Satanop & Marlina

assets.artprize.org

Satanop menatap Marlina. Marlina menatap Satanop. Adzan maghrib hampir tiba.

“Aku pernah memelihara babi. 20 tahun yang lalu. Membersihkan pantatnya, mengangkat tahinya, sampai mengantar makhluk-makhluk itu pada batas akhir takdir semestinya bagi seekor babi: mendorongnya ke atas truk, untuk dibawa ke tempat penyembelihan. Aku tidak pernah menggorok lehernya. Itu bukan bagianku. Kau tahu, bau kandang babi itu lebih busuk dari bangkai anjing.  Bukan, bukan babiku tentu saja. Babi punya orang. Dengan cara itulah, aku mengenal Tuhan.”

“Ya memang. Memang anjing. Selalu harus ada aroma anjing di mana-mana. Dan itu bukan masalah.”

“Sebentar. Kamu sudah gosok gigi? Aku paling tidak tahan dengan bau mulut dari gigi yang belum digosok.”

“Itu kan duluuu, Sayaaang. Sekarang bukan Satanop yang dulu. Pandanglah mataku, sini, lihat baik-baik. Ayahmu itu, bukan laki-laki yang baik. Itu pasti. Dia juga suka kelayapan ke mana-mana. Itu laki-laki ya, ayahmu itu ya, dilihat dari dandanannya saja sudah terlihat bejat. Perempuannya pasti di mana-mana.”

“Tidak akan terjadi masalah. Pegang kata-kataku, ya: tidak akan terjadi masalah dengan keluargamu. Ya? Oke?”

“Setan! Sudah kubilang jangan gigit.”

“Nggak, nggak, nggak apa-apa kok. Cuman kaget, ya, hahahaha. Sini Sayang, naah, jangan ngambek gitu doong. Ya Allah, kulitmu memang bagus. Pantatmu juga bagus.”

“Nggak usah pake pelumas. Pake ludahmu saja.”

“Ya Allah.”

Adzan maghrib tiba. Suara pelantang merek toa dari puluhan masjid berteriak serentak. Langit bergetar dengan lengkingan azan di mana-mana. Angin berahi. Desisan AC. Parfum mahal menguar dari baju-baju celana dan beha yang dilempar. Kasur seprai putih bantal putih gorden motif batik bunga kacapiring. Satanop membanting Marlina. Jam tangan Satanop masih menempel. Marlina mencakar dan melumat Satanop. Napas memburu. Nungging. Telentang. Tengkurap. Njekangkang. Irama adzan menggoyang-goyangkan pantat Marlina, berputar dan menjepit, mundur-meregang mundur-merapat. Banjir peluh di leher Satanop, bilang “orrhk… orrrkhk…” mulut muncrat berleleran liur. Menjulur-julur lidahnya, menjilat mendengus mengingat suara binatang babi yang menubruk-nubruk liang pantat betina waktu itu, waktu zaman dahulu kala. Waktu ia bilang Tuhan itu haram jadah. Tuhan itu babi karena melempar nasibnya ke kandang babi.  “Babi-babi itu, orrrrkhk, babi-babi itu….”

“Bapak jangan bilang begitu. Jijik.”

“Bapak jam tangannya dicopot!”

“Bapak, ini lututnya sakit! Ouh, ouh, Bapak kayaknya perlu tisu. Bapak sebentar. Bapak copot. Bapak itu ingus. Bapak ini tisu. Ouh, ouh, Bapak jangan cepet-cepet amat.”

“Maaf. Kentut. Nggak sengaja.”

“Jadi Bapak habis ini langsung ke ruang sidang?”

Anjing! Kampret. Air mani Satanop muncrat dan ia menendang tubuh telanjang Marlina: “Kampret. Sudah kubilang tak usah ngomongin sidang. Itu sidang diundur hari Rabu. Bukan hari ini. Oooh Sayang, tidak, tidak. Bukan begitu maksudku. Gini ya, ini sering terjadi kalau pikiranku sedang lucu. Kau mengerti kan, Sayangku? Lihat, sini, sini, nggak usah takut. Naaah, lihat, kulitmu makin bagus dengan keringat semacam ini. Jadi kamu belum sampai? Ya Allah.”

Satanop mendekap Marlina. “Dan jangan lagi kentut meskipun tak sengaja.”

“Bapak galak.”

“Aiiih, Marlina. Marlinaaa… gadis kesayangakuuuu…. Naah, aku bisa nyanyi, kan?” Satanop mengitik ketek Marlina. Perempuan telanjang itu menggelinjang, mengelak dan mengikik. Ia paling tidak tahan dengan geli.

“Bapak tidak seperti waktu di televisi.”

“Sudah bisa tersenyum, kan? Nah, nah, ini, hahahaha.” Marlina melompat. Payudaranya melonjak. Ia hendak menghindar dan meraih baju. Tapi Satanop sigap menangkap pinggang Marlina dari belakang, menghadiahinya dengan ciuman di leher bertubi-tubi. “Sudah, Bapak, sudah. Marlina geliii.”

“Naah, sudah ingat kan sekarang tugasmu? Jangan lupa ya, hari Rabu. Kamu tinggal dandan paling cantik, terutama pada bagian belahan pahamu. Potong rambutnya, dirapikan, jangan jembrong kayak gitu. Pake rok paling pendek. Sudah kusiapkan tempat dudukmu, barisan kedua di depan, posisi tengah. Langsung berhadapan dengan hakim. Semua sudah diatur para petugas di pengadilan. Peranmu sangat mudah, tinggal bidik mata hakim sewaktu ia bicara. Mainkan belahan pahamu. Lampu di depan, meskipun siang hari, akan cukup membantu. Sudah diatur. Semuanya beres. Ingat, kan? Sangat mudah, kan? Sini, aku peluk sekali lagi. Setelah itu mandilah yang bersih. Aku ada janji di kantor partai jam delapan. Wartawan sudah banyak menunggu di sana. Pulang diam-diam lewat belakang, sudah ada yang akan mengantarmu di lorong ke dua, sebelah tangga darurat. Aku akan lewat pintu depan. Mengerti, Sayang?”

“Bapak sudah selesai? Marlina belum sampai.”

“Apa?”

“Marlina belum sampai. Bapak terlalu cepat.”

“Ya Allah.”

***

Kota ini memang kampret. Jalanan macet, debu dan asap mengapung disorot lampu. Gedung-gedung jangkung, trotoar rusak disesaki pedagang kaki lima. Sampah dengan bangkai tikus meringkuk prihatin. Tembok rompal konblok bolong dan puing sisa bangunan. Orang-orang dengan mulut tak bisa diam: nyerocos sana sini, ngomongin ini itu, ini itu, berteriak, “lo tai.. situ yang tai..” saling menunjuk. Kaki-kaki manusia tumpah di mana-mana. Bergerak, bergerombol di depan toko, berdiri nganggur di mulut gang-gang, tertawa terbahak, memaki berkepanjangan. Seekor kucing sehabis digebuk berlari melintas jalan. Gelandangan muda gagah perkasa berpakaian rombeng diteriaki bangsat. Aroma got bikin mual, dan sisa muntah orang mabuk tercecer (semacam nasi basi berwarna kuning emas) diinjak para pejalan dengan satu cipratan menempel pada bawah celana gadis manis yang tengah berlari tergesa sambil melekatkan telepon genggam di telinganya, satu cipratan menempel pada sepatu-sepatu mengkilat, satu cipratan menempel pada sandal-sandal murah bermutu jelek, dan satu cipratan lagi menempel pada rok perawan desa yang hari itu ditipu untuk bekerja pada sebuah salon padahal sesungguhnya akan diperkosa delapan pemuda. Lihatlah lampu-lampu deretan ruko berkerlip-kerlip, bergoyang meniru pantat kuda dalam iklan-iklan. Beberapa pelacur merangsang memamerkan paha mulus dengan setengah payudaranya mendongak melahap langit. Dentuman musik penyanyi dangdut berkoar mengalahkan adzan Isya. Deretan kafe liar memasang tenda dan memasang kursi plastik, –menutup akses para pejalan kaki. Ratusan kendaraan parkir tak ingat akhirat: tak peduli kelakuannya menimbulkan macet di semua ruas jalan. Lalu dengarkan dengan saksama (penjelasan terakhir dari latar kampret yang dituliskan pengarang): “Tak ada kadal hidup di sini, sebab kadal hidupnya di sawah. Tapi ribuan kecoak yang tiarap dibalik got-got mampat dengan gesekan sayap bergemuruh menyanyikan koor lagu sedih, dan lelaki gila yang sering kali mengintip malam-malam, terutama tiap sehabis digebuki satpam lantaran mencuri makanan di sebuah toko,  mengatakan di bawah sumpah demi Allah bahwa, para kecoak itu sesungguhnya sangat menderita.”

