pendaulatan seorang sastrawan.
Memang masih menjadi pertanyaan dan penantian: apakah media baru akan benar-benar menghasilkan sastrawan baru dengan estetika digital yang benar-benar berbeda dengan sastra cetak. Namun, yang tampak sudah terlihat: kapitalisme sastra di dunia digital sudah cukup bergerak cepat. Lini masa media sosial menjadi pusat-pusat baru kapitalisme sastra (entah yang berkelas berat atau umum). Geliat kapitalisme sastra di media sosial ini sudah pasti akan memicu dan memacu calon sastrawan baru untuk tampil ke hadapan publik tanpa cukup ada halangan hierarkis keredakturan, yang bisa jauh lebih cepat, lebih massif, juga temporer, lebih intim, dan dengan segala strategi dan gosipnya.
Sastra Indonesia sudah memasuki zaman baru. Namun, sejauh ini, kita belum mempunyai peta sastra yang baru dan cukup andal untuk melihat perubahan-perubahan baru akibat teknologi digital media sosial. Yang jelas, mata kita sebagai publik sastra Indonesia sudah mulai memelototi gerak sastra yang berseliweran di media sosial.
- Memikirkan Ulang Gaya Hidup Religius - 30 November 2019
- Sang Pembaca Terhormat - 11 February 2019
- Nama dan Pokok, Prosa dan Puisi - 13 October 2018
Wardan Rizky Suherman
Tulisan yang menarik!
Fanada
Selalu terkesima dengan alur argumentasinya