
Orang-orang bertanya kepada Syaikh Abu al-Hasan al-Kharaqani tentang apa itu keikhlasan? Apa itu ketulusan? Beliau menjawab bahwa apa yang kalian ketahui semata-mata karena Allah Ta’ala, tidak karena apa pun yang lain, maka itulah keikhlasan. Dan apa pun yang kalian ketahui semata karena makhluk, itulah yang disebut riya’.
Ketulusan pada diri beliau mencapai puncaknya ketika beliau mengatakan untuk tidak bersahabat dengan siapa pun yang menyatakan apa saja selain hadiratNya, tidak peduli tentang surga dan tentang neraka. Terutama ketika kita telah menyebarkan nama Allah Ta’ala ke mana-mana.
Bahkan beliau menyatakan untuk mencari duka-derita ke mana-mana hingga mengucur airmata. Karena Allah Ta’ala suka orang yang menangis karena hadiratNya. Pada diri beliau, Dia tidak sekedar awal dan akhir dari segala sesuatu, tapi menjadi “selimut” di mana saja.
Bagi beliau, jika seseorang menyanyi karena Allah Ta’ala, dan hadiratNya menghendaki terhadap hal itu, itu jauh lebih indah dan lebih utama daripada membaca Qur’an dan itu tidak dikehendaki oleh hadiratNya. Berkaitan dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Kharaqani, sesuatu yang benar dan ditekankan kepada Allah. Itu saja.
Karena itu, menurut beliau, pewaris Nabi Muhammad Saw itu bisa diikuti perbuatannya, bukan orang yang terutama menghitamkan wajah kertas. Artinya adalah bukan terutama orang alim yang menulis tentang apa saja dan dikenal sebagai intelektual yang cukup andal. Sama sekali bukan.
Ketika Syaikh Abubakar asy-Syibli mengatakan bahwa “aku ingin untuk tidak ingin” dan kemudian kalimat tersebut sampai kepada Syaikh Abu al-Hasan al-Kharaqani, beliau menanggapi bahwa hal itu juga merupakan sebuah keinginan. Bukan merupakan sesuatu yang lain.
Beliau mengatakan bahwa pada hari itu sudah empat puluh tahun beliau berada pada satu waktu, dan Allah Ta’ala senantiasa memandang hati beliau, dan hadiratNya itu tidak menemukan sesuatu yang lain selain diriNya. Sungguh, sangat mengagumkan dan menggembirakan.
Di dalam waktu selama empat puluh tahun itu, tidak ditemukan di dalam diri beliau apa pun selain Allah Ta’ala. Hati beliau hanya berisi hadiratNya, tidak berisi apa saja yang lain. Sungguh, betul hadis qudsi itu bahwa langit dan bumi tidak sanggup menanampung Allah Ta’ala, tapi hati orang beriman sanggup menampungNya.
Yang disebut “satu waktu” itu adalah bahwa hati beliau senantiasa terfokus kepada Allah Ta’ala, tidak kepada segala sesuatu yang lain. Kenapa? Karena selain hadiratNya itu sudah termasuk tidak ada. Bumi ini dengan segala isinya, langit itu dengan segala isinya: semuanya itu terhitung mumkinat al-wujud, sesuatu yang diadakan oleh Allah Ta’ala.
Beliau hanya tertuju kepada Allah, tidak kepada apa pun yang lain. Sudah empat puluh tahun nafsu beliau menginginkan air yang dingin, beliau sama sekali tidak memberikannya. Agar tidak keinginan nafsu itu tertimbun-timbun. Agar nafsu itu kalah terhadap roh. Agar nafsu itu patuh pada hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu Sa’id bin Abi al-Khair #6 - 10 October 2025
- Syaikh Abu Sa’id bin Abi Al-Khair #5 - 3 October 2025
- SYAIKH ABU SA’ID BIN ABI AL-KHAIR #4 - 26 September 2025