Ziarah ke Makam Anjing

Makam Vanida tertimbun sampah. Nisannya hilang, mungkin dibuang orang saat bersih-bersih kebun halaman belakang. Kebetulan hari ini ada lagi teman Vanida yang mati lalu kukuburkan di dekat makam Vanida.

Vanida mati dua tahun silam, dua hari setelah kami bawa ke klinik. Pagi itu, ketika hendak kuberi obat, dia tergeletak di halaman depan rumah studio, mulutnya berbusa, tubuhnya kaku. Dengan perasaan sedih kukubur dia di kebun belakang rumah studio.

Sepeninggal Vanida terasa ada yang kurang. Rumah studio jadi agak sepi. Biasanya ada saja yang dilakukan Vanida membuat kami terhibur oleh ulahnya yang lucu dan menggemaskan. Anjing belia itu entah milik siapa. Dia datang tengah malam di teras rumah studio memandangku dengan tatapan memelas. Aku terharu melihatnya, lalu kuambilkan nasi dan lauk. Dia makan lahap sekali sambil menggerak-gerakkan ekornya. Konon anjing yang menggerak-gerakkan ekornya menandakan sedang gembira. Sejak itu anjing kecil berbulu cokelat muda itu tinggal di rumah studio. Kuberi nama Vanida, mirip nama perempuan muda yang tempo hari dititipkan teman untuk numpang tinggal tiga hari tapi akhirnya molor sampai tiga bulan karena merasa nyaman tinggal bersama kami sambil melakukan kegiatan menulis.

Rumah studio tempat tinggal kami memang kerap jadi sasaran orang singgah untuk membuang stres atau numpang tinggal sementara, sebab arealnya luas-indah-nyaman membuat kerasan, karena tidak ada ibu rumah tangga yang membikin sungkan. Istri dan anak pemilik rumah studio tinggal di rumah tua di pusat kota berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah studio. Rumah studio hanya untuk tempat berkesenian, keluarga tidak boleh ikut tinggal di sini agar tidak mengganggu aktivitas berkesenian. Beberapa teman dari luar daerah yang berlibur ke daerah wisata ini kadang juga numpang nginap di rumah studio. Bahkan sering ada orang yang tak kami kenal tiba-tiba datang memperkenalkan diri, cerita ini-itu mengadukan persoalannya, menikmati suasana sampai puas lalu pergi setelah beban batinnya terlepas. Juga kerap ada hewan datang untuk numpang sakit beberapa hari hingga mati lalu kami kubur di kebun belakang rumah studio. Di sebelah makam Vanida ada kuburan monyet, kelinci, ayam, serta anjing lain yang kukubur dalam satu areal.

Vanida adalah salah satu anjing yang lama tinggal di rumah studio. Dia sudah kami anggap anggota keluarga. Kami beri makan sama dengan makanan kami. Kami mandikan seminggu sekali. Saat memandikan aku memakai sarung tangan, dan seusai memandikan, aku membersihkan diri sebersih mungkin agar tak tersisa adanya kotoran-najis. Sehabis dimandikan, Vanida terlihat cantik, tampak girang dan berlari-lari di halaman rumah studio atau berselonjor di taman sambil menggigit-gigit rumput.

Keberadaan Vanida di rumah studio telah mengubah sikap hidupku. Dulu aku sangat membenci anjing. Jika ada anjing mendekat rumah langsung kuusir. Tapi Vanida seperti punya daya tarik yang membuatku mau memeliharanya. Semenjak memelihara Vanida aku jadi tak takut lagi pada anjing, bahkan jika ada anjing sakit datang ke areal rumah studio, kurawat juga dan kukuburkan jika mati. Aku teringat kisah ulama terkenal di sebuah kota di pesisir utara Jawa Tengah yang konon di masa hidupnya memelihara anjing. Anjing-anjing yang beliau pelihara diberi nama mirip dengan nama-nama ulama tersohor yang dianggap berpihak dan menjilat penguasa pada masa itu. Ulama tersebut nyaris dihukum mati karena pemikirannya melampaui zaman sehingga menimbulkan kontroversi. Namun berkat kebijakan penguasa waktu itu, ulama tersebut dikirim ke Yaman untuk belajar agama lagi. Makam mendiang ulama yang dianggap wali tersebut sampai sekarang masih sering dikunjungi peziarah.

