Tempat kongkow dan bercerita ini mengusung impian yang sangat muluk; dikenal luas, diperbincangkan, disegani, dan dicatat dalam kitab-kitab sejarah literasi Indonesia. Basabasi digagas dan dikelola oleh Penerbit DIVA Press, dapat diakses secara gratis, menyajikan kolom puisi (Selasa) dan cerpen (Jumat), dari siapa pun yang karyanya lolos kurator tim basabasi.

Anisa
Bisakah saya bergabung di sini
Windi windiyanti
Bagaimana mengirim komentar saya?
feripratamahidayatlubis
bagaimana cara mengirim komentar saya?
Aulya Fitri
Bisakah saya bergabung saya suka membuat puisi
Eman
Boleh
Riris
bagaimana caranya?
Ryhan
Boleh saya begabung
lily
Bisakah saya bergabung di sini?
Saya sangat suka menulis cerpen
fitay
saya mau bergabung
Royya Asaluna Abda
Saya ingin bergabung
Briant Feye
Bagaimana caranya bergabung
Rizwan
Saya ingin bergabung
Ibnu Muhtarrudin
Bisa saya bergabung sebagai penulis kontributor kak
Alletha
Saya ingin menulis puisi
MeriIndriyani
Bisakah saya bergabung di sini saya suka membuat puisi
baim
saya ingin bergabung
Utami
Bisa saya juga ikut bergabung
Firah
Bagaimana caramu bergabung disini
rafgi
bagaimana mengirim komentar saya?
Sintia Oktaviani
saya ingin bergabung menulis puisi
febri
sangat bisa sekali
Utami
Bisa saya juga ikut bergabung, kerens saya jg suka puisi
Ratu Bunga cantika
“gelas kosong ”
menampung cahaya
bulan rebah
di air
aku minum pelan-pelan
rasa sunyi
turun ke tenggorokan
putri Anastasya Manurung
dengan ketik tulisan untuk dikomen dan mengirim
Bintang
Silahkan bergabung dengan kami
Andara
Mau join
Topan herdiatna
Saya ingin bergabung
DEBY AIRAH PUTRY
Saya boleh gabung?
Adi
Boleh ikut join?
nadiaaa
bisakah saya bergabung disini?
Nada
Permisi izin bertanya,
Saya ingin mengirim puisi, mengatasnamakan Himpunan di Kampus. Jadi, apakah boleh untuk biodata penulis menggunakan nama dan logo dari Himpunan?
Mohon dibalas,
Terimakasih..
Admin
silakan, kak
Bagas
Gimana cara nya untuk mendapatkan uang dari sini
Pandu Sasti Saputra
Aku ingin menjadi uang, karena uang bakal dicari semua orang itulah yang saya inginkan
Wildan Nurul
Bisa kah saya bergabung disini
Alfa
Semoga dpt duit
Franklin Umbu kani
Bisa saya bergabung di sini
nisaa
apakah saya boleh join kak?
Danis
Halo
Eman
Boleh
donss
gabung kak
“Mentari Jakarta menyengat kulit, tapi semangat Rina lebih membara. Di usianya yang baru 16 tahun, ia sudah harus membiayai hidupnya sendiri. Ayahnya pergi jauh, ibunya sakit-sakitan. Rina tak punya pilihan selain menjadi dewasa sebelum waktunya.
Setiap pagi, sebelum ayam berkokok, Rina sudah sibuk menyiapkan nasi uduk untuk dijual di depan sekolah. Tangannya lincah membungkus nasi, menata lauk, dan menghitung uang kembalian. Senyumnya selalu merekah, meski hatinya kadang perih.
Siang harinya, setelah sekolah, Rina bergegas menuju pasar. Ia membantu seorang pedagang sayur menata dagangan. Upahnya tak seberapa, tapi cukup untuk membeli beras dan lauk sederhana. Malamnya, Rina belajar di bawah lampu temaram, ditemani suara bising kendaraan.
Rina tak pernah mengeluh. Ia percaya, badai pasti berlalu. Ia punya mimpi, ingin menjadi guru. Ia ingin membuktikan, kemiskinan bukanlah penghalang untuk meraih cita-cita.
Suatu hari, Rina mendapat kabar baik. Ia mendapat beasiswa dari sebuah yayasan pendidikan. Air mata haru membasahi pipinya. Ia tak menyangka, kerja kerasnya selama ini membuahkan hasil.
Rina berjanji, ia akan menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Ia akan belajar dengan tekun, meraih cita-citanya, dan membantu orang-orang yang bernasib sama dengannya. Karena Rina tahu, perjuangan belum berakhir. Ini baru permulaan.”
yuda
bagaimana cara bergabung dan kirim tulisan kk
Jefri nichol
Hay cuantik
apiw
boleh gabung?
febri
sangat bisa sekali
Yuda
Mau bergabung
NURUL LATIVA
Bisakah saya bergabung disini
javier sigar
Untuk mencari uang dengan menjual puisi
An-nyuu4
Boleh saya bergabung disini,soalnya suka bikin cerpen
Nazrilputradewantara
Bisakah saya bergabung ?
Saya suka membuat puisi dan suka baca
jopay
saya ungu dan itu
Ima
Maaf apakah masih bisa kirim karya???
hafidz
hallo
Esra
Boleh ikut join
Firmansyah
coba langsung kirim karya nya kak ke email admin
Anisa nuraenun
Mau coba ngirim cerpen , gimana caranya?
kiya
udah, tapi tidak terkirim karna tidak di temukan alamat imel nya…
gimana kak. tutor dongk…
kiya
udah, tapi tidak terkirim karna tidak di temukan alamat gmail nya…
gimana kak. tutor dongk…
zahra
email nya yang mana kak?
Nadila
Apakah tulisan ini bisa kita edit menggunakan canva?
Viska
gimana cara kirim tulisannya?
erlis aa
join
feripratamahidayatlubis
helooo
Ardyansyh
Tua keladi
Sudah banyak tetangga rumah yang bau tanah atau tuakeladi
Ardyansyh
Tua keladi
Sudah banyak tetangga rumah yang bau tanah
ferii
bagaimana cara nyaa, saya tidak mengetahui nyaa
Walirizal
Judul,Alkisah ada seorang mahasiswa bernama Bagaskara Narendra yang menempuh pendidikan di sebuah Universitas ternama di kotanya. Ia merupakan murid tampan yang memiliki ratusan ribu followers di sosmednya, yah bisa dibilang dia populer. Tidak hanya itu prestasinya yang cemerlang serta background keluarga yang cukup disegani membuat dia cukup akrab dengan kebanyakan dosen sampai kadang membuat orang yang melihatnya merasa minder. Dibalik itu semua ia tak pernah sekalipun bersyukur dan selalu tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Ia selalu ingin jadi yang lebih sempurna lagi dalam segala hal.
Saat pertengahan semester datanglah dosen pengganti yang akan mengajar di salah satu mata kuliahnya, karena dosen yang mengajar cuti selama seminggu. Ia memperkenalkan diri dengan ramah dan santai, namanya adalah Asrar Adiwidia. Meskipun mahasiswa lain tengah menyambut kedatangan pak Adi, bukannya senang Aska malah bergumam “Kenapa sih itu dosen pake cuti segala kan jadi harus akting lagi, untung dosen penggantinya ramah pasti gampang nih gak ada seminggu juga itu dosen pasti luluh”.