Motor dan mobil saling serobot. Suara klakson bertubi-tubi. Lampu merah tak ada gunanya. Satanop, selonjor nyaman di dalam kabin lega Mercedes Benz E-Class dengan pengatur udara meniru temperatur surga yang dipenuhi pepohonan rimbun serta sungai-sungai mengalir tempat keramas para bidadari. Ia telah minum sedikit martini Vermout, minuman tenang yang mengendurkan saraf. Mata Satanop merem-melek, kelamin ukuran kecilnya mengkeret istirahat, napasnya teratur. Ia teringat adegan film dengan tokoh Marlon Brando ketika duduk di mobil Mercedes kuno sehabis membantai belasan orang. Kabin senyap di mobil mewah Satanop, membuat ia makin percaya bahwa seluruh penduduk kota ini memang layak mencium tangannya. Lihat saja, sirene patwal dua polisi negara dengan gaji pegawai negeri golongan 1 berpangkat Briptu, dengan penghasilan sebanyak 1.721.113 rupiah per bulan sudah termasuk tunjangan lauk-pauk dan beragam insentif untuk satu istri dan dua anak: mereka harus berjibaku berjuang keras mengurai kemacetan lalu lintas kota kampret astahiam yang membuat orang sehat bisa mendadak stroke. Seperti jihad fi sabilillah, dua Briptu malang bergaji 1.721.113 rupiah itu menyalakan sirine pada dua motor besarnya, yang masing-masing dilengkapi pelantang toa mini es krim dengan suara cempreng melengking memekakkan telinga: “Minggir Saudara-saudara, pinggirkan kendaraan kalian, ada pejabat negara lewat. Minggir Saudara-saudara, pinggirkan kendaraan kalian….”

“Minggir, Monyet! Ada Kampret mau lewat,” seseorang berteriak, pengendara motor bertubuh gendut yang buru-buru meminggirkan motornya, sambil mengumpat kasar: “Kampret anjing! Polisi buduk, emang ini jalan milik elo?” Sopir-sopir angkot berteriak, sambil meminggirkan kendaraannya lantaran takut digebuk, bersungut-sungut bersuara buruk, “Dasar polisi setan!” Para penumpang angkot ikut bersungut, salah satunya tak tahan meludah, melempar botol mineral dari jendela ke arah datangnya mobil Satanop, “Jalanan macet kayak gini, seenaknya saja elo nyuruh rakyat minggir. Mampus saja elo sono, biar nemenin setan di neraka!” Seluruh doa dan makian busuk yang menggetarkan langit surga, menggoyang arasy tempat Tuhan bersemayam, di sepanjang jalanan dari hotel menuju kantor partai, tentu saja tidak didengar dua polisi abdi negara yang begitu setia kepada perintah atasan. Sedikit pun tak ada suara didengar, sebab kepala mereka dibungkus helm rapat yang tak mungkin mendengar setiap bunyi dengan jelas. Mereka hanya tahu, bahwa hari itu mereka bertugas mengamankan perjalanan seorang pejabat negara: tak boleh ada halangan, tak boleh ada rintangan, segala jenis motor mobil hingga bus harus minggir, semua tanda lalu lintas boleh diserobot, seluruh aturan jalan boleh dilanggar. Titik. Jika ada kendaraan membangkang dan tetap menghalang, gebuk saja pake pentungan karet, —selesai perkara. Mereka juga tak perlu tahu, dan memang sama sekali tidak tahu, kalau pejabat negara yang mereka kawal dari hotel mewah tempat istirahat para pejabat pada saat sekarang ini, ternyata habis enak-enakan ngentot. Mereka hanya bertugas menjaga wibawa, menjaga keamanan, dan menjaga setiap kemungkinan situasi di sebuah pos khusus selama berjam-jam hingga panggilan tugas tiba. Dengan gaji pokok 1.500.000 ditambah tunjangan macam-macam sehingga totalnya hanya 1.721.113 rupiah per bulan, tentu kedua polisi abdi negara itu tidak layak mendapat hinaan serta doa buruk dari ribuan orang yang melihat aksinya sepanjang jalan. Bahkan, Tuhan sendiri ada kemungkinan tak akan tega melihat nasibnya, dan mungkin saja Dia (yang Maha Kuasa) akan menyuruh malaikat mencatat nama kedua polisi tersebut, dan pangkatnya sekaligus, untuk dicadangkan sebagai penghuni surga kelak ketika mereka mati. Sebagai balasan bagi orang-orang yang sabar dan mendapat hujatan tanpa kesalahan.

Adapun nasib rakyat yang wajib berkorban, mengalah kalah dipenuhi kekesalan demi melihat pejabat negara bisa melenggang dengan bebas di jalan raya, mustinya bersikap sabar (begitu kira-kira, saran dari sebuah catatan resmi yang ditulis malaikat), sebab mungkin dalam kesabaran itu terdapat pahala. Terus mengenai Satanop yang kini duduk setengah tertidur dalam kabin Mercedes mewahnya, agaknya ia sempat merasa bermimpi, bahwa dirinya tengah direbus di dalam sebuah panci besar oleh para pengikut setianya sesama pengurus partai. Satanop terkejut dan bangun: sadar bahwa mobil Mercedesnya telah memasuki pintu gerbang bangunan luas Partai Golongan Rakyat.

Beruntung ia sempat mandi, sehingga bau mani yang tadinya menciprat di atas lututnya telah hilang. Kemaluan Satanop yang ukurannya kecil, yang sejak keluar kamar hotel telah mengkeret penuh kenyamanan, juga sudah dicuci bersih dengan sabun sebanyak 4 kali. Berjas hitam gaya presiden Amerika Donald Triumph, dengan dasi warna kuning dan kemeja putih merek Gucci, membuat ia tampil begitu memukau. Turun dari mobil disambut riuh kerubutan wartawan berbagai media, yang langsung berlarian dari teras menyongsong kedatangan Satanop. Tampak dari arah pintu masuk, Yang Mulia Wakil Ketua Partai Golongan Rakyat berlari-lari kesetanan mengikuti langkah para wartawan, kelihatannya Beliau Yang Mulia Wakil Ketua kewalahan menghalau gerombolan nyamuk pers yang sejak maghrib sudah berusaha dihalau. “Saudara wartawan! Saudara wartawan! Konferensi pers akan diadakan secara resmi seusai pertemuan! Tak ada komentar, tak ada wawancara, semua pertanyaan akan dijawab setelah pertemuan.” Kepalanya yang botak (sepintas mirip seorang penulis cerita pendek asal Yogyakarta, Joni Ariadinata), mengilat oleh keringat dan kepusingan menghadapi situasi. Ia berlari seperti larinya anjing mini, berteriak gawat bahkan dengan panik menangkap tangan salah seorang reporter perempuan yang diketahui wajahnya cantik jelita. Reporter cantik jelita menepis tangan Yang Mulia Wakil Ketua, dengan ketus ia bilang: “Pelecehan seksual!”

Astaga. Satanop teringat lagi adegan film yang dibintangi Marlon Brando. Dengan gagah perkasa ia berdiri, tegak sempurna, tepat di tengah para wartawan. Keributan langsung terhenti. Satanop mengacungkan tangannya sambil tersenyum maut kebapakan, mirip senyum Marlon Brando sehabis memotong jari kawannya dengan pisau tumpul: “Kalian mau tanya apa, hem?”

“Betulkah Yang Mulia….”

“Betul! Tidak ada keraguan. Yang Mulia Ketua Partai, yakni saya sendiri, sangat jelas telah tertangkap tangan, secara langsung, oleh Aparat Densus Anti Korupsi sewaktu menerima sogokan sebanyak 20 miliar rupiah untuk proyek pengadaan jutaan kartu pelajar dan mahasiswa di 38 provinsi. Tidak ada keraguan soal itu. Tidak ada rekayasa, ya? Semuanya benar, dan proses penangkapannya pun telah sesuai prosedur serta koridor hukum yang berlaku. Saya memang korupsi.”

“Lho, kok. Begini Yang Mulia….”

