
Restoran Meksiko yang Kini Jadi Minimarket
Tempat kita terakhir bertemu
kini menjual sabun cuci dan mie instan
mejanya sudah hilang
digantikan kulkas-kulkas yang mendengus pelan
seperti kenangan yang ingin keluar tapi malu
dulu, kita duduk di pojok
di bawah lukisan burung merak
kau tertawa sambil menggigit tortilla
dan aku sibuk menyembunyikan
gemetar tanganku di balik gelas plastik
di rak nomor tiga,
aku melihat jejakmu—
masih ada bekas ujung jarimu
di tutup botol saus
dan bayanganmu berdiri
di antara snack asin dan kata-kata yang tak jadi
lampu di langit-langit terlalu terang
segala yang pernah samar
kini terlihat jelas
terlalu jelas
aku menatap kasir,
seorang remaja dengan earphone
yang tak pernah tahu
bahwa tempat ini pernah menjadi altar kecil
bagi dua orang yang terlalu pelan
untuk saling tiba
kau tak ada
tapi aku masih membeli permen karet
seperti saat kau bilang:
“rasa manisnya cepat hilang,
tapi tetap kita ulang.”
dan saat keluar dari pintu kaca,
aku merasa seperti
seseorang yang baru saja kehilangan
tempat untuk kehilangan
Radio Butut di Dasbor Taksi
Radio di dasbor bunyinya serak
lagunya lagu lama—
yang dulu kita putar sambil telanjang
di dapur kecil apartemen sewa
kali ini kita duduk di taksi,
jauh.
kau lihat ke luar jendela
aku lihat lehermu
dan huruf-huruf Tuhan yang perlahan
keluar dari napasmu
“udah makan?” katamu
dan aku ingin muntah
karena cuma itu yang tersisa dari kita
setelah segala yang pernah dibagi
radio menyebut nama kota asing
tempat kita pernah berjanji
menua di antara bau buku bekas
dan teh melati
aku ingin bilang,
suaramu masih lagu favoritku
meski sekarang nadanya berubah,
seperti kaset yang kelipet di tengah
tapi aku diam.
karena taksi ini seperti mimpi buruk
yang tahu jalan pulang
dan aku terlalu takut
kalau-kalau sopirnya benar-benar
bawa kita ke tempat itu
lagu masih menyala
kau turun lebih dulu
aku biarkan pintu terbuka sebentar
barangkali kenanganmu sempat melirik ke belakang
radio terus menggumam
dan aku tahu,
di semesta yang lebih baik,
kita mungkin hanya salah memutar lagu
Lift yang Tak Pernah Sampai Lantai 10
Lift ini tak pernah benar-benar naik,
hanya pura-pura bergerak
seperti kita
di hari-hari terakhir:
tersenyum, saling menanyakan kabar,
tanpa berniat tinggal lebih lama dari jeda napas
aku menekan tombol 10
karena itu angka terakhir yang bisa kutahan
di antara gugup,
dan kau yang berdiri terlalu jauh
meski ruang ini hanya seukuran kesalahan kecil
di dinding lift, cermin memantulkan versi kita
yang tak pernah saling menatap langsung
selalu ada bias,
selalu ada bentuk yang tak utuh
karena kita terlalu takut
melihat diri sendiri saat bersama
lantai 2—
kau menyebut nama seseorang yang bukan aku
lantai 4—
aku lupa cara mengeja namamu tanpa nada marah
lantai 6—
kita diam,
saling bicara dalam kepala,
berharap lift ini macet selamanya
agar tak perlu sampai ke keputusan
lampu indikator berkedip
seperti harapan yang ditinggal colokan
dan pintu terbuka
ke lorong yang asing,
bau karpet basah,
dan seseorang menunggu yang bukan aku
aku turun
tanpa tanya,
karena kadang,
cinta tak hilang—
ia hanya berhenti di lantai yang salah
dan tak pernah dipanggil lagi
Surat dari Mesin Cuci Umum
Aku memasukkan kemeja putih
yang pernah menyentuh bahumu
ke dalam mesin cuci nomor 4
yang pintunya retak seperti waktu
ada sobekan tiket bioskop di kantong kirinya
dan setitik parfum yang mengingatkan
pada seseorang yang sering kita salah sangka sebagai takdir
air mengisi drum
dengan suara seperti huruf-huruf
yang gagal menjadi kalimat
aku duduk—
kursinya dingin, plastiknya bergetar
setiap kali kenangan terbentur putaran
mesin itu menari
menggulung kaus kaki dan keputusan
selimut dan penghindaran
sampai segalanya bercampur dan kehilangan nama
seorang wanita di sebelahku
mencuci boneka rusak
kepalanya terkulai ke kiri
seperti seseorang yang tidur dalam mimpi yang bukan miliknya
aku tak berbicara.
bahkan kepada diriku sendiri.
aku hanya menunggu—
sampai bunyi ‘klik’
membelah ruang,
dan aku bisa mengambil kembali
yang tak benar-benar bisa dimiliki sejak awal
aku masukkan semuanya ke dalam tas kain,
kancing-kancing hilang
warna-warni saling kabur
dan tak ada satu pun yang terasa seperti
dulu
- Puisi Anisa Azmi Zakia - 23 September 2025


nafisaa
kak, bagus bgtttt
Antoni
Bagus
Doni Priyadono
Tak sadarkan diri… rohani ini ikut hanyut dalam untaian kata yang kau racik.
Sukoharjo,
Tsabitaa
kerennn bangetttt sukakkk!
Ratihh
gilaa keren banget kakkk
Galih
Puisi terbaik yang aku baca minggu ini
manusia terbaik
indah sekali penyampaian puisinya
Fatimah
Bahasa nya sederhana, mudah dimengerti, dan bagussssss banget puisimuuuu uuwwww
allezetta
BAGUS BANGET kakk! ngenaa bangett
wildann mahdisya
jadii pengangguran ituu sangat lahh tidakk enakk dan tidak megang uang,
seperti sekarang saya jadi pengangguran
untuk kalian semangat lah bekerja supaya mendapatkan uang,
Selly
suka sekali.. ditunggu puisi lainnya kak..