Namun tak seperti yang dia rencanakan ternyata pak Adi merupakan tipe dosen yang tegas, disiplin, dan adil. Sudah hampir lima hari berlalu namun tidak ada kemajuan malah Aska diperlakukan sama seperti mahasiswa lain, tidak seperti biasanya. Aska berpikir kalau seperti ini terus rencana dia untuk menjadi yang terbaik dan terlihat sempurna bisa bisa gagal. Semalaman ia merenungkan hal itu.
Keesokan paginya ia datang menemui pak Adi yang berada di ruanganya.
“Permisi pak” ujar Aska.
“Iya Aska ada keperluan apa kamu datang menemui saya?” tanya pak Adi.
“Kebetulan ada yang ingin saya tanyakan, apakah bapak ada waktu?” jawab Aska.
“Iya tentu saja ada, apa yang mau kamu tanyakan?” sambung pak Adi.
Aska mulai berbincang-bincang dengan pak Adi, setelah agak berbasa-basi ia masuk ke inti percakapan secara alami.
“Pak, bagaimana sih caranya agar kita mendapatkan sesuatu yang paling sempurna dalam hidup ini?” tanya Aska. Pak Adi menetap Aska sambil tersenyum, kemudian membawanya ke taman bunga yang ada didekat relief Universitas. Pak Adi lalu menyuruh Aska untuk berjalan di taman indah dengan bunga berwarna-warni itu jika ia ingin pertanyaannya terjawab.
“Berjalanlah lurus di taman bunga, lalu petiklah bunga yang menurutmu paling indah, namun jangan pernah kembali ke belakang!” perintah pak Adi.
Kemudian Aska berjalan lurus menyusuri taman bunga. Dipertengahan jalan ia menemukan bunga yang menurutnya indah, namun dia urungkan niatnya untuk memetik bunga itu, karena berpikir bahwa ada bunga yang lebih indah di depan sana. Dia pun terus berjalan dengan maksud memilih bunga yang jauh lebih indah. Maka sampailah Aska diujung taman, dengan tangan hampa tanpa sekuntum bunga yang dipetiknya. Disana Pak Adi sudah menantinya dan bertanya, “Mengapa kamu tidak mendapatkan satupun bunga?”.
“Sebenarnya tadi saya sudah menemukannya tapi tidak saya petik, karena saya berpikir masih ada bunga yang lebih indah didepan sana. Ternyata ketika sudah sampai diujung saya baru sadar bahwa yang saya lihat tadi adalah yang terindah, itu semua tidak ada artinya karena saya tidak bisa kembali ke belakang”. Jawab Aska setengah menyesal. Pak Adi berkata sambil tersenyum, “Ya… itulah hidup, semakin kita mencari kesempurnaan, semakin kita tak akan pernah mendapatkannya. Maka dari itu janganlah mencari kesempurnaan, tapi sempurnakanlah yang ada pada diri kita.”
Aska pun akhirnya mengerti makna dari kesempurnaan sejati. Kini ia melanjutkan hidupnya dengan menyempurnakan apa yang ada dalam dirinya serta bersikap rendah hati. Karena ia tahu jika terus mengejar kesempurnaan pada akhirnya ia tidak akan mendapat apapun. Dan akhirnya ia bisa lulus dengan predikat cumlaude dengan IPK yang sangat memuaskan. Tidak hanya itu, kini ia menjadi pribadi yang selalu bersyukur atas nikmat Allah dan tidak sombong atas segala sesuatu yang dimilikinya.
Pelajaran yang dapat kita petik dari cerita diatas adalah bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini maka janganlah mencari kesempurnaan, tapi sempurnakanlah apa yang telah ada pada diri kita. Karena semakin kita mencari kesempurnaan maka kita tak akan pernah mendapatkannya. Allah memberikan pelangi di setiap mendung, hikmah di setiap cobaan dan jawaban disetiap do’a. Dari kupu-kupu kita belajar merubah diri, dari padi kita belajar rendah hati, dan dari Allah kita belajar kasih sayang yang sempurna.
Lilis Nur Kholisah
Gimana cara up naskahnya??
Lilis Nur Kholisah
Cara up naskah nya gimna?? Pake word atau bagaimana??
endryco
kirim nya dimana
Farida
Bagaimana cara kirim cerpennya?
ika
bagaimana cara mengirim puisi dan cerpen ?
Vian
Bagaimana cara mengirimkan puisi dan cerpen
Putri
Bagaimana cara ngepost cerita yang kita buat sendiri?
bayu adi
cara join gmn kak
lia
Halo kak admin, apakah web ini masih aktif hingga sekarang?
Candra Kristian feri
saya ingin bergabung
Alfi
Boleh bergabung
Muhammad Syafi' Alfaruq
Bayangan di Ujung Lorong
oleh M.S Alfaruq
Bayangan di Ujung Lorongoleh M.S Alfaruq
Malam itu, hujan turun deras, menenggelamkan suara-suara kota dalam gemuruh dan percikan air. Dwi, seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Arkeologi, baru saja selesai menghadiri seminar di perpustakaan tua milik fakultas. Bangunan itu sudah berdiri sejak zaman kolonial, dengan lorong-lorong sempit dan tangga kayu yang berderit setiap kali diinjak.
Saat Dwi hendak pulang, listrik tiba-tiba padam. Seluruh bangunan tenggelam dalam gelap gulita. Ia menyalakan senter dari ponselnya, mencoba menavigasi jalan keluar. Namun, di ujung lorong utama, ia melihat sesuatu—bayangan tinggi, berdiri diam seperti menunggu.
Awalnya ia mengira itu bayangan rak buku, tapi ketika bayangan itu bergerak perlahan mendekat, Dwi merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia mundur beberapa langkah, jantungnya berdegup kencang. Bayangan itu tampak seperti pria dengan jas panjang, wajahnya tidak terlihat, hanya siluet yang samar.
Dwi berbalik dan berlari menuju tangga, namun langkah-langkah berat di belakangnya mengikuti. Ia hampir terpeleset, tetapi berhasil mencapai lantai bawah dan keluar ke halaman perpustakaan. Nafasnya tersengal, pakaian basah kuyup oleh hujan.
Keesokan harinya, Dwi menceritakan kejadian itu kepada Bu Tati, penjaga perpustakaan. Wajah wanita tua itu langsung pucat.
“Kau melihatnya juga?” katanya pelan. “Itu… bisa jadi Pak Gunarto.”
“Siapa itu?” tanya Dwi bingung.
“Dulu, ada dosen tua, Pak Gunarto. Ia menghilang secara misterius di perpustakaan ini hampir tiga puluh tahun lalu. Katanya, ia terobsesi dengan manuskrip kuno yang tak bisa diterjemahkan. Hari terakhir ia terlihat, ia berjalan ke lorong belakang… dan tidak pernah keluar lagi.”
Sejak hari itu, Dwi tak pernah kembali ke perpustakaan itu sendirian. Namun, rasa penasarannya tumbuh. Ia mencari tahu tentang manuskrip itu, dan akhirnya menemukannya di katalog digital perpustakaan—sebuah dokumen kuno dari abad ke-17, tanpa nama penulis, ditulis dengan huruf yang nyaris tak terbaca.
Malam berikutnya, ia memberanikan diri kembali ke sana, membawa kamera dan peralatan. Ia ingin membuktikan bahwa apa yang ia lihat bukan hanya halusinasi. Tapi malam itu, saat tengah meneliti naskah tua di bawah cahaya lampu darurat, bayangan itu muncul lagi. Lebih dekat. Lebih nyata.
Kamera Dwi merekam semuanya—bayangan yang bergerak, suara langkah, bahkan suara bisikan dalam bahasa asing. Rekaman itu menjadi satu-satunya bukti keberadaannya malam itu. Karena Dwi… tak pernah pulang.