“Tepat! Jika ada pihak-pihak tertentu yang mengatakan bahwa itu adalah rekayasa politik, yang katanya menyangkut persaingan partai dalam pemilihan presiden tahun 2022, maka saya nyatakan itu tidak benar. Apalagi saya dengar, ada tuh yang namanya Eni Burjo Burjana, yang konon katanya adalah pengacara pintar, menyebut kasus ini sebagai kriminalisasi. Jelas itu keliru. Dia hanya cari muka, biar saya memilih dia untuk menjadi pengacara saya. No, no, saya tidak akan memilih pengacara bullshit yang suka cari muka. Fakta yang benar adalah, saya memang betul-betul tertangkap tangan melakukan korupsi, menyalahgunakan wewenang, memperalat jabatan, untuk memperkaya diri sendiri. Saudara tahu, uang itu rencananya akan saya belikan apa? Mobil baru, bahkan sudah inden langsung dari Italia, kalian tahu lah itu mobil merek apa. Tentunya mobil Ferrari, kan? Tebakan yang tepat! Warna kuning, itu warna kesukaan saya. Nah, begini ya, tindak kejahatan yang saya lakukan itu, harap Saudara-saudara ketahui, dalam Undang-Undang Anti Korupsi, akan diancam hukuman mati.”

“Sebentar, Yang Mulia,” wartawan cantik jelita dari televisi Channel 001 melompat maju. Ia dari tadi hanya melongo. Kaget dengan runtuhnya seluruh dugaan yang berlangsung tiba-tiba, dan mendadak pusing bagaimana nanti harus memainkan berita. Reporter jelita, demikian dikisahkan dalam dialog ini (menurut versi asli yang dituturkan pengarang), setelah berhadapan mata dengan mata, dan memandang ngeri raut wajah Satanop, ia hanya mampu nyelekop dalam dua kalimat: “Yang Mulia kok ngomongnya aneh, sih? Ini kami semua kaget, loh….”

Jelas semua memang terkejut. Si Botak Yang Mulia Wakil Ketua Partai saja, sebegitu kagetnya dengan manuver Satanop, hingga beliau nyaris pingsan. Ia memegang kepala botaknya, mendadak mual dan pusing. Dalam hatinya yang suci ia berkata, lhadalah ee tobil, kesurupan iblis dari mana Yang Mulia Ketua Partai ini? Maka susah payah ia menubruk kerumunan, menggunakan kekuatan fisiknya yang tidak seberapa, dengan cara mendorong dan menyikut paksa, “Sebentar, Saudara wartawan, sebentar. Seluruh pertanyaan akan dijawab….”

“Akan dijawab sekarang!” Satanop menukas dengan gagah. Dalam kepalanya Marlon Brando tengah bermain mencabut pistol kaliber 32 mm, memutar-mutar gagangnya dengan asoy, lalu menembak batok kepala para pejabat tinggi negara buncit yang selama ini ia pelihara. “Saya Satanop. Akan duduk dengan tegak di kursi tersangka pada hari Rabu. Tidak akan kabur ke Arab Saudi. Tidak akan minggat ke Malaysia. Kalian datang ke pengadilan ya, jangan lupa catat. Catat baik-baik. Hari Rabu.”

“O ya, satu lagi. Mengenai isu bahwa hampir semua anggota parlemen menerima bagian, saya berani menjamin bahwa itu benar.”

Semua orang terdiam. Satanop maju melangkah, para wartawan mundur memberi jalan. Dengan penuh ketakjuban, mereka bubar. Menurut bocoran info dari pengarang cerita ini, yang dibisikkan dengan sedikit serius, besok harinya tidak akan ada satu pun media yang berani memuat berita tentang pernyataan Satanop. Bahkan pengarang cerita sontoloyo yang wajahnya tidak ganteng-ganteng amat ini, berani bersumpah: “Demi kadal buntung. Demi asu bunting. Jika pernyataan Satanop sampai dikutip dan diberitakan media, maka separuh jumlah anggota parlemen, dan beberapa pejabat penting negara, dipastikan akan ramai-ramai bunuh diri.”

Nah, siapa yang berani melawan alur cerita yang dituturkan oleh seorang pengarang?

***

Malam telah larut. Kota mulai sepi. Jalanan lengang tanpa penghalang. Tak ada sirene patwal sebab dua polisi malang bergaji kecil itu sudah dipulangkan. Mobil Satanop meluncur mesra penuh kemenangan. Di dalam kabin Mercedes lega, Satanop tersenyum, –ia mencoba untuk tidur. Tak ada pembicaraan penting dalam rapat pengurus partai sore hingga malam ini. Kecuali sedikit keributan karena bendahara partai, dengan sengaja telah berbohong. Ceritanya, pada pertemuan bulan lalu, bendahara berjanji akan membawakan oleh-oleh minuman kategori high class, Bombay Sapphire Revelation. Konon harganya bisa mencapai 200.000 USD di pasaran resmi dunia, –hasil perjalanan bendahara selama dua minggu di Paris. Tapi kenyataannya, ia tak membawa apa-apa. Sekretaris partai (dengan gaya sindirannya yang cerdas), mengatakan bahwa bendahara pada malam ini mulutnya kacrut, —hanya manis di mulut doang, tapi realisasinya kagak ada, alias asbun, asal bunyi. Hahahaha. Semua pengurus elite tertawa, dan ikut melafalkan kata “kacrut” dengan mulut sedikit monyong. Sebagai orang Jawa, yang sangat paham filosofi arti kacrut, bendahara tentu saja tersinggung. Ia naik ke atas meja, dan mengancam akan membuka “angka tertentu” dari daftar suap kepala daerah “anu” yang menurut catatannya yang teramat teliti, tidak menyetor bagian “tertentu” untuk kebahagiaan bersama. Tentu saja, soal ancaman membuka hal-hal tertentu, itu adalah prinsip dasar yang tak boleh dilanggar. Ujian dari ketegasan seorang kader, adalah justru ketika menghadapi persoalan kecil. Jika persoalan remeh saja ia gampang terpancing, maka bagaimana ketika menghadapi persoalan besar. Soal kacrut, asbun, dan mulut monyong, seluruhnya hanyalah permainan lucu yang membuat suasana gembira. Sejenis guyonan yang tak perlu diambil hati. Bukan dimaksudkan untuk sebuah penghinaan. Tidak sama sekali. Maka demi menyelamatkan insiden yang diprediksi akan berbahaya di masa depan, Satanop, sebagai Yang Mulia Ketua Partai (yang kebetulan juga merangkap sebagai Ketua Parlemen Negara), akhirnya dengan terpaksa harus berbisik pada Wakil Partai, bahwa bendahara kacrut sejenis ini, dalam waktu dekat harus segera diganti. “Pilih kader yang betul-betul teguh dan tegas!”, begitu nasihat Satanop kepada wakilnya, yang dibisikkan dengan sangat perlahan.

Selain insiden kecil itu, tak ada hal hebat yang perlu diceritakan. Seperti biasa, ia memulai pertemuan dengan ucapan Assalamu’alaikum, dilanjutkan dengan kalimat puji syukur atas rahmat Tuhan, bla-bla-bla, hingga nasihat inti Ketua Partai kepada segenap kader terbaik yang berkumpul di ruangan ini. “Agar kita semuanya meningkatkan kewaspadaan dan senantiasa hati-hati,” begitu pesan Satanop diakhiri dengan mengacungkan  kepalan tangan ke udara, dan dengan penuh semangat 45 meneriakkan kata “merdeka” (diikuti oleh semua kader yang dengan serentak mengucapkan kata “merdeka!”). Selanjutnya, kalian tahu sendiri lah, bahwa Satanop akan mengeluarkan semacam “pancingan”. Nah, soal “pancingan” ini, meskipun tidak penting diceritakan, tapi ada sedikit kelucuan yang membuat ia terkekeh-kekeh.

Jadi begini, pada dua minggu lalu, sehari setelah tertangkap tangan menerima suap 20 miliar, ia pergi ke Berlin. Meskipun berstatus sebagai tersangka, karena ia pejabat tinggi negara (ingat, Satanop adalah Ketua Parlemen Negara), maka ia menerima perlakuan khusus dengan tidak menempatkan dirinya di sel tahanan. Bahkan ia masih bisa bebas untuk pergi ke mana saja, –termasuk pergi ke Berlin tentunya. Di sanalah, di salah satu sudut kawasan Alexanderplatz, Satanop menemukan keajaiban: Tag Heuer seri Monaco V4! Ini betul-betul gila, karena jam tangan ini hanya ada 150 unit saja di seluruh dunia, dengan harga resmi pada peluncuran pertamanya, 80.000 USD. Dan dia menemukannya, di sebuah toko purna jual untuk barang-barang berkelas, dengan harga hanya separuhnya! Gilaaa, ini benar-benar sebuah penemuan luar biasa yang akan sanggup membuat ngiler para pengurus partai. Bukan persoalan harga tentu saja, tapi ini soal penemuan, karena tidak sembarang orang bisa menemukan sesuatu yang langka. Kalau soal harga sih, sepatu Testoni yang ia kenakan saja, harganya sudah 38.000 USD, dan Satanop masih menyimpan dua koleksi Air Jordan Silver Shoes yang masing-masing satu pasang sepatu harganya mencapai 60.000 USD, –sepatu simpanan yang khusus dipakai pada pertemuan-pertemuan tidak resmi. Itu baru sepatu, lha kemeja, jas, dasi, serta pakaian dalam, termasuk kaos kaki Vicuna dengan harga 16 juta rupiah?

