
Konon, lelaki pemilik kedai kopi itu adalah anak gelap pak camat. Camat itu tak lain adalah keponakan bupati. Bupati itu adalah adik kandung gubernur, sedangkan gubernur adalah sepupu menteri dalam negeri. Dan menteri dalam negeri adalah saudara ipar presiden. Begitulah. Kadang sebuah sejarah tercipta bukan secara kebetulan.
***
Nona sampai di kota kecil yang nyaris tak dibincangkan di sudut dunia mana pun jika saja peramban tak datang mengubah semuanya. Rumah-rumah bergaya kolonial bertebaran di sepanjang jalan utama. Orang-orang kulit putih menyukai udara dan cuaca kota yang berhawa sejuk. Nyaris seluruh bangunan di kota ini menggunakan gaya arsitektur Neo-Renaisance dan Neo-Gothic yang populer di Eropa pada abad ke 19, seperti pilar-pilar besar, ornamen pada dinding dan jendela, tahun pada bagian atas pintu, serta lengkungan-lengkungan elegan.
Dengan bergegas, tetapi tanpa terkesan buru-buru, Nona melangkah di Jalan Puspo. Dari peramban, Nona tahu jalan tersebut dinamai demikian sejak tahun 80-an. Sejarah di balik itu menurutnya menarik.
Sebelum bernama Jalan Puspo, jalan itu bernama Groote Postweg, sebab di ujung jalan sana, berdiri megah sebuah bangunan kantor pos. Dipenuhi tanaman trembesi yang pucuk-pucuknya menyatu, jalan yang hanya sepanjang 1.200 meter itu seperti dinaungi kanopi raksasa. Tetapi kerusakan pada trotoar yang dipicu akar-akar trembesi, mengubah keputusan pemerintah kabupaten. Mereka menebang trembesi satu per satu, menggantinya dengan tanaman pohon berbunga spathodea campanulata yang dikenal sebagai African tulip tree.
Tetapi bisik-bisik yang beredar, penggantian pohon di Jalan Puspo adalah semata tanda pergantian orde. Orde pertama melanggengkan trembesi sebagai tanda kekuatan, orde kedua menggantinya dengan pohon bunga sepatu dea. Sekarang pohon-pohon itu telah menuai keindahannya. Sepanjang jalan Puspo barisan kanan maupun kiri dipenuhi tanaman setinggi belasan meter dengan bunga berwarna jingga mentupi setiap pucuknya.
Nona menapaki jalan ini seperti mengembalikan kenangan bersama ibu, saat tangannya digenggam menuju ayunan di taman kota. Kini ayunan itu telah berubah menjadi kursi-kursi besi. Di sebuah kursi, dua orang pegawai kantor pos yang menikmati kopi saling berbisik, “Semoga saja era orde ketiga ini tidak memotong pohon yang sudah rindang, mengganti dengan tanaman yang sedang digandrungi di kota-kota lain.”
Lelaki di sebelahnya bertanya, “Pohon apa memangnya?”
“Masa tidak tahu? Tabebuya!”jawab lelaki pertama. Mereka saling diam, kemudian memikirkan jika pohon-pohon ini dirobohkan orde ketiga sebagai tanda pergantian kekuasaan. Berapa pemilu lagi harus menunggu pohon setinggi ini? Setidaknya dibutuhkan lebih dari 20 tahun untuk membesarkan pohon sepatu dea yang sekarang.
Nona merekam setiap cuitan dengan telinganya yang tajam. Begitu pun matanya, merekam seluruh adegan dengan teliti seperti mata elang. Ia memindai trotoar lebar di sepanjang Jalan Puspo itu juga menjadi ajang perjumpaan muda-mudi selepas jam sekolah, penjual es tung tung, jagung bakar dan cilok dan seterusnya.
“Di antara semua jalan raya di Kota Gading, Jalan Puspo ini kenapa paling terasa indah, ya?” cetus seorang siswi berseragam SMA kepada teman yang sedang menunggu penjual jagung bakar menyiapkan pesanannya.
“Iya memang, Mbak, jalan ini dengan pohon tinggi dan trotoar lebar memang menarik. Pantesan banyak investor melirik.” Penjual jagung itu menyerobot pembicaraan. Dua gadis seragam SMA saling bertatapan.
“Memang belum tahu ?” tanya tukang jagung bangga. Dua gadis menggeleng.
“Saya dengar ada investor melirik Kedai Kopi Rembaka itu. Katanya mau dijadikan hotel bintang empat.”
“Gak mungkin! Mas-mas pemilik kedai itu kan tidak butuh uang,” sahut gadis berambut panjang.
“Iya. Kan dia keluarga orde kedua,” timpal gadis yang sedikit tomboy.
“Justru itu, Mbak. Sekarang kan yang berkuasa orde ketiga.” Penjual jagung merendahkan suaranya. Dua gadis seketika diam, lantas berjalan cepat-cepat menuju kursi besi lainnya. Nona merogoh selembar lima puluhan di kantong celana, menyodorkannya pada tukang jagung, dan ia menerima lima jagung plus segudang kabar. Di sisi lain taman, Nona membagi jagung-jagung itu pada mereka yang kesepian.
***
Kedai kopi yang dibincangkan tukang jagung bakar itu memiliki perpustakaan kecil, dan selalu memainkan musik jazz tahu 60-an, dengan saxophone sebagai alat musik dominan. Seorang lelaki kutu buku, selalu menjadi pijar terakhir sebelum segalanya menjadi gulita. Dia lelaki jangkung bertubuh atletis, berusia tiga puluhan.
