Puisi Toni Lesmana

 

Pagi Seperti Kitab

 

Kekasih, pagi seperti kitab yang terbuka. Seribu kapinis

Menyembur dari halaman pertamanya yang gerimis. Seperti

Iringan kata-kata Sarabunis yang melulu memeluk linu dan pilu

Cinta sambil memasuki peti mati. Dari barat yang kelabu mirip

Kelambu, seekor merpati terbang linglung memanggul surat-surat

Rilke yang terus berjatuhan, setiap kali sayap basahnya mengepak,

Berjatuhan seperti tabur bunga sebuah upacara penguburan. Kita

Diam-diam melantunkan talkin sepenuh hati, entah untuk siapa,

Entah kematian siapa yang membuat kita begitu riang dan damai

Di halaman pertama pagi yang kita baca bersama secangkir kopi.

 

Kekasih, duduklah di pangkuanku, biar harum rambutmu memenuhi

Napasku. Pagi mengirim sirine. Di halaman dua. Kepala Afrizal

Melompat dari jam 7 di dinding, menyelam di kedalaman akuarium

Memecahkan kaca bahasa. Menggelinding ke teras. Melahap semua

Mainan yang tidur berserakan seperti serdadu di medan pertempuran.

Disergap ngiau kucing kuyup, mulut di kepala itu memuntahkan

Seluruh benda kembali sebagai kata-kata yang lekas memanjat

Dan merimbuni pohon jambu, bergelantungan, melengking mirip

Jerit ambulans mengabarkan jenazah tak sabar mencari pintu kubur.

 

Kekasih, raih lagi cangkir kopi dan kita berpelukan lagi, pagi masih tebal

Lembar demi lembar kita baca dengan keriangan anak-anak bermain

Mobil dan boneka, menggambar rumah tingkat dan jendela besar

Masa depan.  Hei, ada halaman telanjang seperti kita di kamar mandi,

Kekasih, seperti bujukan terjun, menyelam, dan menghuni lembar kekal.

Tangan terjulur dari halaman telanjang pagi, melilit ke tubuh kita yang

Satu dan menarik dengan lembut menjelma selarik yang meminta

Lebih. Cangkir kopi itu membaca kita yang raib dalam kitab pagi,

Dalam larik yang terus berlari membangun labirin mawar keabadian

Dari lembar ke lembar pagi seperti menyusun warisan untuk kelak

Dibaca anak-anak kita, di suatu pagi yang terbuka seperti kitab cinta.

 

 

Taman Kegelapan

Sebuah panggung reruntuhan pertempuran

Kembang lahap memangsa kumbang. Akar

Maskumambang bertebaran di udara memar

Menggerayangi lubang dada mayat-mayat yang

Bergelantungan. Di mana-mana. Akar pestapora

Darah hitam, mengisapnya hingga ungu batang-

Batang kembang, ungu daun-daun, ungu

Kelopak-kelopak. Menyemburkan air

Mancur kata-kata kelam ke kolam

Penuh jantung penuh belatung

 

Lagu mengucur dari lubang mata kepala-kepala

Gundul yang dipancung di tiang-tiang lampu

Mengalirkan nama-nama kekasih

Mengalirkan nama-nama kekasih

Ke lidah rumput kecemburuan

Yang subur dan rakus

Seperti mulut kakus

 

Dulunya ini adalah hampar ranjang

Hunjam maut ke rahim sunyi

Dan bayi puisi berlahiran

Dengan taring di sekujur tubuh

Mengisap puting bulan

Mengisap puting matahari

Melahap daging langit

Kemudian saling mangsa

Kemudian saling mangsa

 

Lebih dulunya lagi adalah altar

Untuk patung kemaluan yang

Disembah dengan segala kesumat

Upacara paling keramat, paling pekat

Sebelum sajak-sajak berjubah sperma

Diarak keliling kota. Mani dipahat

Di dinding terbuka. Semacam peta

Untuk karnaval senggama

Gerak ular dan belukar

Dalam kepala kegelapan

Yang lantas pecah

Berhamburan

Sekadar reruntuhan

Sebuah taman penuh hantu

Untuk menakuti anak-anak

 

 

Lutfi Mengirim Hutan

 

Kekasih, suatu hari, Lutfi mengirim gelondongan

Gonggong Bolano. Suara berat kemelaratan, suar

Dari benua lain, pasar perasaan yang terbakar, fajar

Sangar itu kutanam jadi pagar salak yang galak

Di depan rumah. Kutanam dalam sebagai tulak bala

Pengusir wabah kegelapan yang gencar menyebar

Kelam ke hijau segar buah kata-kata di pekarangan

 

Kekasih, suatu hari yang lain, Lutfi mengirim berkubik

Kaing Bukowski. Kayu-kayu kasar, runcing duri kulit

Kemiskinan, liur getah kemarahan, taring keberanian

Kubangun jadi benteng keyakinan baru pada puisi

Sebagian kutempa menjadi teralis tajam di kaca jendela

Sekeliling rumah. Biar tercabik-cabik dan bunuh diri

Para pencuri yang mengincar nyala jiwa rumah kita

 

Dan, kekasih, setiap pagi kita menyapu mayat-mayat pilu

Para pencuri, kerumunan daun-daun gugur memasuki kubur

Pembuangan sampah di sudut pekarangan. Dari sudut itulah,

Dari lubang tempat kita membakar wabah dan sampah, suatu

Hari, Lutfi, dukun itu, muncul, janggut digelantungi botol anggur,

Matanya memuntahkan aksara.”Bertahanlah di rumah, di jiwa

kata-kata.” Bisiknya menerjemahkan setiap bahasa kegelisahan 

 

Mengirim geram liar pohon kesetiaan hutan-hutan asing

Seperti mengirim cermin sekaligus anjing penjaga.

 

 

Borges dan Muasal Kita

 

Kau menungguku, duduk membaca Borges, sendirian

Di alun-alun bahasa. Matahari dari ufuk kecemburuan

Mendaki lengkung punggungmu, dan ujung bayangmu

Menjulur jatuh di ujung langkahku. Inilah muasal kita:

Bagaimana cinta menjadi begini lezat dan hebat

Melepas segala bebat dan jerat kesumat.

 

Aku berdiri, menatap ubun kata-kata, membaca air terjun

Rambut kemerahanmu. Gemuruh ungkapan. Keindahan

Menggetarkan pohon palem, pelepah-pelepahnya terjaga

Serempak menyemburkan serbu seribu burung ke udara

Serupa bentang selubung di atas kota, kerudung melayang

Turun, hinggap memeluk lebat liar pikiran dan tubuhmu

Kemudian menjadi rahasia. Menyisakan paras khusyuk,

Kacamata biru langit, lesung pipi, dan bibir mungilmu

Merapal makna dari telapak tangan kiri kalimat.

 

Kian lengkung punggungmu, kian merunduk ke tubuhku

Kubayangkan huruf-huruf  memberat, terus menanggalkan

Duri diri sepanjang labirin kekasih. Kenapa aku begitu

Mencintaimu, dan, kenapa pula kau sangat mencintaiku.

Air mancur tiba-tiba hidup, seperti kalam jawaban

Dari dalam tanah. Segar basah. Padahal kemarau lama

Mengeringkan seluruh sumur di kota prosa.

 

Matahari yang iri, semakin tinggi mendelik dengki. Terik

Sesat pada hikayat Hawa dan Adam. Tapi kita, bukan

Penghuni surga, hanya sepasang manusia biasa

Di dunia yang mulai dialiri puisi lagi

Toni Lesmana
Latest posts by Toni Lesmana (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!