Jadi sekali lagi, ini bukan persoalan harga, Bung! Nah, ketika “pancingan” barang langka itu dikeluarkan, benar saja dugaan Satanop, semuanya tercengang, dan serentak mereka mengatakan: “Gilaaaa, Yang Mulia Ketua memang selalu menjadi nomor satu!” Hahahahahaha.

Begitulah yang dinamakan kebahagiaan. Tuhan itu kadang lucu, karena Dia, dengan kasih sayangNya yang maha luas, selalu saja bisa membuat hal-hal kecil sederhana (dan sering kali tak terduga), bisa membuat gelak-tawa dan kegembiraan luar biasa. Terima kasih, Tuhan!

Sekretaris Partai, seluruh Ketua Bidang, Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal, Juru Bicara, sebagian Dewan Pakar, dan seluruh anggota yang hadir, semuanya terlihat antusias, dan memuji-muji Ketua Partai sebagai “orang tak terkalahkan”.  Satanop tak bisa memungkiri sebutan rendah hati ini, dan menepuk setiap pundak kader yang menyebut dirinya hebat, dengan cara paling simpatik. Ia merangkulnya sambil berbisik, “ada proyek di kawasan Timur, mau ikutan nggak?”. Maka pada peristiwa selanjutnya (meskipun sekali lagi, itu semua adalah hal sangat biasa yang tidak penting diceritakan), terjadilah hal-hal yang dengan mudah bisa ditebak bahkan oleh orang yang paling awam sekalipun, yakni: masing-masing kader terbaik akan mengeluarkan sesuatu (yang mereka sebut dengan istilah umpan), untuk memancing kepenasaranan yang lain.

Begitu riuh dan ramai. Saling mengejek, saling memuji, kemudian saling merangkul sambil tertawa terbahak-bahak. Pakaian, perhiasan, rumah, tanah, mobil, serta tempat destinasi terbaik di seluruh dunia, sudah sejak lama bukan lagi menjadi topik paling menarik. Istilahnya kerennya, “itu semua penting, dan boleh dikatakan nomor satu, tapi tingkat kehebatannya sudah menjadi nomor sekian”.  Tapi misteri dari hal tak terduga, itulah yang selalu dicari untuk diperdebatkan antara mudharat dan manfaat kenikmatannya, misalnya: sejauh mana efek ganja bisa memengaruhi kecerdasan, kenapa obat ini bisa membuat ukuran burung yang kecil (burung di sini, maksudnya kontol) bisa mendadak menjadi besar, ada pil yang katakan saja namanya C bisa membuat perempuan lupa apa yang dilakukannya selama 24 jam. “Lah, jadi selama 24 jam itu, bisa kita apaapain dong, dan mereka sama sekali tidak ingat?” “Sama sekali tidak ingat. Hal yang mereka ingat, hanya peristiwa sebelum meminum pil itu. Ada lost memory, hilang ingatan dalam jangka waktu tertentu, yakni diprediksi berlangsung selama 24 jam.” “Subhanallah, keajaiban Tuhan yang betul-betul nyata dan luar biasa di alam raya ini. Di mana bisa mendapatkan pil itu?”

Gara-gara isu pil C inilah, yang dikhawatirkan Satanop akan menggeser kewibawaan Tag Heuer seri Monaco V4, maka ia harus berkeliling untuk mengingatkan, bahwa pembicaraan soal pil setan ada baiknya dilakukan dengan lebih hati-hati. Beruntunglah (angin keberuntungan memang selalu saja datang di saat-saat situasi genting), tiba-tiba di sudut sayap Timur terjadi kehebohan. Para kader terbaik, hampir sepertiganya bergerombol sambil cekikikan menunjuk-nunjuk pada layar laptop Jubir Partai, yang dengan bangga memperkenalkan simpanan terbarunya. “Nella Darti. Janda beranak dua. Sudah dengar namanya, kan? Pasti. Pewaris tunggal Group Arto, kalian pasti tahu berapa aset yang dimiliki perusahaan itu? Bla-bla-bla,” menggebu-gebu Sang Jubir menjelaskan. Astahiam semlowono, tapi bukan penjelasan itu yang menjadi materi pokok sehingga ramai saling cekakak. Fakta pantat besar Nella yang tengah nungging di depan hidung Jubir Partai itulah, yang membuat suasana jadi seronok. Setan insyaf! Itu pantat berputar dengan kecepatan rendah, mempermainkan hidung Sang Jubir entah apa maksudnya. Hampir semua laki-laki normal (meskipun usia para kader elite di ruang itu rata-rata sudah dalam kategori bau kuburan), tentu saja akan ngiler, kepengen, dan untuk mengatasi kengilerannya, mereka tertawa terbahak-bahak. Sungguh kasihan sebetulnya. Salah satu kader yang duduk sebagai Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, saking nggak tahannya melihat video putaran pantat setan betina yang menurutnya cukup spektakuler (terutama mengingat ia memang sangat doyan pantat besar, sementara istrinya sendiri yang sudah tua dan mulai peyot itu, sejak muda ditakdirkan memiliki pantat tepos alias kempes), ia langsung clingak-clinguk mencari petugas khusus (istilahnya kurir setia pembantu kader), dan berbisik-bisik tak sabar untuk segera memanggil “Si Pantat Besar” ayam kampus sebuah universitas terkemuka yang dalam seminggu ini telah menjadi langganannya (dalam seminggu, ia telah memanggil bidadari pantat besar itu sebanyak 13 kali, –bolak-balik, bahkan dalam sehari bisa dipanggil empat kali), “Segera jemput ke sini, ke ruangan saya, dalam 15 menit!” Demi Tuhan, ia kepanasan mondar-mandir dan merasa betapa kontolnya begitu sesak, gelisah, dan situasi semacam itu terus terang sangat menyebalkan. Lalu lihatlah, wajah-wajah para penonton tua bangka yang hampir masuk liang kubur itu, setelah tertawa terbahak-bahak, muka mereka langsung memerah seperti kulit anak babi lantaran adegan selanjutnya: “Djiancuk! Susunya besar sekali!” “Hasssyyyiuuuuu….” Semua mata melotot, terbelalak tak percaya. Sementara Sang Jubir dengan kalem dan santai, berlagak seperti Don Juan berhati lembut penuh kedamaian, ia berkata: “Para peserta sidang partai yang terhormat, mohon maaf, karena untuk adegan selanjutnya adalah adegan dewasa, yang sepertinya tidak begitu pantas dipertontonkan di ruang utama gedung pertemuan mulia ini, maka dengan sangat menyesal, saya stop sampai di sini. Ada bagian-bagian aurat yang begitu agresif dan sangat reaksional, yang saya khawatir kalau fakta dari rekaman ini terus diputar, akan mempengaruhi kinerja saudara-saudara sekalian. Sekian dan terima kasih.”