Rumah Baca & Kedai Kopi Rembaka, adalah nama yang tersemat pada pagarnya. Tidak ada yang tahu sejak kapan lelaki itu membuka kedai kopi. Tetapi menurut si tukang jagung bakar, banyak orang kantoran ngopi selepas kerja di situ sejak pohon-pohon Pichkari atau sepatu dea ditanam di sepanjang Jalan Puspo. Menurut info, beberapa pegawai negeri diwajibkan ngopi di kedai itu setiap hari Jumat.
Di hadapan kedai kopi itu, terbentang taman Kota Rembaka. Orang-orang seringkali menghabiskan sore, sembari menyaksikan pemusik jalanan memainkan gitar atau biola. Jika mengudap di Kedai Kopi Rembaka, sesiapa bisa menyaksikan aneka pertunjukan gratis di sana.
Dan ini hari Senin, hari di mana Kedai Kopi Rembaka selalu memasang tulisan “Tutup”. Meniru semua museum di seluruh dunia, kedai kopi ini melakukan perawatan dan pemeliharaan peralatan. Perabot vintage yang ada di dalamnya, seperti koleksi cakram lebar, radio kuno, bahkan teralis jendela pun dibersihkan. Tetapi, Senin kali ini istimewa. Hari ini Kedai Kopi Rembaka memasang tulisan “Buka”.
Langit muram, udara dingin, dan gerimis letoi, tak menghalangi Nona mendorong pintu kedai. Aroma kopi yang melesak ke udara, memikat setiap pelintas di Jalan Puspo. Denting lonceng kecil di pintu seperti memanggil sang kutu buku yang sedang duduk di posisi kasir.
“Selamat datang di kedai Rembaka…” Lelaki itu mengangkat kepala sambil memasang senyum tipis. Tak ada orang lain. Rupanya dia seorang pemilik yang merangkap kasir, barista dan office boy.
“Kopi rempah satu,” ucap Nona sembari menggerai rambut ikalnya yang semua diikat kuda, “…dan seporsi pisang madu.” Ia memilih tempat duduk di dekat jendela, dan bunga pohon pichkari sedang meraya. Sejenak lelaki pemilik kedai terpukau. Ditatapnya perempuan itu dengan pandangan menelisik : dia orang baru, bagaimana dia tahu menu otentik Kedai Rembaka?
Cahaya jingga dari luar jendela menampar halus wajah Nona yang nampak percaya diri. Dia membuka komputer jinjing, seraya sibuk mengetik sesuatu, tidak menanyakan sandi wi-fi laiknya pengunjung lain.
Sambil menjerang air dalam ketel, sang pemilik kedai memanaskan pisang madu dalam microwave. Senin sore yang tak akan dilupakannya. Kemarin sebuah pesan memintanya membuka kedai hari ini. Seorang tamu penting akan datang, pimpinan dari utara. Lelaki ini membayangkan Sang Jendral yang akan tiba. Boss of the boss yang selalu mengulum cerutu, alis yang putus oleh tebasan parang, dan kaki pincang akibat kecelakaan parasut. Dugaannya ternyata keliru.
Ketika pemilik kedai menyuguhkan secangkir kopi rempah dan sepiring kecil pisang madu, harum tubuh perempuan itu tak dapat menyembunyikan diri. Sang lelaki memindai aroma itu dengan hidungnya yang terlatih, seperti diajarkan dalam latihan survival : ada aroma gading, bergamot, citrus, musk dan sedikit mint di dalamnya. Kesegaran yang menggairahkan.
Nona merogoh sesuatu dari dalam tas komputernya dengan gerakan kilat. Dalam sekedipan mata, tanpa suara berisik, laki-laki yang masih terpesona oleh aroma parfum menggairahkan itu roboh. Peredam pistol itu sungguh efisien.
Nona menyeruput kopi rempah dengan tenang. Menggigit pisang madu dengan gerakan gemulai. Dinikmatinya harum kopi rempah yang mengandung kayu manis, jahe serta serai. Ketika seluruh sajian itu tandas, ia meletakkan uang seratus ribu dan menindihnya dengan cangkir kopi. Ia melangkah santai melintasi tubuh pemilik kedai, yang meringkuk antara kursi dan meja.
Kaki jenjang dengan sepatu sneaker putih itu berjalan ke arah ujung jalan Puspo. Di depan kantor pos, berdiri sebuah resort kecil dengan halaman luas. Ia memasuki front office dan meminta kunci kamar dengan wajah dihiasi senyum.
Saat tubuhnya baru saja telentang, ponselnya berdecit. Nona tersenyum lebar. Di antara riap tugas tak tentu, seseorang menjelma sebagai oase. Dibukanya satu diantara empat ponsel dalam ranselnya.
“Nona…apa kabarmu hari ini?”
Tentu saja, Nona tak akan mengatakan pada orang itu, bagaimana ia telah menembak lelaki pemilik kedai. Sebuah perintah dari rezim ketiga untuk menumpas rezim kedua. Mereka harus habis, mulai dari keluarga sesumur, sedapur hingga sekasur. Nona juga tak mungkin menceritakan perjalanannya menempuh negara-negara, dari satu rahasia ke rahasia lainnya. Kau pun tak boleh jatuh cinta pada Nona.
Jika musim tak menepati janji
Datanglah padaku saat kemarau
Di sudut kedai itu ada tubuhku yang hangat
Menuliskan puisi untukmu
Berharap kita telanjang
Tanpa tameng tanpa topeng.
Salam
MR.X.
Pesan itu disertai foto Nona, dengan baju yang dikenakan hari ini, sedang duduk menghadap komputer jinjing di Kedai Kopi Rembaka.
(***)
- Nona dan Secangkir Kopi Rempah - 3 October 2025