Puisi Anisa Azmi Zakia

 

Restoran Meksiko yang Kini Jadi Minimarket

 

Tempat kita terakhir bertemu

kini menjual sabun cuci dan mie instan

mejanya sudah hilang

digantikan kulkas-kulkas yang mendengus pelan

seperti kenangan yang ingin keluar tapi malu

 

dulu, kita duduk di pojok

di bawah lukisan burung merak

kau tertawa sambil menggigit tortilla

dan aku sibuk menyembunyikan

gemetar tanganku di balik gelas plastik

 

di rak nomor tiga,

aku melihat jejakmu—

masih ada bekas ujung jarimu

di tutup botol saus

dan bayanganmu berdiri

di antara snack asin dan kata-kata yang tak jadi

 

lampu di langit-langit terlalu terang

segala yang pernah samar

kini terlihat jelas

terlalu jelas

 

aku menatap kasir,

seorang remaja dengan earphone

yang tak pernah tahu

bahwa tempat ini pernah menjadi altar kecil

bagi dua orang yang terlalu pelan

untuk saling tiba

 

kau tak ada

tapi aku masih membeli permen karet

seperti saat kau bilang:

“rasa manisnya cepat hilang,

tapi tetap kita ulang.”

 

dan saat keluar dari pintu kaca,

aku merasa seperti

seseorang yang baru saja kehilangan

tempat untuk kehilangan

 

 

Radio Butut di Dasbor Taksi

 

Radio di dasbor bunyinya serak

lagunya lagu lama—

yang dulu kita putar sambil telanjang

di dapur kecil apartemen sewa

 

kali ini kita duduk di taksi,

jauh.

kau lihat ke luar jendela

aku lihat lehermu

dan huruf-huruf Tuhan yang perlahan

keluar dari napasmu

 

“udah makan?” katamu

dan aku ingin muntah

karena cuma itu yang tersisa dari kita

setelah segala yang pernah dibagi

 

radio menyebut nama kota asing

tempat kita pernah berjanji

menua di antara bau buku bekas

dan teh melati

 

aku ingin bilang,

suaramu masih lagu favoritku

meski sekarang nadanya berubah,

seperti kaset yang kelipet di tengah

 

tapi aku diam.

karena taksi ini seperti mimpi buruk

yang tahu jalan pulang

dan aku terlalu takut

kalau-kalau sopirnya benar-benar

bawa kita ke tempat itu

 

lagu masih menyala

kau turun lebih dulu

aku biarkan pintu terbuka sebentar

barangkali kenanganmu sempat melirik ke belakang

 

radio terus menggumam

dan aku tahu,

di semesta yang lebih baik,

kita mungkin hanya salah memutar lagu

 

 

Lift yang Tak Pernah Sampai Lantai 10

 

Lift ini tak pernah benar-benar naik,

hanya pura-pura bergerak

seperti kita

di hari-hari terakhir:

tersenyum, saling menanyakan kabar,

tanpa berniat tinggal lebih lama dari jeda napas

 

aku menekan tombol 10

karena itu angka terakhir yang bisa kutahan

di antara gugup,

dan kau yang berdiri terlalu jauh

meski ruang ini hanya seukuran kesalahan kecil

 

di dinding lift, cermin memantulkan versi kita

yang tak pernah saling menatap langsung

selalu ada bias,

selalu ada bentuk yang tak utuh

karena kita terlalu takut

melihat diri sendiri saat bersama

 

lantai 2—

kau menyebut nama seseorang yang bukan aku

lantai 4—

aku lupa cara mengeja namamu tanpa nada marah

lantai 6—

kita diam,

saling bicara dalam kepala,

berharap lift ini macet selamanya

agar tak perlu sampai ke keputusan

 

lampu indikator berkedip

seperti harapan yang ditinggal colokan

dan pintu terbuka

ke lorong yang asing,

bau karpet basah,

dan seseorang menunggu yang bukan aku

 

aku turun

tanpa tanya,

karena kadang,

cinta tak hilang—

ia hanya berhenti di lantai yang salah

dan tak pernah dipanggil lagi

 

 

 

Surat dari Mesin Cuci Umum

 

Aku memasukkan kemeja putih

yang pernah menyentuh bahumu

ke dalam mesin cuci nomor 4

yang pintunya retak seperti waktu

 

ada sobekan tiket bioskop di kantong kirinya

dan setitik parfum yang mengingatkan

pada seseorang yang sering kita salah sangka sebagai takdir

 

air mengisi drum

dengan suara seperti huruf-huruf

yang gagal menjadi kalimat

 

aku duduk—

kursinya dingin, plastiknya bergetar

setiap kali kenangan terbentur putaran

 

mesin itu menari

menggulung kaus kaki dan keputusan

selimut dan penghindaran

sampai segalanya bercampur dan kehilangan nama

 

seorang wanita di sebelahku

mencuci boneka rusak

kepalanya terkulai ke kiri

seperti seseorang yang tidur dalam mimpi yang bukan miliknya

 

aku tak berbicara.

bahkan kepada diriku sendiri.

 

aku hanya menunggu—

sampai bunyi ‘klik’

membelah ruang,

dan aku bisa mengambil kembali

yang tak benar-benar bisa dimiliki sejak awal

 

aku masukkan semuanya ke dalam tas kain,

kancing-kancing hilang

warna-warni saling kabur

dan tak ada satu pun yang terasa seperti

dulu

Anisa Azmi Zaskia
Latest posts by Anisa Azmi Zaskia (see all)

Comments

  1. nafisaa Reply

    kak, bagus bgtttt

    • Antoni Reply

      Bagus

  2. Doni Priyadono Reply

    Tak sadarkan diri… rohani ini ikut hanyut dalam untaian kata yang kau racik.

    Sukoharjo,

  3. Tsabitaa Reply

    kerennn bangetttt sukakkk!

  4. Ratihh Reply

    gilaa keren banget kakkk

  5. Galih Reply

    Puisi terbaik yang aku baca minggu ini

  6. manusia terbaik Reply

    indah sekali penyampaian puisinya

  7. Fatimah Reply

    Bahasa nya sederhana, mudah dimengerti, dan bagussssss banget puisimuuuu uuwwww

  8. allezetta Reply

    BAGUS BANGET kakk! ngenaa bangett

  9. wildann mahdisya Reply

    jadii pengangguran ituu sangat lahh tidakk enakk dan tidak megang uang,
    seperti sekarang saya jadi pengangguran
    untuk kalian semangat lah bekerja supaya mendapatkan uang,

  10. Selly Reply

    suka sekali.. ditunggu puisi lainnya kak..

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!