Jangkriiik. Semua berteriak kecewa, diakhiri dengan gelegar tawa berkepanjangan. Sang Jubir mengangkat tangannya ke udara, “Merdeka!” teriaknya lantang. Serentak, teriakan Sang Jubir disambut dengan yel yang sama, “Merdeka!!”. Sungguh sebuah perjamuan kudus yang begitu gegap gempita dengan kebahagiaan. Dan Satanop, yang pada saat itu terpaksa ikut mengangkat kepalan tangannya ke udara, dan bersama-sama meneriakkan kata “merdeka”, langsung maju ke tengah kerumunan. “Baiklah Saudara-saudara sekalian. Kalau tadi saudara Jubir Partai sudah memperlihatkan simpanan berliannya yang begitu panas dan menggoda, seorang janda kalau saya tak salah dengar?” Satanop memandang ke arah Jubir. Sang Jubir mengangguk dan menjura seperti sikap seorang pendekar pedang dalam film-film samurai. “Dan sudah punya dua anak, betul?” Satanop kembali memandang ke arah Jubir Partai, dan Jubir kembali membenarkan. “Usianya saya taksir yaa antara 32 sampai 38. Betul? Baiklah, marilah kita jadikan data itu sebagai fakta yang tak terbantahkan. Janda, punya dua anak, dan usia antara 32 sampai 38. Pertanyaannya, berapa tahun lagikah pantat yang menjadi aset bernilai itu akan bertahan? Lima tahunkah, atau tujuh tahun? Baiklah, saya tahu jawabannya, bahwa itu bukan urusan kita, toh paling kita akan pake aset itu maksimal empat bulan saja, atau taruhlah setahun. Sebab buat apa harus sabar mengurus satu pantat kalau masih ada ribuan pantat di negeri ini, kecuali itu pantat istri-istri kita, iya kan? Iya nggak? Jadi begini Saudara-saudara, ha-ha-ha-ha, jangan tegang begitu dong, ini hanya intermeso saja. Tentu saya suka dengan pantat Nella Darti, dan kalau boleh, sekali-sekali bisa dong dikandangkan barang 15 menit di ruangan saya, ha-ha-ha.”  Semua tertawa. Sang Jubir tertawa. Bahkan Sekretaris Jendral, yang akhirnya ikut bergabung lantaran tertarik dengan keriuhan gegap gempita, langsung nyelekop: “Saya daftar di urutan ke dua!” Kader-kader lainnya berebut mengacungkan jari: “Kita juga mau dong, hahahaha.”

“Oke. Saya tegaskan dengan sungguh-sungguh, Nella Darti itu memang dahsyat. Setuju? Tapi marilah kita bandingkan dengan berlian yang baru saja saya temukan, tepatnya delapan hari lalu,” Satanop memberi isyarat pada salah seorang kader yang berdiri paling dekat, meminta tolong memanggilkan teknisi untuk menghubungkan telepon genggamnya dengan proyektor.

“Nah, mari kita lihat bersama-sama. Anggaplah ini nobar film layar lebar yang diringkas dalam durasi waktu dua menit,” Satanop menyalakan telpon genggamnya, memilih menu video, dan….

Astahiam Astagina…!” seluruh mata terpana. Di layar lebar ruang sidang berukuran besar, muncullah sosok gadis muda usia belia, telanjang dengan seluruh keindahan sempurna yang tak mungkin bisa dibandingkan dengan kecantikan perempuan mana pun yang pernah mereka lihat di dunia fana. Mata yang lebar dengan alis panjang alami, pipi ranum, bibir merekah dengan warna merah delima tanpa olesan lipstik, hidung seperti pahatan patung seorang dewi, rambut berombak hitam legam, tangan menggantung seperti keindahan lengkungan busur panah, bahu lentur ditopang struktur tulang tegak menyangga dua payudara muda yang mencuat begitu segar, pinggang yang ramping, pantat lebar, serta paha dan bentuk kaki jenjang dalam proporsi yang sulit digambarkan lewat kata-kata. Betapa kulitnya berkilau cemerlang dengan paduan warna kuning gading serta hijau samar pada urat-uratnya yang halus menerawang. Di tengah belahan pahanya, menghampar rambut vagina yang tidak begitu lebat tapi berkilau sehat, dan tonjolan daging kecil itu, yang mengintip di antara rekahan garis vertikal, bisa menerbangkan imajinasi kenikmatan tak terperi bagi siapa pun yang melihatnya.

Gila. Ini memang betul-betul gila. Seluruh ruangan tiba-tiba senyap, hampir selama dua menit. Tak ada sedikit pun suara. Dan satu-satunya suara yang muncul setelah dua menit berlalu dengan sunyi, adalah suara Satanop. “Itulah Saudara-saudara. Berlian yang saya temukan delapan hari lalu. Masih muda, bahkan bisa dikatakan sangat muda. Namanya Marlina. Gadis itu, delapan hari lalu masih perawan. Tentu saja, jangan tanya sekarang, karena sejak seminggu yang lalu, gadis muda itu telah dengan begitu tekun belajar menikmati kenikmatan berhubungan seksual bersama saya setiap sore, di sebuah kamar hotel. Marlina masih duduk di bangku SMA, kelas dua. Ia akan hadir pada persidangan hari Rabu. Saya sengaja mengundangnya ke ruang sidang, untuk sebuah tugas penting yang mohon maaf, masih harus saya rahasiakan.”

“Baiklah, sebagai Ketua Partai saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan kesetiaan saudara-saudara sekalian, yang telah mengorbankan waktu untuk datang setiap bulan di gedung ini, untuk merayakan dan membicarakan seluruh persoalan negara, sebagai tugas pokok yang sama-sama kita emban. Semoga semua upaya dan darma bakti kita selama menunaikan tugas, sesuai dengan amanat partai yang kita dirikan bersama, selalu mendapat balasan pahala kebaikan dari Tuhan. Semoga Tuhan juga senantiasa memberi kita berbagai macam kebahagiaan dan kegembiraan, karena bagaimanapun, kita adalah termasuk sebagian kecil dari manusia-manusia terpilih, manusia-manusia istimewa, yang lahir di antara ratusan juta jumlah rakyat kita di negeri ini.”

“Seperti biasa, pertemuan penting bulanan ini akan kita tutup dengan menikmati makan malam. Berbagai macam sajian mewah telah terhidang di ruang makan, juga beragam minuman, dan juga tidak lupa: cerutu. Ada pasokan cerutu Kuba, dari seorang pengusaha yang proyeknya baru saja diloloskan oleh parlemen. Juga mungkin sedikit hiburan musik, dengan beberapa penyanyi cantik yang kita sama tahu, boleh digunakan sehabis makan malam dan menikmati minuman. Selamat malam Saudara-saudara. Selamat menikmati acara penutup dari pertemuan yang bermanfaat ini. Assalamu’alaikum. Salam sejahtera.”

Itulah kira-kira, rangkaian peristiwa yang sesungguhnya tidak penting diceritakan (sebagaimana di awal telah disebutkan berkali-kali oleh pengarang cerita ini), tentang perjalanan Satanop setelah bersenggama habis-habisan dengan Marlina di sebuah hotel. Sewaktu ia pergi ke gedung partai, kemudian pulang dengan nyaman, dan berusaha untuk tidur di kabin Mercedesnya yang nyaman. Sewaktu acara penutupan, makan malam dan minum-minum, kemudian beberapa di antaranya mabuk, lalu seperti yang bisa diduga sebelumnya: para penyanyi khusus yang didatangkan dengan pesanan servis khusus itu (dan ini masih disaksikan Satanop) akhirnya digilir ramai-ramai secara brutal tapi terkendali oleh sebagian kader yang memang sudah ngaceng sejak penayangan video simpanan Jubir dan gambar Marlina. Itu nggak masalah, toh mereka, para penyanyi cantik itu semua ngerti situasinya, sudah paham kebiasaan karena memang telah langganan berkali-kali, dan poin terpenting: mereka dibayar dengan harga sangat mahal.

Bisa dikatakan, bahwa selama pertemuan berlangsung, dari awal insiden keributan wartawan, hingga pembukaan, acara inti, dan penutupan, tak ada satu orang pun yang berani menyinggung soal kasus persidangan Satanop, —termasuk Wakil Ketua Partai yang pada awalnya merasa khawatir. Saat semua kader berpelukan untuk pamit pulang, dan berjanji bahwa bulan depan pasti akan datang kembali, ketika Satanop memeluk Wakil Ketua Partai, pada saat itulah Wakil Ketua Partai mengatakan dengan terus-terang: “Saya percaya dan yakin terhadap seluruh rencana, serta semua strategi yang Bapak Ketua jalankan. Termasuk pernyataan blak-blakan di depan para wartawan. Saya yakin, Pak Ketua akan bebas di pengadilan nanti.”

Lega. Sempurna. Di kabin mobil Mercedes, 10 menit menjelang sampai pintu gerbang rumahnya yang besar, Satanop masih terus mencoba tidur. Tapi ia hanya terkantuk-kantuk di antara ambang sadar dan mimpi. Betapa damai dunia ini, betapa tenang alam semesta, tanpa gangguan lalu lintas di jalanan kota yang lengang. Udara di luar mulai dingin, dan jam menunjuk pukul dua dini hari. Mesin lembut Mercedes melaju semakin kencang di aspal mulus.