“Jangan takut, dia cuma ingin kenalan,” kataku kepada teman yang menaikkan kaki ke bangku karena didekati Vanida ketika ngobrol denganku di taman belakang rumah studio. Teman tersebut terlihat kurang senang melihat Vanida. Lalu, kuceritakan kisah Ashabul Kahfi yang terjadi di zaman sebelum masa kenabian Muhammad. Kisah tersohor yang sebagian besar orang tahu, tentang sekelompok pemuda kritis yang dikejar-kejar penguasa zalim, Raja Dikyanus. Mereka bersembunyi dalam goa dengan ditemani anjing. Para pemuda itu tertidur dalam goa selama 300 tahun menurut perhitungan kalender matahari, atau 309 tahun menurut perhitungan kalender bulan. Raqim, anjing yang setia itu, tak pernah beranjak dari mulut goa demi menjaga para pemuda, sampai anjing tersebut mati.

Teman itu mengangguk-angguk mendengarkan ceritaku, tapi kakinya masih nangkring di bangku. Lalu kuceritakan lagi kisah dalam Hadits Qudsi, tentang pelacur yang dikucilkan masyarakat namun dimuliakan Tuhan karena menolong anjing yang sedang bersusah payah menjangkau kolam, ia copot sepatunya untuk menyeduh air diberikan kepada anjing kehausan yang sedang menyusui anaknya.

Teman itu hanya tersenyum. Lalu kuceritakan lagi. Nabi Nuh dulunya bernama Yasykur, karena sering menangisi kesalahannya, maka oleh Allah ia diganti namanya menjadi Nuh. Kesalahan yang disesali Nuh tersebut lantaran suatu hari ia melihat anjing dan tebersit dalam hatinya: alangkah jeleknya anjing itu! Maka Allah mewahyukan, “Hendaklah kau ciptakan yang lebih baik dari itu!”

Kuceritakan juga kisah dalam pewayangan. Ketika Yudhistira, Raja Pandawa, diajak Batara Indra naik kereta menuju surga setelah semua saudara dan istri Yudhistira tewas kelelahan dalam pendakian ke puncak Himalaya seusai perang Baratayuda. Yudhistira menolak karena anjing yang selama ini menemani perjalanannya tak diizinkan ikut serta. Batara Indra bilang tak ada tempat untuk anjing di surga. Yudhistira bersikukuh tak mau ke surga jika sahabatnya itu tak ikut serta. Batara Indra tersenyum dan mengizinkan anjing tersebut turut serta, dia hanya menguji kesetiaan putranya pada Dharma. Anjing hanyalah penampakan fisik sebagai perwujudan Dharma yang menemani manusia menuju kesejatian-keabadian hidup.

***

“Lho, mana Vanida, Mas? Kok tidak kelihatan?” tanya teman yang tempo hari kukhotbahi ketika berkunjung ke rumah studio lagi.

“Vanida wafat seminggu lalu, terserang distemper.”

Teman itu tampak terkejut.

“Saya sudah makamkan Vanida di kebun belakang sana. Mau ziarah? Ayo saya antar, tapi harus membawa bunga dan uang untuk bekal.”

“Sampeyan ada-ada saja.”

“Serius, Vanida sudah meninggal. Dia sudah selesai menjalankan tugasnya di dunia. Jadi, harus dimakamkan baik-baik.”

Dia hanya tersenyum seakan menertawakanku. Lalu kuceritakan kisah seorang sufi dan anjing mati. Dalam suatu perjalanan, sufi tersohor As-Syibli melihat bangkai anjing, lalu ia menyuruh teman seperjalanannya mengurusnya, “Pakaikan kain ini untuk mengafani anjing itu, lalu kuburkan,” sembari memberikan sepotong kain baru. Teman tersebut segera mengangkat bangkai anjing, lalu diletakkan di suatu tempat setelah ditutup dengan kain. “Sudahkah Anda laksanakan sebagaimana mestinya?” tanya As-Syibli ketika orang tersebut kembali. “Tidak,” jawab orang itu. Syibli diam saja, maka orang itu bertanya, “Apa yang menjadi sebab sehingga Bapak perintahkan hal yang demikian kepadaku?” As-Syibli menjawab, “Pertama kali saya melihat ia hanya bangkai, maka kuperintahkan untuk melakukan penguburan anjing itu sebagai denda terhadap perasaan yang telah terlintas di hati saya.”