Dan sejak malam itu, bayangan di ujung lorong bertambah satu.
via
bagaimana cara bergabung?
Meliza
Cara kirim tulisannya gimana?
Shofiyyah almasyah
Lelah menjadi resah
Tak semua yang indah akan terasa
Banyak kesulitan yang menantang
Kenapa engkau menangis? Gusar
Susah memang
Menunggu hal yang belum pasti
Kapan akan datang ?
Menyerah adalah hal yang mungkin
Ingin sekali ku lakukan saat ini
Pasrah atas apapun yang telah lalu
Hingga kini aku berada di dalam pikiran
Yang selalu bingung entah mau mengarah
Entah buana juga menolak sepertinya
Laksana sudah mengetahui semua
Ingin ku memberi tahu semua
Aku telah lelah sungguh
Aku sudah sangat lelah
yn
apakah masih bisa ikutan kirim naskah puisi?
Daniel Siagian
Aku mau Ikut join bisa
Mau bergabung yah min
Liga
Cara daftar nya gmana nih
sarahadel
cara daftar nya gmana yaa
sayona
lumayan menarik dari cerita di atas…dan saya harap agar lebih di tingkatkan lagi kualitasnya
Arga
Cara daftar
Iqbal
Ingin menulis di sini juga, beritahu saya caranya
Rizky
Di sini bisa nulis apa saja
sasateraimigrasi
saya warganegara NKRI duduk di luar negara .Mahu nulis apa bisa guna nombor paspor dan akaun TNG(Ewallet).SIM pun belum buat keran saya sudah lama menetap di luar dan belum pulan.Ingat mahu pulang nyusuri keluarga ibu dan ayah bila berkecukupan
Admin
bisa, kak
Desiwinanda
Bisakah saya bergabung di sini
irfan
saya ingin mencoba berkarya, saya sudah memiliki beberapa puisi
zen
aku mau iku
Eldin firgiawan
📘 Judul: Pohon Tua dan Tiga Ulat
✍️ Penulis: Eldin Firgiawan
📜 Kata Pengantar
Semogaaa tulisan saya bisa memberikan manfaat bagi banyak orang.
📖 Bab 1: Pohon Tua di Padang Gersang
Di sebuah padang rumput gersang yang sedang mengalami musim kemarau, berdirilah sebuah pohon tua yang sangat kering.
Pohon ini hanya memiliki tiga lembar daun terakhir. Meskipun tubuhnya mulai rapuh dan batangnya retak-retak, pohon tersebut tetap berdiri kokoh, menantang teriknya matahari dan tiupan angin yang kering.
Pohon itu menyimpan banyak kenangan. Ia pernah menjadi tempat berteduh kawanan rusa, tempat bermain burung-burung kecil, dan sumber kehidupan bagi banyak makhluk.
Kini, ia hanya ditemani oleh tiga lembar daun dan kesunyian alam sekitar.
📖 Bab 2: Tiga Ulat Datang
Suatu pagi yang cerah, tiga ulat kecil merayap dari semak-semak kering di sekitar pohon tua.
Mereka tampak lemah dan lapar setelah perjalanan panjang mencari tempat yang aman.
Ketiganya berbeda warna—si Hijau cerah, si Cokelat kusam, dan si Kuning keemasan.
Meskipun tubuh mereka kecil, semangat hidup mereka sangat besar.
Dengan penuh harap, mereka mendongak ke arah pohon tua.
“Apakah kita bisa tinggal di sini?” tanya si ulat hijau.
Pohon tua menundukkan salah satu rantingnya.
“Kalian boleh tinggal di dahanku yang tersisa, tapi aku tak bisa menjanjikan apa-apa. Aku sudah tua dan hampir kering.”
Ketiganya setuju, lalu memanjat perlahan hingga mencapai ketiga daun terakhir.
Mereka merasa hangat, nyaman, dan aman. Untuk pertama kalinya, setelah perjalanan panjang, mereka merasa seperti di rumah.
Malam pun tiba. Di bawah cahaya bintang, ketiganya saling bercerita tentang impian mereka.
Si Hijau ingin menjadi kupu-kupu yang bisa menjelajah langit.
Si Cokelat ingin berubah dan menemukan arti dari hidupnya.
Si Kuning keemasan ingin menjadi cahaya bagi makhluk lain.
Pohon tua mendengarkan dalam diam. Meski tak berkata, hatinya hangat mendengar harapan ketiga ulat kecil itu.
Ia mulai menyadari bahwa mungkin, hidupnya belum benar-benar selesai.
📖 Bab 3: Angin Kencang dan Keputusan Besar
Beberapa hari kemudian, langit mulai tampak gelap.
Awan kelabu bergulung di atas padang rumput, membawa pertanda akan datangnya badai.
Angin kencang mulai berhembus, membuat ketiga daun terakhir di pohon tua bergetar hebat.
Pohon tua menggertakkan akar-akar tuanya agar tetap menancap kuat di tanah.
Ia berkata dengan suara gemetar,
“Bersiaplah, anak-anak. Angin ini akan menjadi ujian bagi kita semua.”
Ketiga ulat ketakutan. Mereka menggenggam erat daun tempat mereka berpijak.
Si Hijau mulai meragukan mimpinya, si Cokelat merasa ingin menyerah, dan si Kuning keemasan mulai menangis dalam diam.
Namun, di tengah terpaan angin, pohon tua berseru,
“Ingatlah mimpi kalian! Jangan lepaskan harapan hanya karena badai sesaat.
Justru dalam badai, akar akan semakin kuat, dan daun yang bertahan akan menjadi tempat kelahiran keajaiban.”
Kata-kata itu menyentuh hati ketiga ulat.
Mereka saling menyemangati dan mulai membuat kepompong di sela-sela daun yang tersisa.
Meski daun itu bergoyang hebat, mereka percaya: ini adalah bagian dari perjalanan.
Angin terus berhembus sepanjang malam.
Pohon tua menggigil, tapi ia tidak menyerah. Ia rela kehilangan daunnya demi melindungi ketiga ulat yang mulai berubah.
Ketika fajar menyingsing, badai telah berlalu.
Namun dari ketiga daun itu kini tergantung tiga kepompong kecil… sunyi, namun penuh janji.
📖 Bab 4: Keajaiban yang Tersembunyi
Waktu berlalu. Matahari terbit dan tenggelam, membawa hari demi hari yang hening.
Tiga kepompong masih bergantung diam di ketiga daun terakhir pohon tua.
Ia menjaga mereka dengan penuh kesabaran, meski tubuhnya makin lelah dan rantingnya kian rapuh.
Pohon tua sering berbicara dalam hatinya,
“Mungkin aku tak akan melihat mereka terbang. Tapi setidaknya, aku telah memberi mereka tempat untuk berubah…”
Pada pagi yang cerah, sesuatu yang menakjubkan pun terjadi.
Dari salah satu kepompong, perlahan muncul sayap berwarna hijau zamrud.
Si Hijau telah menjadi kupu-kupu!
Tak lama kemudian, kepompong kedua terbuka.
Si Cokelat muncul dengan sayap gelap bermotif emas.
Ia tampak lebih tenang, seolah telah menemukan makna di dalam dirinya.
Lalu, kepompong terakhir pun pecah.
Si Kuning muncul dengan sayap cerah bersinar, bagaikan matahari kecil yang membawa cahaya ke seluruh padang rumput.
Ketiganya mengepakkan sayap mereka untuk pertama kali.