***

Datang dini hari, Satanop langsung merebahkan badannya di samping istri tercinta, Maemunah, –dan dengan lembut ia membangunkan perempuan itu. Maemunah terbangun, dan sigap memeluk Satanop, menggesek-gesekkan tubuhnya, lalu menerkam mulut suami tersayang. “Ceritakan kegiatanmu hari ini, Sayang. Apa ada gadis cantik lagi yang kautiduri?”

Bisa dibilang, Maemunah adalah perempuan paling setia, yang menemani seluruh karier Satanop dari mulai miskin (sebagai penjaga kandang babi), hingga kemudian dipertemukan oleh salah seorang pengusaha sekaligus politisi, yang entah kenapa begitu tertarik dengan gaya dan penampilan Satanop. Hingga akhirnya, Satanop bersama istri tercinta, diangkut ke rumah pengusaha yang sekaligus politisi itu, untuk sama-sama menempati sebuah rumah besar, –menjadi bagian dari keluarga, membantu apa saja. Dari situlah karier Satanop mulai dibangun: kepribadiannya yang menarik, berhasil memikat hampir semua tamu-tamu yang datang ke rumah itu. Dengan berbagai keajaiban, disertai perjuangan teramat keras, akhirnya Satanop menjadi seperti sekarang ini. Menjadi seorang tokoh yang cukup disegani berbagai kalangan.

Maemunah tidak cantik, bahkan bisa dibilang ia dianugerahi wajah kurang beruntung, alias jelek. Ditambah ia sudah tua. Badan mulai kendur, susu menggantung, dan lipatan leher mulai terbentuk seperti kelaziman yang berlaku bagi perempuan yang memasuki usia di ambang nenek-nenek. Dari vagina Maemunah, sudah keluar delapan anak, —empat di antaranya sudah menikah. Dari empat anak yang sudah menikah, Satanop dan Maemunah dianugerahi tujuh cucu. Bisa dibayangkan, bagaimana perempuan yang sudah mengeluarkan delapan anak dari vaginanya, dan dari delapan anak itu empat di antaranya sudah menikah, lalu dari empat anak itu masih mengeluarkan lagi anak sebanyak tujuh. Bisa dibayangkan bagaimana peotnya Maemunah.

Tapi dasar pengarang sontoloyo, mestinya ia menaruh simpati terhadap perjuangan Maemunah (yang sudah sepantasnya digambarkan secara baik mengingat kesetiaan Maemunah yang telah terbukti mendampingi Satanop dalam suka dan duka, hingga lahir delapan anak dan tujuh cucu), yakni dengan cara menutupi seluruh aib dan tabiat buruk Maemunah, dan hanya membuka sisi baiknya semata. Sebab setiap orang pasti memiliki sifat baik, dan juga sifat buruk. Pengarang yang berakhlak mulia, harusnya bisa memilah dengan bijak, mana karakter buruk yang pantas disembunyikan dan mana karakter baik yang mestinya ditonjolkan. Tapi apa yang bisa diharapkan dari pengarang jenis sontoloyo seperti dalam kisah ini, yang sejak dari awal memang sudah berlaku tidak adil. Kasihan Maemunah sebetulnya. Kasihan juga Satanop.

Maemunah, tentu, bagaimanapun adalah istri pejabat, yang sejak dilimpahi kekayaan tak terbatas, berupaya mati-matian merawat tubuhnya. Ia memang dianugerahi wajah jelek, dan bentuk tubuh yang gendut pathing pechotot dengan gelembung-gelembung lemak tak beraturan di sana-sini, tegasnya, di samping jelek ia juga gembrot. Tapi apa yang tidak bisa diubah dengan uang? Sedot lemak, diet, bahkan hingga operasi plastik terbuka bagi seluruh orang kaya di muka bumi. Maemunah paling paham, bahwa Satanop, sejak miskin dahulu kala (ketika lelaki itu masih berstatus penjaga kandang babi), telah dianugerahi Tuhan nafsu berahi yang sungguh astahiam, –begitu mengerikan. Satanop tak pernah puas menyetubuhinya, siang dan malam. Ia bahkan kasar, dan sering kali bilang, “meskipun istri jelek dan gembrot, yang penting punya lubang.” Dasar kampret, Maemunah awalnya memang sering sakit hati.

Tapi waktu mengasahnya, dan juga mengajarinya, untuk menikmati. Maemunah belajar dengan cepat, menyerap seluruh pelajaran penting setiap hari (yakni ketika disetubuhi berulang-ulang dengan cara kasar dan brutal), dari yang tadinya pasif, berubah menjadi aktif. Ia pada akhirnya menemukan sumber kenikmatan terpenting dari persenggamaan brutal, menemukan cara untuk melatih nafsunya agar senantiasa berkobar. Sejak ia menemukan cara untuk menggali kenikmatan jasmaniah tak terbatas itulah, Maemunah berubah total menjadi lawan imbang Satanop. Maemunah dan Satanop sama-sama haus seks, sama-sama ganas, dan sama-sama pereguk kenikmatan sejati. Bahkan hingga tindakan paling ekstrem, yakni ketika pada suatu hari, Maemunah meminta Satanop untuk menyetubuhi perempuan lain, dan ia ingin menyaksikannya. Sungguh sebuah revolusi mengagetkan bagi pihak Satanop, dan sebuah tindakan tak logis bagi pihak Maemunah. Tapi begini logikanya: Satanop adalah laki-laki kaya yang bisa dengan mudah mendapatkan perempuan di mana saja, termasuk, dengan mudah bisa membuang Maemunah ke tempat sampah. Sebagai laki-laki kaya, dan juga disegani, maka sudah tak mungkin lagi Maemunah bisa mengontrol ke mana Satanop pergi, apa yang diperbuat Satanop di luar sana, dan lain sebagainya. Mengharap kejujuran Satanop juga hal yang sungguh muskil, karena Satanop adalah laki-laki paling licin yang pernah dikenalnya di muka bumi, dan selalu tak pernah bisa diharapkan bertindak jujur. Maka dibuatlah semacam pelajaran untuk melatih cemburu menjadi keuntungan dan sekaligus keamanan pribadi. Nyatanya, Maemunah berhasil mendapat dua keuntungan itu sekaligus. Kepuasan berahi, serta keamanan posisi istri. Saat ia menyaksikan suaminya menyetubuhi perempuan lain, gairahnya tiba-tiba ikut berkobar. Begitu Satanop usai menyemprotkan hajatnya di lubang perempuan lain, ia menjadi buas tak tertahankan, dan langsung menubruk Satanop, minta disetubuhi berulang-ulang. Sejak saat itulah, ia selalu bergairah jika Satanop pulang larut malam, lebih-lebih ketika di tubuh Satanop tercium wangi parfum perempuan yang berbeda-beda. Maemunah selalu meminta Satanop bercerita, siapa saja perempuan hari itu yang memuaskan berahinya, berapa kali ia melakukannya, dan tingkat kenikmatannya seperti apa. Maemunah selalu bergairah setiap kali Satanop bercerita, –lebih-lebih jika ada bukti rekaman video serta foto.

Begitulah kebejatan Maemunah, kalau hal semacam itu hendak dikatakan bejat. Dan seperti dini hari tadi, ketika Satanop membaringkan tubuhnya di sisi istri tercinta, Maemunah langsung merangkul Satanop, dan memintanya untuk disetubuhi. Maemunah memang sudah tua, bahkan di ambang nenek-nenek, tapi entah kenapa, tubuh peot Maemunah selalu harus menjadi lubang muncratan terakhir bagi air mani Satanop, —dan kebiasaan bertahun-tahun itu mampu membuat Satanop tidur lelap selelap-lelapnya, seperti bayi yang kekenyangan sehabis meminum susu ibunya.

***

Ratusan bunga mawar, bunga sepatu, bunga kacapiring, berjenis-jenis anggrek, delapan belas sangkar burung, tiga kolam renang, hamparan rumput seluas mata memandang, replika bukit dan lembah serta kemericik air dari sungai buatan pelengkap taman, segala jenis buah-buahan kebun, pagar tembok tinggi dengan panjang keliling 8000 meter, empat bangunan megah, –termasuk satu garasi yang menampung 20 mobil mewah. Empat sopir, 10 tukang kebun, 8 pembantu dalam, 2 pembantu luar, 6 satpam, 2 ajudan khusus. Lalu surga mana lagi di dunia fana ini, yang bisa menandingi keindahan rumah seluas empat hektar?

