
Baru-baru ini, diluncurkan sebuah zine mengenai gangguan mental yang dialami anak muda di Indonesia dengan nama 2AM Club. Diedarkan secara cetak di Jakarta dan Malang, dan dapat diunduh dalam format PDF. Penggagasnya adalah Katyusha Methanisa bersama kontributor-kontributor lain dengan pengalaman yang sama. Rubrik di edisi pertama mengangkat self-disclosure sang penggagas mengenai pengalaman percobaan bunuh diri, disusul sejumlah pengalaman gangguan mental kontributor lainnya.
Di hari yang sama saya mengakses 2AM Club, seorang teman yang berprofesi sebagai arsitek di sebuah studio di Kabupaten Bandung Barat bercerita, seorang anak baru di kantornya datang membawa zine arsitektur buatan teman-temannya dari kota Malang. Ia berkomentar, “Jadi, walaupun tulisannya kebanyakan curhat yang nggak dipoles pakai data, setidaknya mereka bisa nerbitin sendiri.”
Militansi Zine
Teman saya memang idealis dan penggemar zine di luar kebetulan pernah menghadiri Bandung Zine Fest 2016. Mungkin gara-gara ini, ia dan kliennya memiliki ide untuk menerbitkan zine. Disebutnya motivasi: karena wacana saja kurang militan.
Zine berasal dari kata fanzine. Pada awalnya lahir untuk membahas cerita-cerita fiksi ilmiah. Bentuknya yang independen—berdasarkan prinsip do-it-yourself, menggunakan mesin fotokopi—menjadikan zine sebagai media alternatif para penggiatnya, yang tidak menemukan bahasan tertentu dalam media massa komersial. Pada perkembangannya, zine masuk ke ranah musik hingga politik.
Ketika kuliah S1, sebagai anggota pers mahasiswa yang formal dan normatif serta anak teater yang lebih banyak bersuara lewat naskah fiksi, saya justru mendapatkan zine dari tangan anak pencinta alam, menyuarakan apa yang tidak dirangkul oleh media sekelas pers mahasiswa. Ia sebagai media untuk menyuarakan kreativitas yang bebas bentuk dan jumlah halaman. Memuat review buku, film, dan acara yang tidak ditonton mahasiswa arus besar; atau opini terhadap kejadian di sekitar kampus. Munculnya zine merupakan salah satu bentuk anarkisme terhadap sistem yang sudah mapan. Penggemarnya memiliki segmentasi tersendiri, pun kontributor dan penggagasnya.
Pentingnya Data dan Investigasi
Menyoal militansi zine yang menjadikannya sebagai suatu media kuat dalam menyuarakan hal-hal yang tidak terangkum media besar, hadirnya data dan metode investigasi kemudian menjadi sebuah pertanyaan: pentingkah?
Dalam akun Instagram-nya, ilustrator dan penulis muda, Anzi Matta, membahas ihwal kurangnya kedalaman sebuah media internasional yang baru saja memiliki edisi Indonesia. Anzi memberikan contoh mengenai artikel yang ditulis oleh penggagas zine 2AM Club. Dia mengkritisi bahwa apa yang tertulis dalam artikel tersebut belum memiliki cukup sumber data (misal wawancara dan observasi dengan pihak RSJ hingga support group), merangkul sisi-sisi lain mengenai efek samping obat, dan tidak adanya investigasi lain yang lebih menyeluruh terhadap topik sekompleks itu.
Penggagas 2AM Club mengatakan bahwa pada terbitan perdana, memang hanya menampung pengalaman dari anak-anak muda dengan gangguan mental, yang bahkan di antara mereka ada yang belum terdiagnosis. Diharapkan dari sini, dapat dimulai diskusi dan peningkatan kesadaran mengenai gangguan mental pada tulisan-tulisan selanjutnya.
Dalam tulisannya mengenai jurnalisme data, Aditya Rizki Yudiantika menjelaskan bahwa jurnalisme berbasis analisis dan data untuk mengolah suatu berita, berbeda dengan jurnalisme konvensional. Jurnalisme data melakukan pendekatan lebih luas dan diharapkan mampu memberikan peran wartawan lebih langsung kepada masyarakat. Jurnalisme data juga diharapkan mampu menghindari jurnalisme dangkal dengan data tidak akurat.
Subjektivitas, pengalaman, minat, latar belakang pendidikan, dan opini pribadi menjadi akar independensi zine. Dari sanalah terdapat referensi-referensi lain yang mungkin tidak akan kita temukan dalam buku diktat atau majalah. Bukankah pengalaman pribadi dan acuan-acuan tidak biasa juga sudah merupakan data? Katakanlah hal tersebut merupakan embrio dari data kualitatif berdasarkan prinsip fenomenologi atau studi kasus yang dapat lebih diinvestigasi di kemudian hari.
Proses Katarsis
Dalam bedah buku Sejarah Estetika di Selasar Sunaryo Art Space, Bambang Q. Anees mengatakan bahwa dalam bukunya yang nyaris setebal 1000 halaman, Martin Suryajaya meredefinisikan “katarsis” sebagai penjernihan intelektual. Jadi, dalam konteks ini, penjernihan intelektual dapat disejajarkan dengan proses yang menurut KBBI berarti menuangkan isi hati dengan bebas. Dengan istilah informal yang lebih ringan dan tidak mengandung proses terapi dalam psikologi atau pengertian dalam seni, salah satu bentuknya adalah: curhat.
Sejalan dengan hal tersebut, seorang dosen pernah mengatakan istilah dalam bahasa Jawa, “Kebukak atine, kebukak pikire.” Artinya, setelah seseorang membuka hati atau dirinya, maka orang tersebut bisa mengalami proses kesadaran dan mendapatkan insight secara kognitif untuk menemukan hal-hal baru dalam hidupnya. Proses katartik macam ini mampu membersihkan atau menghilangkan emosi negatif, afek, atau perilaku yang negatif lainnya. Menulis dan menerbitkan media alternatif merupakan salah satu cara untuk meluapkan hal-hal traumatis, pengalaman yang tidak menyenangkan, pendapat yang tidak tersampaikan, minat yang amat tersegmentasi dengan cara yang katartik dan tidak destruktif. Menyuarakan diri lewat zine bisa merupakan sebuah sublimasi, salah satu bentuk mekanisme pertahanan Freud yang paling positif, yakni mengarahkan impuls-impuls yang tidak diterima secara sosial atau oleh budaya arus besar ke arah penyaluran yang lebih dapat diterima.
Jika hal-hal tersebut sudah tercapai, terjadi kelegaan dan “pemurnian” yang tidak hanya sampai di tataran afek saja, melainkan juga kognisi. Menurut teori cognitive behavioral therapy, afek, kognisi, dan perilaku membentuk suatu segitiga yang saling berpengaruh dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
- “Empati” pada Sisi Gelap Manusia - 30 March 2019
- Zine Lebih dari Sekadar Media Militan Independen Masa Kini - 30 November 2016