Peristiwa 30 September 1965 masih basah dalam ingatan kita. Enam orang jenderal menjadi korban politik (tanpa hati nurani) yang dilakukan oleh Soeharto dalam percobaan kudetanya yang kemudian dipersangkakan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu dipimpin oleh Presiden Soekarno. Salah satu bukti keterlibatan Soeharto adalah pertemuannya dengan Kolonel Abdul Latif di rumah sakit Angkatan Darat.
Lambert Gebsels (2005) dalam bukunya De Stille Genocide, De fatale gebeurtenissen meneliti hari-hari sepanjang bulan September tahun 1965, ia sempat curiga ketika para kolonel sedang berupaya mencari dukungan dan berhasil merontokkan kekuatan Bung Karno, kemudian secara tiba-tiba muncul sosok Soeharto yang dengan mudah mengembalikan keadaan. Menurut Gebsels, tak lain dan tak bukan adalah konspirasi besar yang telah diskenario sejak awal.
Bung Karno pun sudah punya kecurigaan terhadap kondisi itu, ia sempat terhenti sepuluh menit ketika menyampaikan pidatonya di Istora Senayan pada tanggal 30 September 1965. Ia keluar dari panggung sejenak dan kembali lagi untuk melanjutkan pidatonya lagi. Dalam momen itu, Bung Karno bercerita tentang kisah Bharatayudha yang tentu tak ada kaitannya dengan tema acara pertemuan ahli teknik itu.
Dalam proses transisi negara yang baru merdeka, Bung Karno memang menjadi godfather intelektual dan spirit kebangsaan yang berupaya membangkitkan semangat rakyat, ia membangun konsep-konsep ketatanegaraan dengan spirit inovatif dan egaliter. Komunisme yang dibangun Bung Karno adalah komunisme Marhainis yang bertumpu pada pengembangan pemikiran, menguatkan pijakan nasionalisme bagi seluruh rakyat Indonesia, dan ketundukan dalam beragama, yang belakangan dikenal dengan Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme).
***
Tiga setengah abad bangsa ini dijajah oleh Belanda dan ditambah lagi penjajah Jepang datang yang puncaknya adalah luluh lantaknya kota Hiroshima dan Nagasaki oleh tentara Sekutu, hingga bangsa ini diakui kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka. Namun ironisnya, mentalitas bangsa kita ternyata masih kerdil. Setelah bangsa ini merdeka, bangsa menjadi harta rampasan perang yang diperebutkan oleh orang-orang sebangsa dan setanah air kita sendiri. Wajar kalau Bung Karno pernah berkata: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Sebagai dampak dari peristiwa 1965, budaya politik kita semakin hari semakin berjalan tidak sehat. Menduduki panggung kekuasaan bukan bentuk ekspresi kepedulian dan semangat nasionalisme yang tinggi untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi, meredam berbagai perpecahan di berbagai suku bangsa, membangun budaya yang lebih bermartabat. Akan tetapi justru mempolitisasi berbagai kelompok untuk kesuksesan kepentingannya sendiri untuk mencapai puncak kekuasaan, karena di dalamnya ada banyak harta negara yang bisa dikeruk untuk memperkaya diri sendiri.
Kekayaan negara benar-benar menjadi harta ghanimah yang diperebutkan seluruh elemen bangsa ini. Money politic sudah “membudaya”, mulai dari pemilihan RT sampai di tingkat pemilihan presiden, sehingga dampaknya mentalitas rakyat dalam memilih bukan memilih sosok yang benar-benar bertanggung jawab, akan tetapi mencari orang yang paling banyak memberikan uang. Lalu ke mana jiwa bangsa yang suci itu? Dan kapan terbentuk sebuah pemerintahan ideal yang terbaik di mana kedaulatan benar-benar ada di tangan rakyat yang cerdas? Dalam konteks ini, tentu saja para wakil rakyat tidak menjadikan gedung DPR hanya sebatas tempat kerja dan sarang proyek, melainkan benar-benar sebagai penyalur aspirasi rakyat.
Henry J. Schmandt (2002) dalam bukunya A History of Political Philosopy memberikan jalan keluar yang sangat bijaksana dalam mengatasi persoalan ini. Pertama, membangun para scientist yang pro rakyat, di mana partisipasi mereka dalam kehidupan bernegara hanya bertujuan untuk kedaulatan rakyat, menampung berbagai aspirasi rakyat, serta mengembangkan pendidikan agar rakyat mengerti tujuan berbangsa dan bernegara. Kedua, membangun kekuatan hukum (power of law) yang dapat melindungi hak-hak rakyat dan kekayaan milik rakyat serta membangun keadilan dan kejujuran dalam menegakkan hukum.
Apabila semua tatanan yang ada di dalam tertata rapi, semua elemen benar-benar menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum, tak ada lagi manipulasi atas nama kepentingan pribadi. Maka saya yakin, peristiwa 30 September 1965 tidak akan terulang lagi, perilaku korupsi akan semakin tipis, dan negara kita akan menjadi negara yang berwibawa di mata dunia. Akhirnya, meminjam bahasa Wislawa Szymborksa, peraih Nobel Sastra 1996, mengatakan bahwa di dunia yang dirundung kekuasaan ini, kita anak “zaman politik”, yang dibutuhkan adalah sebuah laku yang lebih akrab, lebih hangat.***
- Biografi Kesetiaan - 3 April 2016
- Tuhan, Nabi, dan Kesakralan Sebuah Nama - 6 March 2016
- Sajak Buah Pinang; Puisi-Puisi Ahmad Muchlish Amrin (Madura) - 16 February 2016