Pohon tua yang melihat mereka berkata dalam hati,
“Pergilah… dan terbanglah tinggi. Bawalah harapan ke dunia yang luas.”
Dengan penuh haru, ketiganya terbang mengelilingi pohon tua untuk mengucapkan terima kasih.
Mereka tahu, tanpa pohon itu, mereka takkan pernah menjadi seperti sekarang.
📖 Bab 5: Warisan yang Tak Terlihat
Hari-hari berlalu. Tiga kupu-kupu kini telah menjelajahi langit luas.
Mereka menari di antara bunga-bunga, menebar keindahan, dan membawa kisah pohon tua kepada dunia.
Di padang rumput yang dulu gersang, perubahan perlahan terjadi.
Tanah mulai lembab. Bunga liar tumbuh malu-malu.
Tak seorang pun tahu tentang pohon tua yang dulu berdiri di sana, kecuali ketiga kupu-kupu itu.
Namun, warisannya tetap hidup.
Bukan dalam bentuk batang atau daun, tapi dalam hati makhluk yang diselamatkannya.
Dalam keberanian untuk bermimpi, dalam semangat untuk bertahan, dan dalam keajaiban untuk berubah.
Pohon tua memang telah tumbang, namun jiwanya kini hidup dalam langit, tanah, dan cahaya.
📖 Bab 6: Pesan dari Angin
Suatu pagi, angin sepoi menyentuh sayap ketiga kupu-kupu.
Mereka mendengar suara yang lembut seperti bisikan dari masa lalu:
“Ingatlah, kalian bukan hanya hasil dari perubahan.
Kalian adalah harapan yang hidup. Bawalah pesan ini pada dunia.”
Mereka pun terbang tinggi, melintasi gunung dan lembah, menyebarkan kisah tentang pohon tua yang memberi tanpa meminta kembali.
Di setiap tempat yang mereka lewati, bunga bermekaran, dan tanah menjadi subur.
Dan angin… angin itu tetap berhembus,
Membawa pesan dari mereka yang pernah hidup dengan kasih.
Sebab dalam setiap akhir, selalu ada awal yang baru.
Dan dalam setiap pohon yang gugur, tumbuh kehidupan yang tak terlihat—namun nyata.
Adinda
Senyum di Balik Hujan
Langit sore itu mendung, awan kelabu menggantung rendah seakan membawa seluruh beban dunia. Hujan turun perlahan, mengetuk genting rumah dan dedaunan. Di sebuah gang kecil, seorang gadis bernama Rani berjalan tanpa payung. Seragam sekolahnya basah, rambutnya menempel di dahi. Hari itu benar-benar berat—nilai ujian yang ia perjuangkan jatuh, dan sahabat yang ia percaya memilih menjauh.
Ia menunduk, menahan air mata yang bercampur dengan derasnya hujan. “Kenapa semuanya harus terasa salah?” gumamnya.
Di ujung gang, seorang kakek penjual koran yang selalu duduk di bawah terpal biru tersenyum padanya. Meski tubuhnya renta dan dagangannya sering tersisa, senyum itu tidak pernah pudar. Saat Rani lewat, kakek itu menyodorkan selembar plastik tipis.
“Untuk bukumu, Nak. Biar tidak basah semua,” ucapnya lembut.
Rani terdiam, tertegun melihat kebaikan kecil itu. Di tengah hujan yang seakan menelan dunianya, ada senyum tulus yang tetap bertahan. Senyum yang sederhana, namun cukup untuk membuat hatinya hangat.
Ia mengerti, hujan bukan selalu tentang kesedihan. Kadang, di balik derasnya, ada senyum yang memberi arti.
Sejak hari itu, setiap kali hujan turun, Rani tidak lagi hanya mengingat kesedihan. Ia mengingat senyum kakek penjual koran—sebuah pengingat bahwa selalu ada kebaikan kecil yang bisa membuat dunia terasa lebih ringan.
zen
Payung merah disudut kota
Hujan disuatu sore itu turun tanpa permisi, Jalanan berubah menjadi lautan payung dengan berbagai warna, Diantara banyak nya kerumunan, Ada seorang gadis berlari-lari sambil memeluk tas sekolahnya, ia lupa tak membawa payung.
Di trotoar, Seorang pemuda duduk di halte sambil menunggu bus yang tak kunjung datang, ia membawa sebuah payung merah yang tua, dan kainnya sedikit sobek di bagian pinggir, Saat melihat gadis itu berlari-lari kedinginan, ia berdiri.
“Dek, mau nebeng ga?’ tanya nya sambil membuka payung merah.
Gadis itu menatap nya dengan ragu, Namun hujan semakin deras, dan akhirnya ia mendekat, berjalan di bawah payung merah itu.
“Namamu siapa?” tanya pemuda itu.
“Rara, nama kaka siapa?”
“Aku bima” jawabnya sambil tersenyum.
Mereka tidak banyak bicara, Hanya suara hujan yang menemani langkahnya, Setiap tetes air yang jatuh di payung merah itu terasa hangat, Seolah melindungi mereka dari dinginnya kota.
Sesampainya di depan gang rumah rara, ia menunduk sambil berkata pelan, “Terima kasih ya kak”, Kalau aku sudah besar nanti, Aku juga mau punya payung sendiri….biarr bisaa nolongin orang lain juga”.
Bima hanya tersenyum, lalu berjalan pergi, Payung merah itu tetap terbuka, yang menemani langkahnya.
Dan entah kenapa, sejak hari itu, setiap ada hujan di kota itu, selalu ada yang mencari-cari payung merah di antara kerumunan.
rismauli
Aku ingin bergabung untuk membuat cerita pendek
Leli Setiawati Lamatoa
Saya ingin bergabung dan menulis cerpen
arvin
*Judul: “Tanah Airku”*
Tanah airku luas membentang,
Hijau ladang, laut pun tenang.
Riuh burung pagi bersahutan,
Simfoni alam dalam kedamaian.
Petani tersenyum memandang langit,
Doa diselipkan di sela peluh.
Anak negeri tumbuh tangguh,
Menjaga bumi, tak pernah rapuh.
zahraa
bagaimana cara medaftar? saya ingin bergabung
Nafingatul
Saya juga ingin bergabung
Nafingatul
Di suatu malam yang sunyiiii.duduklah seorang gadis yang sedang termenung dia sedang bergelut dengan pikirannya seolag di tidan akan pernah menemukan titik terang untuk melanjutkan hidup.tapi entah kenapa suatau hari fikira itupun perlahan sirna semenjak mengenal seseorang yang menurutnya bisa merubah hidupnya perlahan suatu hari nanti dan dia pun mulai yakin bahwa di depan sana masih ada kehidupan indah yang akan ia lalui 😊
Luna siboro
Gk gw gk mau tau lo harus hormat bendera ke lapangan “ucap kenzo
Malas gw gk msu yah ” ucap Athena
Ade Fuji Alawiah
TIGA KUNCI AETHERIUM
Bab: Gerbang Buku Tua
Di sebuah pagi yang basah di Jakarta, Elion (23), seorang penulis muda yang hidup dari fiksi, menemukan sebuah buku di tumpukan loak usang. Sampulnya terbuat dari kulit yang terasa hangat, tidak seperti kertas biasa, dan tidak memiliki judul. Di saat yang sama, di laboratorium yang sibuk di São Paulo, Aelric (40), seorang ahli fisika teoretis yang skeptis, menerima paket misterius berisi buku yang sama persis, dikirim oleh kolega yang tidak ia kenal. Dan jauh di Tokyo yang ramai, Drakeon (17), seorang pelajar dengan minat pada mitologi kuno, menemukan buku itu tersembunyi di balik rak kuno di perpustakaan sekolahnya.