Kuceritakan itu kepada teman tersebut untuk menekankan bahwa anjing yang mati, apalagi anjing piaraan, harus dikuburkan baik-baik. Jangan dianggap sekadar bangkai binatang najis dan dibiarkan tak terurus.

“Betul, Mas, anjing berhak mendapat tempat yang layak. Kalau meninggal, tidak cuma perlu dikuburkan, tapi perlu ditempatkan pada maqamnya sebagai makhluk pengabdi, karena anjing adalah abdi yang baik,” tutur teman tersebut seakan bisa membaca pikiranku.

“Rupanya kamu sudah punya kesadaran mengasihi anjing.”

“Dari kecil saya sayang anjing, Mas. Di rumah kakek saya di kampung dulu, ada banyak anjing yang dipelihara. Tempo hari, saya justru kaget melihat sampeyan memelihara anjing, padahal dulu sampeyan kan sangat anti anjing. Waktu masih di tempat tinggal yang dulu, sampeyan sering mengeluhkan anjing piaraan tetangga. Sampeyan bahkan pernah memukul anjing hingga pincang. Sampeyan kumpulkan batu di teras rumah yang sampeyan bawa dari luar untuk berjaga-jaga jika diganggu anjing di jalan, batu itu juga sampeyan gunakan untuk menimpuk anjing yang hendak memasuki halaman rumah. Tak percaya melihat perubahan sikap sampeyan terhadap anjing itu, maka saya pura-pura takut anjing untuk mengetahui apa benar sampeyan sudah berubah? Saya dengarkan sampeyan cerita soal anjing, seperti yang juga sering diceritakan kakek saya. Kakek saya seorang ulama, dulu banyak memelihara anjing. Anjing-anjing yang tak terurus di jalanan dibawa pulang untuk dirawat agar tak membahayakan orang, dibuatkan tempat khusus di kebun yang luas dan dipagar rapat. Saya sering memberi makan anjing-anjing tersebut. Kadang juga menguburkannya jika ada yang mati,” tuturnya.

“Saya senang melihat sampeyan sekarang sudah menjadi penyayang anjing. Maka, mari kita ziarah ke makam Vanida. Dan, ini bekal untuk juru kunci makam anjing,” kata teman itu lagi sambil menyerahkan amplop kepadaku.

“Apa ini? Aku tadi cuma bercanda,” kataku hendak mengembalikan amplop berisi uang lumayan banyak tersebut.

“Itu uang persenan lukisan yang dibeli orang yang sampeyan antar ke rumah saya tempo hari. Itu rezeki sampeyan. Sekarang mari tengok makam almarhumah,” katanya mengajak ke ziarah makam Vanida. Aku terkenang percakapan itu ketika membersihkan makam Vanida seusai mengubur anjing lain yang kutemukan mati di halaman rumah studio siang tadi.

Nuryana Asmaudi SA
Latest posts by Nuryana Asmaudi SA (see all)

Comments

  1. Ilham Wahyudi Reply

    Saya pernah membaca sebuah tulisan kalau mazhab Maliki tidak mengategorikan anjing najis. Bahkan liur anjing itu sendiri. Yang najis ya kotoran anjing, seperti kotoran lainnya. Mohon koreksi jika salah. Cerpen ini sungguh menarik. Saya juga termasuk yang tak suka anjing. Tapi lebih kepada takut. Bahkan karena takut anjing saya jadi sungkan datang ke tempat saudara saya yang ketepatan non muslim di tahun baru.

  2. Nadya tifa Reply

    Banyak orang yang tidak menyukai anjing lantaran karena air liurnya tersebut, cerpen ini meneceritakan kisah-kisah tentang anjing yang membuka pikiran kita bahwa anjing merupakan ciptaan tuhan yang juga memiliki tugasnya di dunia

  3. Ratih Reply

    Tulisan yang sangat bagus.
    Dulu aku juga takut dengan anjing, tapi ketakutan hilang setelah suamiku bercerita bahwa anjing adalah binatang yang sangat setia. Dari situ, aku percaya bahwa naluri anjing lebih penyayang dibanding sebagian besar manusia.

    Terus berkarya mas ♥️

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!