Selamat pagi Tuan Satanop! Matahari cerah. Hari sudah begini siang. Bangunlah segera dari tidurmu, Tuan Satanop, —begitulah kira-kira, sapaan dari pandangan mata seekor burung yang paling dikagumi Satanop dalam kandang emasnya yang paling kemilau. Burung merak, burung yang dilindungi undang-undang, tidak boleh diperjualbelikan alias dilarang dimiliki secara pribadi. Tapi apa sih yang tidak boleh bagi Satanop? Bahkan ia memelihara anak harimau Sumatera, memelihara orang utan cantik bernama Meidi, serta puluhan burung kasuari.

Maemunah, istri tercinta, nenek-nenek itu sudah bangun lebih dulu dan berdandan seperti layaknya perempuan tua yang kaya. Wajahnya begitu sumringah, hatinya mekar merekah. Terlihat raut wajahnya sangat bahagia. Hidup yang sempurna.

Di meja makan, segenap keluarga ceria sudah berkumpul. Malam tadi, sebelum Satanop tiba, dua anak perempuannya yang telah menikah dan tinggal di lain kota, sengaja datang memboyong cucu dan sekaligus menantunya. Mereka semua khawatir atas kasus yang menimpa ayahnya. Mereka melihat dan membaca bagaimana kronologi tangkap tangan di berbagai media, disertai bukti cukup serius: menerima suap 20 miliar.

“Terus terang kami sangat cemas, bahwa kali ini Ayah tidak akan lolos. Bukti-buktinya terlalu nyata. Apakah Ayah sudah bangun?” mereka berkali-kali menanyakan hal yang sama, bergantian antara anak dan menantu. “Jika Ayah sampai tak lolos, maka ada kemungkinan seluruh harta akan disita. Bukankah itu cukup menakutkan?” katanya.

“Belum. Biarlah ayahmu beristirahat. Siang nanti akan ada delapan pengacara berkumpul di sini, untuk membicarakan persiapan menghadapi sidang ayahmu besok pagi. Ndak perlu cemas, kayak nggak tahu aja siapa ayahmu. Tenang saja. Sudah enam kali kasus serupa menimpa ayahmu, dan semuanya terlihat serius. Semuanya terlihat begitu ramai. Tapi apa yang kemudian terbukti? Ayahmu selalu lolos. Selalu menjadi pemenang. Ia terlalu perkasa untuk dikalahkan, oleh siapa pun. Hei, pada ke mana cucu-cucuku?” Maemunah mencari-cari. Maemunah terlihat santai, tak mau melayani ajakan diskusi dari anak dan menantunya yang sepertinya tak begitu penting dibicarakan. Ia malah sibuk mencari cucu, dan dengan lantang berteriak: “Andiiit… Nitaaaa…. Dodiii…!”

“Cucu-cucumu bersama Mang Asep di kebun belakang, Bu. Katanya jambu air dan mangga sudah banyak yang matang,” Lolita, anak perempuan pertama menjawab.

“Segera panggil mereka. Semua pada makan. Nggak usah nunggu ayahmu.”

Lolita terpaksa berlari menuju kebun belakang. Suaranya lamat terdengar, “Udin, Parjo, kaucari anak-anak di kebun. Segera bawa ke ruang makan!”

Lalu inilah dia. Sepuluh menit kemudian, bergejil-bergejil itu datang berlarian, saling mengejar. Suaranya ribut, riuh. Mereka berkejaran mengelilingi meja, melompat ke kursi, lalu bergulingan di lantai, saling menangkap pura-pura berkelahi, ciaaat… ciaaat…, meniru gerakan adegan film laga.

“Sudah, sudah, heei, sudah. Ayo pada makan. Andiiiit, sudah, jangan ganggu adik-adikmu. Dodi, aduh Dodi, hei jangan begitu. Nggak boleh memegang rambut, hayooo lepaskan. Nita, ayo sini, ayo makan. Tuh, makanan kesayanganmu sudah Oma pesankan,” Maemunah berusaha melerai para bergejil, anak-anak yang tampaknya tetap tidak mau diam dan terus ribut. “Ayoooo, sini, sini semuanya, pada duduk dekat Oma. Andiiit, hei Andit, Oma bilang sini. Sudah, sudah, ini waktunya makan.”

“Opa ke mana?” Andit, yang tampaknya paling besar, menghampiri neneknya.

“Opa masih tidur!”

“Haaaa, ayooo Nitaaa, Dodiii, kita serbu kamar Opaaa…!”

Astaga. Itu bergejil, ketiganya langsung lari berhamburan menuju kamar Satanop. Mereka serentak melompat ke atas ranjang, menggoyang-goyangkan kakeknya, sambil berteriak: “Opaaa… Opaaa… Ayo bangun! Ayooo, katanya mau ngajak naik kuda. Ayo bangun Opaaa…!”

Suara tiga bergejil itu membangunkan Satanop. Suara cucu-cucunya, haaaaa. Satanop langsung bangun dan memeluk ketiganya, berteriak bahagia: “Aduuuh ini dia dua jagoanku dan satu putri kesayangan. Sini, ayo sini semuanya. Heee, kapan kalian datang he? Kok Opa nggak tahu? Opa sudah kangennnn.”

Satanop tak henti berteriak girang. Ia bangun dari tempat tidur dan berjingkrak-jingkrak. Lantas menggendong tiga bergejil, satu di pundak, dan dua dikepit di kedua tangan. Menuju ruang makan.

Selamat pagi Tuan Satanop! Matahari cerah. Hari sudah begini siang. Betapa bahagianya engkau, Tuan Satanop! Begitulah kira-kira, sapaan dari pandangan mata burung merak di kandang emasnya yang kemilau, di seberang taman yang berhadapan langsung dengan ruang makan.

Empat sopir, 10 tukang kebun, 8 pembantu dalam, 2 pembantu luar, 6 satpam, 2 ajudan khusus, semua dipanggil serta, lantaran begitulah aturan di surga milik Satanop. Mereka harus makan bersama, di meja yang sama, dengan makanan yang sama. Maka sekarang katakanlah, surga dunia fana mana lagi yang lebih banyak memiliki kebaikan sempurna dibandingkan suasana semacam ini? Amatlah pantas ketika kelak berdatangan wartawan baru dari media baru, seperti halnya kedatangan para wartawan sebelumnya dari media lama, yang telah bersumpah menyaksikan sendiri (dengan mata kepala sendiri) bagaimana kerendahan hati seorang Satanop Sang Ketua Partai yang sekaligus Ketua Parlemen Negara, dalam memperlakukan seluruh bawahannya, —termasuk dalam hal ini para pembantu, tukang kebun, satpam, dan sopir. Mereka, para wartawan dan para penulis baru itu, akan menorehkan juga kolom kesaksian yang sama di medianya masing-masing, dengan rangkaian bahasa prosais yang begitu mengharukan, dengan diakhiri kalimat: “Bapak Satanop, adalah Bapak kita semua.”

***

Ruang sidang tidak seperti yang diduga banyak orang. Tak ada keributan dan keriuhan. Benar-benar tidak terbukti seluruh isi ramalan, komentar, serta analisis beberapa mulut aktivis dan pengamat politik, yang sebelum-sebelumnya mengatakan dengan penuh semangat, bahwa “akan terjadi demo besar-besaran di halaman ruang sidang untuk mendesak supaya Satanop ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara”. Ketahuilah, satu-satunya prediksi paling tepat hanyalah bocoran yang dibisikkan secara perlahan oleh pengarang asli dari cerita ini, bahwa tak akan ada satu pun media yang akan berani menuliskan pernyataan Satanop. Nah, untuk sekadar menyegarkan ingatan, maka ada baiknya kita kutip kembali sumpah pengarang asli pengarang cerita ini, yang pernah diucapkan di bagian awal: “Demi kadal buntung. Demi asu bunting. Jika pernyataan Satanop sampai dikutip dan diberitakan media, maka separuh jumlah anggota parlemen, dan beberapa pejabat penting negara, dipastikan akan ramai-ramai bunuh diri.”

Hari ini jelas hari Rabu.  Bukan hari Minggu, bukan hari Senin, bukan hari Selasa. Dan hari Rabu adalah jadwalnya sidang Satanop, sidang dakwaan korupsi tangkap tangan, dengan tuduhan serius menerima suap 20 miliar. Saudara Jaksa, Saudara Penuntut, Saudara Pembela, Saudara Terdakwa, Saudara Saksi, Saudara Panitera, semua sudah hadir, —sudah duduk di kursinya masing-masing. Para pengunjung yang datang hendak menyaksikan jalannya sidang juga sudah duduk tertib di kursi yang telah disediakan. Lalu ini dia, bagian terpenting dari seluruh simpul yang akan ikut menentukan jalannya sidang pada hari ini, yakni deretan ke dua kursi pengunjung, posisi tengah tepat menghadap hakim (posisi yang sudah diatur sedemikian rupa oleh para petugas di pengadilan): kehadiran Marlina.