Saat ketiganya membuka halaman pertama, sebuah sensasi aneh menjalar.
Bagi Elion, tinta di halaman itu berputar menjadi kabut hijau, menyedot udara keluar dari paru-parunya sebelum ia jatuh melalui bingkai jendela apartemennya—bukan ke jalan di bawah, tetapi ke dalam Hutan Senja, tempat pohon-pohon menjulang tinggi menembus langit ungu yang abadi.
Aelric, yang sedang memindai spektrum aneh dari sampul buku, melihat halaman-halaman itu memudar. Ia mendapati dirinya berdiri di atas Padang Kristal, di mana setiap bilah rumput adalah pecahan kaca yang memantulkan seribu bintang yang dingin.
Drakeon, yang sedang mencatat lambang yang terukir, merasakan tarikan gravitasi terbalik. Ia melayang ke dalam Lembah Gema, sebuah jurang sunyi yang dikelilingi oleh pilar batu yang berbisik dengan suara masa lalu.
Mereka bertiga tersentak, terpisah oleh jarak dunia mereka, namun kini bersatu di dalam Aetherium, dunia yang dibentuk oleh imajinasi dan waktu yang terpelintir. Yang lebih aneh, mereka dapat mendengar pikiran dan merasakan kehadiran satu sama lain, seperti benang takdir yang baru terjalin.
“Siapa di sana? Aku di mana?” seru Elion dalam hati, panik.
“Suaramu… aku tidak bisa melihatmu, tapi aku bisa mendengarmu,” jawab Aelric, nadanya datar namun penuh kekhawatiran ilmiah.
“Buku itu… itu nyata. Lihat halaman kalian!” sela Drakeon, suaranya tegang.
Mereka menoleh ke buku yang masih mereka pegang. Halaman di buku itu berubah. Bukan lagi kisah yang dicetak, tetapi sebuah Peta Keberadaan, sebuah teka-teki kuno. Di tengah peta itu, terukir: “Untuk kembali, tiga kunci harus disatukan di Menara Tiga Zaman. Kunci berada di balik Tiga Teka-teki. Waktu semakin menipis.”
Mereka tahu, secara naluriah, bahwa mereka adalah satu-satunya yang tersisa di dunia ini yang memegang buku-buku yang terhubung ini.
Perjalanan pun dimulai. Dipandu oleh gambaran samar dan bisikan kuno yang mengalir dari buku, mereka bergerak menuju pusat Aetherium.
Elion, dengan keahliannya merangkai cerita, harus memecahkan sandi lisan dari Peri Bahasa yang Lupa di Hutan Senja. Ia harus merangkai kata-kata menjadi kisah yang hilang untuk mendapatkan Kunci Pertama: Lencana Narasi.
Aelric, dengan pemikirannya yang logis, menghadapi Gaya Gravitasi yang Berubah di Padang Kristal, yang menuntutnya untuk menghitung spektrum cahaya dari bintang-bintang yang memantul. Ia harus membuktikan bahwa sains dan keajaiban adalah dua sisi dari koin yang sama untuk mendapatkan Kunci Kedua: Kompas Logika.
Drakeon, dengan pengetahuan mitologinya, harus menenangkan Kraken Bayangan yang bersembunyi di Lembah Gema, entitas yang hidup dari ketakutan. Ia menggunakan mantra-mantra kuno yang ia baca, yang dulu hanya ia anggap sebagai cerita rakyat, untuk mendapatkan Kunci Ketiga: Jimat Keberanian.
Setiap kali mereka berhasil, halaman buku mereka akan menyala, dan mereka merasakan koneksi mereka menguat. Namun, semakin dekat mereka ke Menara Tiga Zaman, semakin nyata bahaya yang mereka hadapi. Mereka dikejar oleh Siluet Gelap, bayangan tanpa wajah yang berusaha merebut buku itu dan mengunci Aetherium selamanya. Siluet Gelap ini adalah manifestasi dari keputusasaan dan kehampaan yang lahir dari kegagalan para penjaga buku sebelumnya.
Akhirnya, dengan luka-luka di tubuh dan semangat yang hampir padam, mereka bertemu di kaki Menara Tiga Zaman, sebuah struktur yang menjulang tinggi, terbuat dari batu yang menua dan logam yang berkilauan, yang menyentuh langit.
Di puncak menara, Siluet Gelap sudah menunggu, memancarkan aura dingin.
“Kalian terlambat. Buku ini adalah penjara, dan kalian tidak akan pernah melihat dunia kalian lagi,” bisik bayangan itu, suaranya seribu rintihan.
Elion, Aelric, dan Drakeon berdiri berdampingan.
“Tidak,” kata Elion, memegang Lencana Narasi. “Buku ini bukan penjara. Ini adalah cerita. Dan kami yang akan menuliskan akhirnya.”
Aelric menambahkan, sambil memegang Kompas Logika. “Setiap cerita memiliki aturan. Dan aturannya mengatakan, jika tiga benang bertemu, mereka membentuk simpul yang tidak dapat diputuskan.”
Drakeon menyelesaikan, memegang Jimat Keberanian. “Kami tidak takut pada kehampaan. Kami adalah kenyataan.”
Mereka menggabungkan ketiga kunci. Lencana Narasi, Kompas Logika, dan Jimat Keberanian menyatu menjadi satu cahaya terang yang melingkari Siluet Gelap. Cahaya itu bukan serangan, tetapi harmonisasi. Itu mengisi kekosongan Siluet Gelap dengan narasi, logika, dan keberanian—elemen-elemen yang diperlukan untuk keseimbangan Aetherium.
Siluet Gelap tidak hancur, tetapi berubah wujud menjadi Penjaga Gerbang, sebuah sosok bijaksana yang membungkuk.
“Jalan kembali terbuka. Pilih dengan bijak, pelancong,” kata Penjaga Gerbang, menunjuk ke sebuah halaman terakhir di buku yang kini bersinar. Halaman itu menunjukkan tiga portal: satu ke Jakarta, satu ke São Paulo, dan satu ke Tokyo.
Elion, Aelric, dan Drakeon saling memandang. Mereka telah melintasi batas-batas dunia, berbagi bahaya, dan memikul takdir. Mereka bukan lagi penulis, ilmuwan, dan pelajar, tetapi Penjaga Baru Aetherium.
Dengan senyum pahit, mereka mengangguk.
“Sampai kita bertemu lagi,” bisik Drakeon.
“Pasti,” jawab Aelric.
Elion menarik napas dalam-dalam, memegang buku yang sekarang terasa ringan. “Dunia ini… perlu diceritakan.”
Mereka melangkah bersama ke dalam cahaya, dan tiga portal itu menutup di belakang mereka.
Elion terbangun di lantai kayu apartemennya, buku itu jatuh terbuka di sebelahnya. Aroma kopi pagi menyambutnya, dan suara klakson Jakarta terdengar normal. Di São Paulo, Aelric mendapati dirinya duduk di kursi lab, spektrometer di depannya menunjukkan pembacaan yang tidak mungkin. Dan di Tokyo, Drakeon berdiri di samping rak perpustakaan, di mana debu dari buku kuno masih menempel di seragamnya.
Mereka kembali. Namun, di pergelangan tangan mereka, masing-masing terdapat tato samar yang menyerupai simbol buku yang saling terkait.
Mereka kembali, tetapi mereka bukan lagi diri mereka yang lama. Mereka tahu, suatu hari, halaman pertama buku itu akan menyala lagi, dan panggilan Aetherium akan menarik mereka kembali ke dunia di mana takdir adalah sebuah kisah yang selalu menunggu untuk ditulis.
