Muara Manula
Ingatanku muara yang senyap merayap
Menulis namamu dengan hijau arus sungai
Ke tubuh biru laut. Huruf-huruf yang mengikat
Rima rimba kegelisahanku itu, yang mengangkut
Bunyi embun kesunyianku, lantas diantar ombak
Mendaki dan menatah diri pada karang di ujung
Tanjung. Mengukir hati pada erat belitan akar
Dan dahan pohonan. Namamu menjelma petapa
Yang semedi di terjal tebing hatiku, menaklukan
Gemuruh lautan waktu, menundukkan mata ombak
dan angin keresahan. Aku terus mengeja, merapal
Namamu, seperti meminum sumsum
Balung mantra pemanggul rindu
Way Teluk
Jauh darimu, kutunggui anak-anak senja menunggang ombak
Setiap kali mereka terguling dilumat gelombang, kurasakan
Dirikulah yang tenggelam dan karam ke dasar laut hatimu
Jauh darimu, kuayun lembut perahu-perahu di dermaga
Seperti buaian pelukanmu. Setiap kali mereka meluncur
seakan diriku yang mengembara di sekujur tubuh lautmu
Jauh darimu, papan selancar dan perahu-perahu
Segala yang mengambang itu adalah diriku
Disergap malam yang pasang, pasang laut ketiadaanmu
Labuhan Kuala
Dermaga kenangan di dadamu masih tangguh
Membendung gempur kemurungan. Perahu-
Perahu tidur siang di pelukmu, setenang bayi
Diayun lembut buaian ibu. Di punggungmu
Telah kubangun benteng masa lalu
Di keningmu kudirikan menara masa kini
Dan masa depan adalah berkas bayang
Pulau pisang di sebrang teduh parasmu
Berlayarlah, laut itu kekasihmu di sini,
Bisikmu menarik tubuhku dari gua
Sunyi bukit Selalaw. Pergilah bercinta,
Lepasmu mendorongku ke luncur perahu
Itulah satu jam pelayaran kehidupan di dunia
Seakan-akan aku hendak karam dan tenggelam:
Gairah laut lepas, peluk gelombang, cium-gigit
Angin, dan pekik lumba-lumba. Setelah itu
Kurengkuh juga nikmat berlabuh di pasir putih
Lembut lapis kain tapis, barzanzi, makam-makam
Keramat. Ah, udara menurunkan gerimis talkin
Mengiringi diri istirah di pulau kesendirian
Menghayati sayat ayat-ayat ketiadaan
Memahami kekosongan jiwa tanpa dirimu
Dari jauh, dalam samar kabut, searah lompatan
Tuhuk, kusaksikan daun kerudungmu kelabu
Matamu meredup di puncak menara suar
Sedang pelukmu terus mengayun tidur
Perahu-perahu. Lamat-lamat kudengar gema
Suara perempuan melantunkan hahiwang
Lengking kesedihan dari kesediaan ditinggalkan
Ratapan-ratapan dari keteguhan menunggu
Kuakhiri sajak ini dengan api dari hati senja
Membakar langit penantianmu, “Sayangku,
Kaulah pelabuhan itu, rumah sesungguhnya
Untuk keberangkatan dan kepulanganku
Tunggulah, tubuh kuyupku akan kembali
Menyusup dan menyusu di tubuh rindumu”
Mercusuar Bukit Selalaw
Akar-akar dan batang pohon kesepianku telah melilit erat
Kakimu yang menancap di ubun-ubunku. Tubuhmu putih
Telanjang tegak ke langit. Seakan tapa ratusan tahun
Matamu tak lelah mengirim suar ke luas ketiadaan
Namun tak ada yang singgah di karang-karang hitam
Pahaku. Hanya ombak, melulu sayatan riak melukai
Kakiku yang terjulur curam ke gelombang. Diam-diam
Para bajak lautlah yang menyusup masuk ke mulut
Hijau muara-muara dan merompak segala rempah
Di lubuk lempung leluhurku. Tak kusangsikan, bagiku
Kaulah sesungguhnya wujud kekasih itu, kesetiaanmu
Tak hanya pasrah menunggu, namun terus menyalakan
Doa ke bentangan gelap lautan waktu, persis seorang ibu
Yang terjaga sepanjang malam hingga berkas cahaya mata
Mengalir menjadi butiran embun air mata di daun-daun
Rimbun sekujur tubuhku. Itulah kenapa akar, dahan dan
Ranting seliar peluk kecemburuan yang terus melilit
Mendaki kakimu, terus menyelimuti utuh tubuh putih
Telanjangmu. Agar tak ada yang mampu menyentuh
Memasuki tubuhmu. Sebab kaulah milikku, sejak kau
Memilih berdiri semedi di puncak kegelisahanku. Mukim
Di takdir diriku sebagai bukit mungil penjaga celah batas
Pesisir utara dan pesisir selatan Krui. Seperti titik pertemuan
Kesedihan dan kebahagiaan. Di antara hamparan pasir
Hikayat dan kenyataan inilah, untukmu, hatiku telah
Mendirikan masjid kecil di tepi sepi Labuhan kuala
Selamanya diam menahan gempuran perasaan laut
Gemuruh pernyataan cinta kepadamu. Kau yang kekal
Menembakkan nyala suar sajak bagi para pengembara
Yang tersesat di samudra biru kata-kata, seakan kau
Selalu mengenang dan merindukan jejak-jejak sendiri
Silam pengembaraanmu dari seberang sana: barangkali
Negeri kincir angin, keju, dan sebuah musim yang bikin
Segala putih. Seputih tubuh tinggimu yang berdiri
Dan tak henti pula kulilit dengan birahi keabadian.
