
Syaikh Abu al-‘Abbas al-Amili menyatakan bahwa Allah Ta’ala disembah dengan dilaksanakannya perintah-perintah dan dijauhinya larangan-larangan. Di dalam melaksanakan perintah-perintah itu ada keinginan untuk melanggar, sebagaimana di dalam menjauhi larangan-larangan itu ada keinginan untuk melanggar.
Itulah sebabnya ajaran-ajaran ini disebut sebagai agama. Kalau kita tunduk kepada hadiratNya dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan secara lahir dan batin, maka kita akan selamat dari siksa api neraka, kita akan memperoleh surga. Tapi kalau kita tidak tunduk kepada hadiratNya, kita akan memperoleh yang sebaliknya.
Syaikh Abu al-‘Abbas al-Amili menambahkan bahwa tunduk kepada agama Islam adalah mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, tentu selain yang memang dikhususkan kepada beliau Saw. Seperti masalah nikah dan berbagai macam kewajiban yang tidak kuat kita lakukan.
Jika seseorang menyatakan bahwa apa yang kerjaannya sepenuhnya baru, tidak mengikuti yang sudah-sudah, maka apa yang dikerjakannya pastilah ditolak, tidak diterima. Artinya adalah bahwa agama Islam itu bukan hanya merupakan ajaran-ajaran, tapi juga keteladanan dari Nabi Muhammad Saw.
Setelah keduanya keluar dari rumah Syaikh Abu al-‘Abbas al-Amili, Syaikh Abu Sa’id bin Abi al-Khair bertanya tentang keduanya kepada beliau. “Yang pertama adalah Syaikh Abu al-Hasan al-Kharaqani, yang kedua adalah Syaikh ‘Abdullah ad-Dasatani”, kata Syaikh Abu al-‘Abbas al-Amili.
Setelah Syaikh Abu Sa’id bin Abi al-Khair mengabdi selama satu tahun kepada Syaikh Abu al-‘Abbas al-Amili, beliau bilang kepada Syaikh Abu Sa’id: “Pulanglah engkau ke desa Maihanah.” Maka kemudian beliau pulang dengan berkah dari Allah Ta’ala lewat gurunya itu, juga dengan penuh kesenangan hati.
Setelah beberapa hari beliau berada di rumahnya, beliau memberikan ilmunya kepada orang-orang yang datang ke sana. Dengan penuh ketersingkapan dan pencerahan, beliau memberikan ilmunya kepada mereka. Betapa Allah Ta’ala sangat nyata, betapa Allah Ta’ala sangat gamblang. Jelas sekali.
Di Transoksiana sama sekali tidak dikenal nama Syaikh Sa’id bin Abi al-Khair. Di sana, beliau dikenal dengan nama Syaikh Muhammad bin Abi Nashr al-Habibi. Sementara Khujah Abubakar al-Khathib merupakan salah satu imam dari imam-imam di Merv, dulu bersama dengan Syaikh Abu Sa’id ketika belajar tentang ilmu-ilmu kunci tasawuf.
Karena keperluan tertentu, Syaikh Abu Sa’id bin Abi al-Khair pergi ke Nisapur. Di sana, beliau didatangi oleh Syaikh Muhammad al-Habibi. Beliau mengatakan kepada Syaikh Sa’id bin Abi al-Khair: “Aku dengar bahwa engkau datang ke Nisapur ini karena ada perlu tertentu. Sementara aku punya pertanyaan yang perlu aku sampaikan kepadamu.”
Sufi-sufi terdahulu sering kali bepergian ke tempat-tempat tertentu di dunia ini. Sebenarnya ada perlu apa mereka? Boleh jadi bukan karena keperluan apa pun kepada dunia ini. Keperluan mereka kepada Allah Ta’ala, bukan kepada apa pun yang lain. Mereka sepenuhnya ingin merasakan hadiratNya menjadi lebih nyata, lebih jelas ketimbang apa pun. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu Sa’id bin Abi Al-Khair #5 - 3 October 2025
- SYAIKH ABU SA’ID BIN ABI AL-KHAIR #4 - 26 September 2025
- Syaikh Abu Sa’id bin Abi al-Khair #3 - 19 September 2025