Apakah mereka bisa kembali? Ya, mereka bisa.
Apakah mereka terjebak selamanya? Tidak, tetapi mereka sekarang terikat pada dunia itu selamanya. Dan mungkin, itulah takdir yang lebih hebat.
Bab Kedua: Panggilan di Tengah Malam
Tiga bulan berlalu sejak Elion kembali ke Jakarta. Ia mencoba kembali menulis fiksi romansa, namun setiap kata terasa hampa. Pikirannya dipenuhi oleh Hutan Senja dan bisikan Peri Bahasa yang Lupa. Buku misterius itu, yang kini ia simpan di dalam brankas, terasa dingin. Tato samar di pergelangan tangannya terasa panas.
Di São Paulo, Aelric tidak lagi fokus pada teori fisika arus utama. Ia menghabiskan malam-malamnya mencoba memetakan energi yang memancar dari Kompas Logika, sebuah sisa daya yang ia rasakan tertanam dalam dirinya. Skeptisisme ilmiahnya telah runtuh, digantikan oleh obsesi untuk memahami bagaimana fisika dan fantasi berinteraksi di Aetherium.
Sementara itu, di Tokyo, Drakeon berjuang untuk mempertahankan rutinitas sekolahnya. Setiap kali ia melihat bayangannya sendiri, ia teringat pada Kraken Bayangan dan rasa takut yang harus ia taklukkan. Ia sering kali membolak-balik buku-buku mitologi, mencari petunjuk tentang Penjaga Gerbang dan mengapa mereka dipilih.
Retakan di Dunia
Ketiga individu itu mulai menyadari bahwa Aetherium tidak sepenuhnya melepaskan mereka. Dunia mereka mulai menunjukkan retakan.
Di Jakarta, Elion melihat pola aneh di hujan. Tetesan air yang jatuh terkadang tampak berhenti di udara selama sepersekian detik, melanggar hukum gravitasi. Kemudian, ia menemukan bahwa tokoh-tokoh dari cerita-cerita yang ia abaikan selama ini (seorang Ksatria Perunggu, seekor Naga Kecil dari draf lama) muncul sebagai bayangan samar di keramaian kota, lalu menghilang.
Di São Paulo, eksperimen Aelric mulai menimbulkan konsekuensi yang tak terduga. Instrumennya mendeteksi gelombang energi aneh yang berasal dari non-ruang, dan yang paling mengkhawatirkan, sebuah portal mikro terbuka di ruang labnya—seukuran telapak tangan, tetapi ia bisa melihat sepotong Padang Kristal yang dingin di dalamnya. Sesuatu yang menyerupai laba-laba kristal merangkak keluar sebelum portal itu menutup.
Di Tokyo, Drakeon memperhatikan bahwa gema dari Lembah Gema mulai menyusup ke dunianya. Ketika ia memasuki perpustakaan sekolah yang sunyi, ia bisa mendengar bisikan tak terhitung yang tumpang tindih—suara masa lalu yang seharusnya hanya ada di Aetherium. Suara-suara itu memperingatkan tentang Anomali Waktu, yang mengancam untuk mencampuradukkan lini masa mereka.
Panggilan Kedua
Suatu malam, tepat tengah malam di zona waktu mereka masing-masing, buku itu bereaksi. Brankas Elion mengeluarkan cahaya hijau, lab Aelric dipenuhi cahaya keemasan, dan rak perpustakaan Drakeon diselimuti cahaya perak.
Elion berlari ke brankas, Aelric mendekati sumber cahaya di labnya, dan Drakeon tiba-tiba mendapati buku itu sudah ada di tangannya.
Mereka membuka halaman pertama secara bersamaan. Kali ini, bukan peta, melainkan sebuah pesan yang berdetak dalam bahasa yang mereka pahami, namun ditulis dengan tinta bergerak:
> “Anomali Waktu merebak. Aetherium membutuhkan Penjaga untuk menetapkan kembali Zaman. Jika tidak, dunia kalian akan kehilangan masa lalunya, dan masa depannya akan hilang. Temui kami di Kota Terbalik.”
>
Kali ini, tidak ada penarikan paksa. Ada pilihan.
Elion, merasa bertanggung jawab atas entitas fiksi yang mulai ia lihat, bertekad. Aelric, terdorong oleh kebutuhan ilmiah untuk memperbaiki anomali spasial-temporal ini, mengangguk pada dirinya sendiri. Drakeon, merasa terhormat dan takut dengan peran barunya sebagai Penjaga, menggenggam erat jimatnya.
Mereka menyentuh halaman yang bersinar.
Dalam sekejap, Elion tidak lagi di apartemennya, melainkan berdiri di atas atap sebuah menara jam kuno. Aelric mendapati dirinya tergantung di udara, melihat kota di bawahnya. Drakeon terhuyung-huyung di tangga batu yang memutar.
Mereka berada di Kota Terbalik, sebuah metropol di Aetherium yang hancur dan melayang, di mana bangunan-bangunan berdiri di atas atap mereka dan air terjun mengalir ke atas.
Tugas Baru: Menetapkan Kembali Zaman
Di tengah alun-alun kota, Penjaga Gerbang yang bijaksana menunggu. Di sebelahnya ada dua entitas yang aneh: seorang Krono-Ahli yang terbuat dari pasir jam yang bergerak, dan Matahari Kuno—bola cahaya yang memancarkan panas yang hampir tidak tertahankan.
“Selamat datang kembali, Penjaga,” sapa Penjaga Gerbang. “Kalian telah kembali dengan sukarela, menunjukkan bahwa ikatan kalian dengan Aetherium kuat.”
Penjaga Gerbang menjelaskan: Ketika mereka pergi, mereka tidak sepenuhnya membersihkan Siluet Gelap. Energi kekosongan itu menyebabkan Anomali Waktu—titik-titik di Aetherium di mana waktu berjalan maju, mundur, atau melompat-lompat secara acak. Ini mengancam untuk merobek benang waktu dan menyebabkan bencana di dunia asal mereka.
Tugas mereka adalah menemukan dan mengaktifkan kembali tiga Kristal Kronos yang tersembunyi, yang akan menstabilkan waktu di Aetherium.
* Elion harus pergi ke Gurun Waktu yang Dilipat, di mana ia harus menulis ulang kisah yang diputarbalikkan di pasir untuk mengaktifkan Kristal Naratif.
* Aelric harus melakukan perjalanan ke Lubang Hitam Mini yang mengambang, di mana ia harus memecahkan persamaan kosmik yang mustahil untuk mengaktifkan Kristal Eksponensial.
* Drakeon harus menghadapi hantu-hantu pahlawan dari masa lalu di Makam Pahlawan yang Terlupakan dan mendapatkan restu mereka untuk mengaktifkan Kristal Keabadian.
Mereka harus bergerak cepat, karena Anomali Waktu semakin memburuk. Tiba-tiba, sebuah bangunan di sebelah mereka berubah dari batu modern menjadi reruntuhan Romawi dan kembali lagi, dalam sekejap mata.
Mereka tahu bahwa kali ini, konsekuensinya bukan hanya terjebak, tetapi menghapus keberadaan mereka di dunia asal.
Ketiga Penjaga Baru itu mengangguk, tanpa perlu bertukar kata. Mereka meraih buku mereka, yang kini berfungsi sebagai kompas.
Elion menghilang dalam pusaran tinta. Aelric menghilang dalam kilatan perhitungan. Drakeon menghilang di balik bayangan kuno.