Barangkali negeri matahari terbit, kuil-kuil kesunyian,
Dan puncak gunung dewa-dewi yang semedi
Sekhusyuk dirimu menampung rimbun rinduku.
Barangkali pula sesungguhnya kau lahir dan tumbuh
Di lubuk lempung leluhur ini, surga rempah dan hikayat,
Nyanyian seribu muara, dan rumah-rumah panggung
Yang tangguh. Setangguh dirimu menemani diriku.
Tidak kutahu benar asal-usulmu, namun aku tahu pasti
Keberadaaanmu dalam diriku adalah napas hidupku
Seperti
Seperti kambing dan sapi yang berkeliaran bebas
Di tanah Krui. Kulepas kegelisahan dan kesepian
Meninggalkan kandang dadaku. Sesak pengap
Dibekap tulang dan daging sunyi pengembaraan
Kubiarkan mereka berlarian di jalanan, melompati
Pagar kedai kopi, asyik memamah rumput kering
Di alun-alun, turun ke pantai mengikuti liuk pinggul
Peselancar, bergulingan di pasir putih, menyusun
Lokan dan kerang menjadi sebuah nama, sebelum
Melompat ke arah jukung yang meluncur ke laut
Di tengah laut mereka terjun bergelut peluk persis
Kau dan dan aku di atas ranjang kemerdekaan cinta
Kubayangkan marlin dan lumba-lumba membawa
Mereka bulan madu di balik bayang Pulau pisang.
Aku tidak khawatir mereka akan tersesat, seperti
Orang-orang Krui yang melepas ikatan tambang
Memasrahkan kambing dan sapi pada tuntunan
Angin. Segala yang kulepas akan kembali ke diri
Sebab namamu yang ditabuh degup jantungku
Sepanjang waktu adalah alamat keramat, akan
Menuntun mereka pulang menghuni bilik dadaku
Seperti kepergianku yang selalu kembali padamu
Perayaan Kesendirian
Di penginapan, sayangku, hari adalah lilitan kawat duri
Kesepian. Kutuang dan kuteguk tuak kata-kata, sebagian
Kusiramkan pada unggun tumpuk dunia: arsip kwitansi,
Surat dinas, peta catatan perjalanan, peti harta karun
Hikayat, Kitab-kitab kulit kayu. Pelan aku menari sendiri
Menyayat Kenyal urat nadi kesunyian dan darahku sudah
Tetes api. Jatuh menyulut baju dan celana. Hangus segala
Terbakar. Aku terus menari. Kedinginan di pusat kobaran
Aku berputar. Akulah Rumi tanpa Ayamsi Tabriz, Majnum
Tanpa Laila, Wastu tanpa Rara Sakarti. Inilah aku tanpa
Dirimu. Merayakan kesendirian di tengah kobaran api
Darah kerinduan. Samar kusaksikan geliat kesedihan
Bangkit seperti ular yang asyik menggigit dan mengirim
Bisa ke tubuh sendiri. Kini kupahami getir kematian
Puisi para penyair hadir mengingatkan hakikat kekasih
Bunuh diri atau menjadi gila hanyalah isyarat kekalahan
Lantaran kegelisahan dan kesepian diikat terlalu liat
Tak dilepas menjadi berkas kata, hanya sekadar liar
Tambang ungkapan yang berbalik melilit dan mencekik
Leher hati kesendirian, menggantung tubuh kemurungan
Pilu letusan kuburan atau lengking rumah sakit jiwa
Maka kurayakan kesendirian sambil berputar-putar
Menebar api hati. Kamar dan penginapan berkobar
Jalan-jalan bara. Dari arah pantai yang gosong
Kegelisahan dan kesepian sempoyongan
Pulang telanjang bergandengan. Menembus
Kobaran api, menembus dingin tarianku
Sambil menyanyikan sajak-sajak rindu
Yang terus kutuang dan kuteguk
Sambil menyanyikan sajak-sajak baru
Yang gemuruh menggempur
Kesedihan. Aku kian berputar
Benar-benar menjelma angin
Yang tak tunduk pada apa pun
Selain dirimu. Oh, cinta
Kurasakan benar
Selain kepadamu
Bahkan retak ingatan
Adalah geliat khianat
- Puisi Toni Lesmana - 23 January 2024
- Puisi-Puisi Toni Lesmana: Perayaan Kesendirian - 8 June 2021
- Hikayat Sakit Kepala - 12 March 2021
Narendra BKR
Langsung melayang pak sumpahlah
Abdullah Al-Ghifari
Mantap banget yang perayaan kesendirian … dari judulnya aja menarik. kaya aku banget
Aldi Aqli
Seketika aku terhanyut dalam kesendirian setelah membaca puisi ini.. Mantep.
Putra
WAH!