Pagi Seperti Kitab
Kekasih, pagi seperti kitab yang terbuka. Seribu kapinis
Menyembur dari halaman pertamanya yang gerimis. Seperti
Iringan kata-kata Sarabunis yang melulu memeluk linu dan pilu
Cinta sambil memasuki peti mati. Dari barat yang kelabu mirip
Kelambu, seekor merpati terbang linglung memanggul surat-surat
Rilke yang terus berjatuhan, setiap kali sayap basahnya mengepak,
Berjatuhan seperti tabur bunga sebuah upacara penguburan. Kita
Diam-diam melantunkan talkin sepenuh hati, entah untuk siapa,
Entah kematian siapa yang membuat kita begitu riang dan damai
Di halaman pertama pagi yang kita baca bersama secangkir kopi.
Kekasih, duduklah di pangkuanku, biar harum rambutmu memenuhi
Napasku. Pagi mengirim sirine. Di halaman dua. Kepala Afrizal
Melompat dari jam 7 di dinding, menyelam di kedalaman akuarium
Memecahkan kaca bahasa. Menggelinding ke teras. Melahap semua
Mainan yang tidur berserakan seperti serdadu di medan pertempuran.
Disergap ngiau kucing kuyup, mulut di kepala itu memuntahkan
Seluruh benda kembali sebagai kata-kata yang lekas memanjat
Dan merimbuni pohon jambu, bergelantungan, melengking mirip
Jerit ambulans mengabarkan jenazah tak sabar mencari pintu kubur.
Kekasih, raih lagi cangkir kopi dan kita berpelukan lagi, pagi masih tebal
Lembar demi lembar kita baca dengan keriangan anak-anak bermain
Mobil dan boneka, menggambar rumah tingkat dan jendela besar
Masa depan. Hei, ada halaman telanjang seperti kita di kamar mandi,
Kekasih, seperti bujukan terjun, menyelam, dan menghuni lembar kekal.
Tangan terjulur dari halaman telanjang pagi, melilit ke tubuh kita yang
Satu dan menarik dengan lembut menjelma selarik yang meminta
Lebih. Cangkir kopi itu membaca kita yang raib dalam kitab pagi,
Dalam larik yang terus berlari membangun labirin mawar keabadian
Dari lembar ke lembar pagi seperti menyusun warisan untuk kelak
Dibaca anak-anak kita, di suatu pagi yang terbuka seperti kitab cinta.
Taman Kegelapan
Sebuah panggung reruntuhan pertempuran
Kembang lahap memangsa kumbang. Akar
Maskumambang bertebaran di udara memar
Menggerayangi lubang dada mayat-mayat yang
Bergelantungan. Di mana-mana. Akar pestapora
Darah hitam, mengisapnya hingga ungu batang-
Batang kembang, ungu daun-daun, ungu
Kelopak-kelopak. Menyemburkan air
Mancur kata-kata kelam ke kolam
Penuh jantung penuh belatung
Lagu mengucur dari lubang mata kepala-kepala
Gundul yang dipancung di tiang-tiang lampu
Mengalirkan nama-nama kekasih
Mengalirkan nama-nama kekasih
Ke lidah rumput kecemburuan
Yang subur dan rakus
Seperti mulut kakus
Dulunya ini adalah hampar ranjang
Hunjam maut ke rahim sunyi
Dan bayi puisi berlahiran
Dengan taring di sekujur tubuh
Mengisap puting bulan
Mengisap puting matahari
Melahap daging langit
Kemudian saling mangsa
Kemudian saling mangsa
Lebih dulunya lagi adalah altar
Untuk patung kemaluan yang
Disembah dengan segala kesumat
Upacara paling keramat, paling pekat
Sebelum sajak-sajak berjubah sperma
Diarak keliling kota. Mani dipahat
Di dinding terbuka. Semacam peta
Untuk karnaval senggama
Gerak ular dan belukar
Dalam kepala kegelapan
Yang lantas pecah
Berhamburan
Sekadar reruntuhan
Sebuah taman penuh hantu
Untuk menakuti anak-anak
Lutfi Mengirim Hutan
Kekasih, suatu hari, Lutfi mengirim gelondongan
Gonggong Bolano. Suara berat kemelaratan, suar
Dari benua lain, pasar perasaan yang terbakar, fajar
Sangar itu kutanam jadi pagar salak yang galak
Di depan rumah. Kutanam dalam sebagai tulak bala
Pengusir wabah kegelapan yang gencar menyebar
Kelam ke hijau segar buah kata-kata di pekarangan
Kekasih, suatu hari yang lain, Lutfi mengirim berkubik
Kaing Bukowski. Kayu-kayu kasar, runcing duri kulit
Kemiskinan, liur getah kemarahan, taring keberanian
Kubangun jadi benteng keyakinan baru pada puisi
Sebagian kutempa menjadi teralis tajam di kaca jendela
Sekeliling rumah. Biar tercabik-cabik dan bunuh diri
Para pencuri yang mengincar nyala jiwa rumah kita
Dan, kekasih, setiap pagi kita menyapu mayat-mayat pilu
Para pencuri, kerumunan daun-daun gugur memasuki kubur
Pembuangan sampah di sudut pekarangan. Dari sudut itulah,
Dari lubang tempat kita membakar wabah dan sampah, suatu
Hari, Lutfi, dukun itu, muncul, janggut digelantungi botol anggur,
Matanya memuntahkan aksara.”Bertahanlah di rumah, di jiwa
kata-kata.” Bisiknya menerjemahkan setiap bahasa kegelisahan
Mengirim geram liar pohon kesetiaan hutan-hutan asing
Seperti mengirim cermin sekaligus anjing penjaga.
Borges dan Muasal Kita
Kau menungguku, duduk membaca Borges, sendirian
Di alun-alun bahasa. Matahari dari ufuk kecemburuan
Mendaki lengkung punggungmu, dan ujung bayangmu
Menjulur jatuh di ujung langkahku. Inilah muasal kita:
Bagaimana cinta menjadi begini lezat dan hebat
Melepas segala bebat dan jerat kesumat.
Aku berdiri, menatap ubun kata-kata, membaca air terjun
Rambut kemerahanmu. Gemuruh ungkapan. Keindahan
Menggetarkan pohon palem, pelepah-pelepahnya terjaga
Serempak menyemburkan serbu seribu burung ke udara
Serupa bentang selubung di atas kota, kerudung melayang
Turun, hinggap memeluk lebat liar pikiran dan tubuhmu
Kemudian menjadi rahasia. Menyisakan paras khusyuk,
Kacamata biru langit, lesung pipi, dan bibir mungilmu
Merapal makna dari telapak tangan kiri kalimat.
Kian lengkung punggungmu, kian merunduk ke tubuhku
Kubayangkan huruf-huruf memberat, terus menanggalkan
Duri diri sepanjang labirin kekasih. Kenapa aku begitu
Mencintaimu, dan, kenapa pula kau sangat mencintaiku.
Air mancur tiba-tiba hidup, seperti kalam jawaban
Dari dalam tanah. Segar basah. Padahal kemarau lama
Mengeringkan seluruh sumur di kota prosa.
Matahari yang iri, semakin tinggi mendelik dengki. Terik
Sesat pada hikayat Hawa dan Adam. Tapi kita, bukan
Penghuni surga, hanya sepasang manusia biasa
Di dunia yang mulai dialiri puisi lagi
- Puisi Toni Lesmana - 23 January 2024
- Puisi-Puisi Toni Lesmana: Perayaan Kesendirian - 8 June 2021
- Hikayat Sakit Kepala - 12 March 2021