Panggilan kedua telah dimulai. Ikatan mereka yang terjalin saat pertama kali memasuki dunia ini, kini menjadi satu-satunya pertahanan terakhir untuk menjaga keutuhan dunia mereka.
Apakah mereka akan berhasil menstabilkan waktu, atau justru menjadi korban dari Anomali Waktu, terhapus dari eksistensi, terjebak di antara masa lalu dan masa depan?
Bab Terakhir: Tiga Kristal, Satu Takdir
Mereka bertiga berpacu melawan waktu, yang kini bukan lagi metafora, melainkan musuh yang nyata. Di Kota Terbalik, Penjaga Gerbang dan dua entitas waktu menyaksikan dengan cemas bagaimana bangunan-bangunan di sekitar mereka berkedip dalam berbagai era—dari gua prasejarah hingga menara futuristik.
Elion dan Kristal Naratif
Elion tiba di Gurun Waktu yang Dilipat, sebuah hamparan pasir yang diwarnai oleh senja abadi. Di sini, setiap butir pasir adalah momen yang hilang, dan setiap bukit pasir adalah alur cerita yang terputus.
Ia menemukan Kristal Naratif di tengah badai pasir yang bergerak mundur. Kristal itu kusam, dan di sekitarnya, ia melihat Kisah yang Diputarbalikkan: para pahlawan yang kalah sebelum bertarung, orang-orang yang hidup setelah mati, dan akhir cerita yang datang di awal. Ini adalah manifestasi dari semua draf buruk dan penghapusan yang dilakukan oleh pikiran kolektif Aetherium.
Dengan memegang buku, Elion menyadari tugasnya: ia harus menjadi Narator Utama. Ia mulai berbicara, menulis di udara dengan ujung jarinya. Ia menceritakan kembali kisah-kisah yang terpelintir, memberikan mereka awal, tengah, dan akhir yang benar.
“Ksatria Perunggu, bangkitlah dari kekalahan di awal! Kekuatanmu terletak pada pertarungan, bukan pada keputusasaan,” ia berbisik. “Wahai Kota, kamu hidup, kamu tidak mati! Ceritamu belum selesai!”
Saat Elion mengucapkan kata-kata itu dengan keyakinan penuh, Lencana Narasi di tangannya bersinar. Pasir badai berhenti bergerak mundur, dan Kristal Naratif menyala dengan cahaya merah hangat, memancarkan aliran waktu yang mantap ke sekitarnya.
Elion berhasil mengunci Kristal Pertama.
Aelric dan Kristal Eksponensial
Aelric muncul di tepi Lubang Hitam Mini, sebuah anomali spasial yang mengambang di kehampaan Aetherium. Tarikan gravitasinya kuat, mengancam untuk merobeknya berkeping-keping.
Kristal Eksponensial berada tepat di mulut lubang hitam, terbungkus dalam bidang energi yang bergetar secara kacau. Tugas Aelric adalah memecahkan Persamaan Kosmik yang Mustahil yang tertulis di bidang energi itu—sebuah rumus yang menggabungkan fisika alam semesta mereka dengan logika imajiner Aetherium.
“Fisika murni tidak berlaku di sini,” gumam Aelric. Ia menggunakan Kompas Logika-nya, bukan untuk mengukur, tetapi untuk memprediksi ketidakmungkinan. Ia harus meninggalkan ketergantungan pada hukum alam dan merangkul kemungkinan tak terbatas dari dunia fiksi.
Ia mulai menulis ulang persamaan itu di udara, menggantikan variabel yang mustahil (i – imajiner) dengan yang ajaib (a – Aetherium), dan memecahkan persamaan yang menghasilkan nilai t, waktu absolut Aetherium. Ketika ia menyelesaikan baris terakhir, bukannya angka, yang ia tulis adalah “Keseimbangan”.
Dengan pengakuan bahwa realitas adalah masalah perspektif, Kompas Logika Aelric berputar cepat, dan Kristal Eksponensial menyala dengan cahaya biru es yang stabil, menjamin ruang yang konsisten. Lubang hitam itu menyusut, dan bidang energi menjadi tenang.
Aelric berhasil mengunci Kristal Kedua.
Drakeon dan Kristal Keabadian
Drakeon tiba di Makam Pahlawan yang Terlupakan, sebuah kuil di mana hantu para pahlawan dan entitas yang terlupakan dari mitos Aetherium berkeliaran. Kristal Keabadian disembunyikan di dalam sarkofagus utama, dijaga oleh Hantu Bayangan Kuno—manifestasi ketakutan kolektif bahwa mereka akan dilupakan.
Drakeon harus mendapatkan restu mereka; ia harus meyakinkan entitas-entitas yang telah lama mati ini bahwa kisah mereka akan terus diceritakan. Hantu Bayangan Kuno menyerangnya dengan ilusi kekalahan dan keraguan, mengancamnya dengan kehampaan yang ia taklukkan di masa lalu.
“Kalian tidak dilupakan!” teriak Drakeon, suaranya bergetar tetapi kuat. Ia memegang Jimat Keberanian dan mulai menceritakan kembali legenda para pahlawan yang ia kenal—mitologi dari dunianya dan dari Aetherium. Ia menceritakan tentang keberanian Peri Bahasa yang Lupa, keindahan Padang Kristal, dan sejarah Menara Tiga Zaman.
“Selama aku mengingatmu, kamu hidup!”
Keberanian Drakeon, bukan hanya dalam menghadapi ketakutan, tetapi dalam menghormati masa lalu, menenangkan para hantu. Mereka membungkuk dan menghilang. Jimat Keberaniannya memancarkan cahaya ungu yang menembus sarkofagus, dan Kristal Keabadian menyala dengan cahaya emas terang, menjamin memori yang utuh.
Drakeon berhasil mengunci Kristal Ketiga.
Penyatuan di Kota Terbalik
Ketiga Penjaga kembali ke Kota Terbalik. Mereka menemukan Penjaga Gerbang hampir tidak terlihat, dan Krono-Ahli terbuat dari pasir yang hampir habis. Waktu di Kota Terbalik bergetar hebat.
“Cepat! Satukan kristal itu di Segitiga Utama!” seru Penjaga Gerbang, menunjuk ke titik tengah alun-alun di mana terdapat alas batu yang bertuliskan simbol takdir yang terjalin.
Saat Kristal Naratif (merah), Kristal Eksponensial (biru), dan Kristal Keabadian (emas) diletakkan di alas, mereka melepaskan gelombang energi yang luar biasa. Energi tersebut tidak bertabrakan, tetapi menyatu, membentuk benang tunggal yang merambat ke seluruh Aetherium.
Getaran waktu berhenti. Bangunan-bangunan di Kota Terbalik menjadi statis, terkunci dalam bentuk yang aneh namun permanen. Aetherium diselamatkan.
Penjaga Gerbang tersenyum lega. “Kalian telah menulis takdir baru. Aetherium stabil. Sekarang, pilihan kalian…”
Ending: Ikatan Abadi
Penjaga Gerbang membuka tiga portal kembali ke dunia mereka.
Elion, Aelric, dan Drakeon berdiri bersama. Mereka telah melewati batas eksistensi dua kali. Mereka bukan lagi hanya teman seperjuangan, tetapi tulang punggung dari dunia yang kini mereka lindungi.
“Kita tidak bisa kembali dan berpura-pura semua ini tidak pernah terjadi,” kata Elion, melihat tato di pergelangan tangannya. “Kita adalah Penjaga.”