Marlina datang pukul 8.30 pagi. Melenggok gaya goyang bebek betina. Seorang ahli penata gerak yang disewa khusus oleh Satanop telah memberi pelajaran lengkap selama berjam-jam, sampai gerakan paling kecil dari mulai memasuki ruang sidang, hingga posisi duduk. Rok mini jauh di atas lutut, sepatu hak tinggi, riasan salon terkemuka yang sanggup memoles Marlina jauh lebih berkilau tanpa mengurangi kecantikan alamiahnya. Usia muda, tubuh semlohay seksi, warna kulit terang menerawang, payudara murni mengintip dengan baju belah dada berbahan kain jatuh paling halus, —puting susunya dibiarkan muncul. Tanpa beha, tanpa celana dalam. Salon telah memangkas dan merapikan hamparan bulu di belahan paha Marlina, membentuk satu motif yang memungkinkan sekali orang menatap, maka ia akan terjerat untuk kembali melihat.

Tepat pukul 9.00 Yang Mulia Hakim memasuki ruang sidang, seluruh hadirin berdiri memberi hormat. Marlina berdiri, dan ketika semua yang lain kembali duduk, Marlina tetap berdiri. Hakim duduk, menunggu sejenak, dan melihat ke arahnya. Saat itulah Marlina duduk perlahan, mengangkangkan pahanya, dan… klap, tertangkap gerak mata hakim, terlihat jelas sedikit menghela napas, sedikit menggigit bibir, lalu matanya berkedip gelisah.

Itu sudah cukup. Perangkap telah mulai menjerat. Dan Satanop melihat semua itu. Melihat pipi hakim mulai memerah. Melihat duduk hakim agak goyah. Ooo tralala…tralala… alangkah bergairah Satanop membayangkan hakim yang pikirannya mulai bercabang. Alangkah nikmat membayangkan hasrat hakim yang tiba-tiba bangkit, dan Satanop langsung menerbangkan imajinasi dalam kepalanya: bahwa Sang Hakim tengah menggauli Marlina di ranjang hotel tempat ia dan Marlina biasa bergelut menyatukan keringat, lalu gadis cantik pemuas berahi paling dahysat ini menggelinjang-gelinjang, mendesah, meneracau, dan menyemburkan kenikmatan orgasme dalam jepitan kuat kelamin hakim.

Satanop, ketika membayangkan bagaimana nikmatnya pergulatan hakim dan Marlina, pelan tapi pasti ia merasakan betapa hawa panas di selangkangannya mulai naik. Ingin rasanya Satanop menoleh ke belakang, melihat tepat ke arah selangkangan Marlina yang dipastikan sudah dipoles dengan indah. Tapi hasrat itu ia tahan, lantaran posisi terdakwa tidak boleh secara tiba-tiba menoleh ke belakang, —kecuali, ketika ada kesempatan di mana ia boleh berdiri, mungkin saat menjawab pertanyaan pembela yang memerlukan konfirmasi darinya. Hasrat sedikit tersiksa lantaran keterbatasan itulah, serta menunggu momen di mana ia bisa berdiri dan sedikit mencuri pandang ke arah selangkangan Marlina, menjadi sensasi yang membuat Satanop terbuai nikmat, dengan sekian juta saraf kelakiannya yang mulai bangkit mendesak. Kelamin Satanop perlahan, sangat perlahan, menggelitik menggetarkan tempat duduk. Ia menggesek-gesek paha sendiri dengan mengubah posisi duduk, dan kelaminnya makin mengeras. Mata Setanop memandang lebih tajam raut muka hakim, capluk-capluk mulut hakim, ketika hakim mulai bicara.

Ahhhh, betapa dahsyat sensasi yang ia rasakan. Demi Tuhan, sesungguhnyalah semua capluk-capluk mulut yang berhamburan kata-kata hukum itu, tak ada yang penting. Semua kata-kata bullshit yang keluar dari jaksa, pembela, saksi, (dan mungkin kata-katanya sendiri pada saat nanti ia harus bicara), sumpah demi kadal buduk dan asu modar tak ada yang penting. Seluruhnya telah dirancang dengan rapi. Ia telah mengetahui dengan pasti, seluruh keputusan, bahkan hafal kalimat per kalimat, keputusan apa yang akan dijatuhkan palu hakim tepat pada pukul 11 nanti.

Tadi malam Satanop dan Marlina secara khusus telah diundang ke sebuah tempat yang teramat dirahasiakan, di mana ia dipertemukan dengan hakim bersama sejumlah elite politik, sebagian anggota parlemen, dan sejumlah pejabat tinggi negara. Satanop memperkenalkan Marlina, dan ia telah langsung pada saat itu menangkap mata hakim yang melirik Marlina dengan takjub. Tentu, sebuah lirikan nakal yang terlihat menderita. Seberapa kuat sih kemampuan hakim negara, yang masih harus dijepit dengan sekian macam kepentingan politik bullshit di negeri ini? Posisi hakim semacam itu, posisi jabatan resmi kenegaraan, tidak memungkinkan ia bisa bermain bebas. Seorang hakim adalah simbol tegaknya kejujuran dan moral. Sedangkan Marlina, dengan segala kemolekan yang dimilikinya, adalah surga tempat imajinasi tergelap dan ternikmat dari para lelaki tua bangka. Satanop sangat paham bahwa setiap orang baik, termasuk juga hakim, pastilah masih memiliki hasrat purba di dalam dirinya. Maka satu tatapan mata nakal pada malam itu, sepersekian detik dari ketakjuban lirikan Sang Hakim, mampu membuat berahi Satanop cemburu dan langsung menyala. Maka sebelum pulang ia mengajak Marlina di kamar mandi, menyetubuhinya satu kali, dengan kepuasan semburan dahsyat melebihi muntahan lahar gunung berapi.

Lalu hari ini, Satanop sungguh senang karena akan mengalami sensasi yang lebih agung. Bayangkanlah, di tengah sidang serius yang kesemuanya digerakkan oleh protokol peraturan hukum formal, maka satu isyarat kedipan mata nakal hakim yang gelisah, bagi Satanop adalah anugerah terbesar. Sungguh-sungguh kedipan itu telah membuat Satanop melayang. Sebab tidak setiap waktu Satanop bisa menikmati sensasi mahadahsyat seperti ini.

Ia tersenyum-senyum, melihat jam yang merangkak pelan, mengikuti kebosanan suara jaksa dan pembela yang setiap kalimat-kalimatnya hampir tidak ia dengarkan. Satanop mengendap penuh kesabaran, untuk terus sibuk dengan dirinya. Berusaha menajamkan telinga bagi gerakan duduk Marlina yang hanya terhalang satu kursi di belakangnya. Membayangkan Marlina terus menggerak-gerakkan paha yang sedari awal sudah diposisikan mengangkang, sekaligus membayangkan kemungkinan Marlina pun akan dilanda kegelisahan serupa lantaran melihat mata hakim yang sesekali kembali mengarah pada selangkangannya. Anjriiit. Satanop kini melihat Marlina tengah memperkosa hakim di ruang sidang! O la la, dua arus yang saling bertabrakan ini, membuat Satanop semakin diliputi ketegangan, dan makin sering ia mengubah-ubah posisi duduk, menciptakan gesekan-gesekan kecil pada kelaminnya yang dipastikan terus membengkak, keras, semakin kaku. Sampai ketika lamat terdengar suara riuh bergemuruh, yang ternyata dipicu oleh putusan suara hakim saat mengetukkan palunya tiga kali: “Saudara Satanop dibebaskan dari segala tuduhan. Bla-bla-bla….”

Sidang selesai. Hadirin bertepuk tangan. Satanop berdiri, dan dengan cepat menangkap tangan Marlina. Ia memberi isyarat dengan satu kedipan mata. Lantas mereka berdua berlari tergesa menuju kamar mandi.

Inilah barangkali, kisah terbaik dalam sejarah hidup Satanop sepanjang masa. Kisah paling agung yang akan diceritakan Satanop ketika pulang malam nanti, sebagai oleh-oleh yang sangat berharga buat Maemunah, –istri setia yang sangat ia cintai di dunia.

Yogyakarta, 2017

Joni Ariadinata
Latest posts by Joni Ariadinata (see all)

Comments

  1. Al-sayyid Jumianto Reply

    Ok jg

  2. abdul rozak Reply

    olala … 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!