“Jika kita kembali, kita akan terus melihat retakan,” Aelric menyambung, matanya menunjukkan pemahaman yang tenang. “Aetherium butuh Penjaga yang aktif, yang memahami dunia mereka dan dunia ini.”
Drakeon mengangguk. “Tapi kita juga harus menjaga dunia kita. Tugas kita adalah menjadi jembatan.”
Mereka mengambil keputusan. Mereka tidak akan tinggal di Aetherium, juga tidak akan melupakan Aetherium.
Elion, Aelric, dan Drakeon membuat perjanjian: mereka akan kembali ke kehidupan mereka—menulis, meneliti, dan belajar—tetapi mereka akan meninggalkan pesan di buku mereka. Pesan itu berisi sumpah untuk bertemu setiap tanggal tertentu di tempat yang telah disepakati di Aetherium (Menara Tiga Zaman), untuk memantau waktu dan ruang, dan untuk menghadapi panggilan apa pun di masa depan.
Mereka menyentuh buku mereka untuk terakhir kalinya, dan tiga portal itu menyedot mereka kembali.
Jakarta, São Paulo, Tokyo.
Mereka kembali, tetapi mereka sekarang membawa dua dunia di pundak mereka. Elion mulai menulis novel fiksi ilmiah fantasi yang sangat sukses—kisah tentang sebuah dunia di balik buku. Aelric mengajukan teori
Ade Fuji Alawiah
TIGA KUNCI AETHERIUM
Bab: Gerbang Buku Tua
Di sebuah pagi yang basah di Jakarta, Elion (23), seorang penulis muda yang hidup dari fiksi, menemukan sebuah buku di tumpukan loak usang. Sampulnya terbuat dari kulit yang terasa hangat, tidak seperti kertas biasa, dan tidak memiliki judul. Di saat yang sama, di laboratorium yang sibuk di São Paulo, Aelric (40), seorang ahli fisika teoretis yang skeptis, menerima paket misterius berisi buku yang sama persis, dikirim oleh kolega yang tidak ia kenal. Dan jauh di Tokyo yang ramai, Drakeon (17), seorang pelajar dengan minat pada mitologi kuno, menemukan buku itu tersembunyi di balik rak kuno di perpustakaan sekolahnya.
Saat ketiganya membuka halaman pertama, sebuah sensasi aneh menjalar.
Bagi Elion, tinta di halaman itu berputar menjadi kabut hijau, menyedot udara keluar dari paru-parunya sebelum ia jatuh melalui bingkai jendela apartemennya—bukan ke jalan di bawah, tetapi ke dalam Hutan Senja, tempat pohon-pohon menjulang tinggi menembus langit ungu yang abadi.
Aelric, yang sedang memindai spektrum aneh dari sampul buku, melihat halaman-halaman itu memudar. Ia mendapati dirinya berdiri di atas Padang Kristal, di mana setiap bilah rumput adalah pecahan kaca yang memantulkan seribu bintang yang dingin.
Drakeon, yang sedang mencatat lambang yang terukir, merasakan tarikan gravitasi terbalik. Ia melayang ke dalam Lembah Gema, sebuah jurang sunyi yang dikelilingi oleh pilar batu yang berbisik dengan suara masa lalu.
Mereka bertiga tersentak, terpisah oleh jarak dunia mereka, namun kini bersatu di dalam Aetherium, dunia yang dibentuk oleh imajinasi dan waktu yang terpelintir. Yang lebih aneh, mereka dapat mendengar pikiran dan merasakan kehadiran satu sama lain, seperti benang takdir yang baru terjalin.
“Siapa di sana? Aku di mana?” seru Elion dalam hati, panik.
“Suaramu… aku tidak bisa melihatmu, tapi aku bisa mendengarmu,” jawab Aelric, nadanya datar namun penuh kekhawatiran ilmiah.
“Buku itu… itu nyata. Lihat halaman kalian!” sela Drakeon, suaranya tegang.
Mereka menoleh ke buku yang masih mereka pegang. Halaman di buku itu berubah. Bukan lagi kisah yang dicetak, tetapi sebuah Peta Keberadaan, sebuah teka-teki kuno. Di tengah peta itu, terukir: “Untuk kembali, tiga kunci harus disatukan di Menara Tiga Zaman. Kunci berada di balik Tiga Teka-teki. Waktu semakin menipis.”
Mereka tahu, secara naluriah, bahwa mereka adalah satu-satunya yang tersisa di dunia ini yang memegang buku-buku yang terhubung ini.
Perjalanan pun dimulai. Dipandu oleh gambaran samar dan bisikan kuno yang mengalir dari buku, mereka bergerak menuju pusat Aetherium.
Elion, dengan keahliannya merangkai cerita, harus memecahkan sandi lisan dari Peri Bahasa yang Lupa di Hutan Senja. Ia harus merangkai kata-kata menjadi kisah yang hilang untuk mendapatkan Kunci Pertama: Lencana Narasi.
Aelric, dengan pemikirannya yang logis, menghadapi Gaya Gravitasi yang Berubah di Padang Kristal, yang menuntutnya untuk menghitung spektrum cahaya dari bintang-bintang yang memantul. Ia harus membuktikan bahwa sains dan keajaiban adalah dua sisi dari koin yang sama untuk mendapatkan Kunci Kedua: Kompas Logika.
Drakeon, dengan pengetahuan mitologinya, harus menenangkan Kraken Bayangan yang bersembunyi di Lembah Gema, entitas yang hidup dari ketakutan. Ia menggunakan mantra-mantra kuno yang ia baca, yang dulu hanya ia anggap sebagai cerita rakyat, untuk mendapatkan Kunci Ketiga: Jimat Keberanian.
Setiap kali mereka berhasil, halaman buku mereka akan menyala, dan mereka merasakan koneksi mereka menguat. Namun, semakin dekat mereka ke Menara Tiga Zaman, semakin nyata bahaya yang mereka hadapi. Mereka dikejar oleh Siluet Gelap, bayangan tanpa wajah yang berusaha merebut buku itu dan mengunci Aetherium selamanya. Siluet Gelap ini adalah manifestasi dari keputusasaan dan kehampaan yang lahir dari kegagalan para penjaga buku sebelumnya.
Akhirnya, dengan luka-luka di tubuh dan semangat yang hampir padam, mereka bertemu di kaki Menara Tiga Zaman, sebuah struktur yang menjulang tinggi, terbuat dari batu yang menua dan logam yang berkilauan, yang menyentuh langit.
Di puncak menara, Siluet Gelap sudah menunggu, memancarkan aura dingin.
“Kalian terlambat. Buku ini adalah penjara, dan kalian tidak akan pernah melihat dunia kalian lagi,” bisik bayangan itu, suaranya seribu rintihan.
Elion, Aelric, dan Drakeon berdiri berdampingan.
“Tidak,” kata Elion, memegang Lencana Narasi. “Buku ini bukan penjara. Ini adalah cerita. Dan kami yang akan menuliskan akhirnya.”
Aelric menambahkan, sambil memegang Kompas Logika. “Setiap cerita memiliki aturan. Dan aturannya mengatakan, jika tiga benang bertemu, mereka membentuk simpul yang tidak dapat diputuskan.”
Drakeon menyelesaikan, memegang Jimat Keberanian. “Kami tidak takut pada kehampaan. Kami adalah kenyataan.”
Mereka menggabungkan ketiga kunci. Lencana Narasi, Kompas Logika, dan Jimat Keberanian menyatu menjadi satu cahaya terang yang melingkari Siluet Gelap. Cahaya itu bukan serangan, tetapi harmonisasi. Itu mengisi kekosongan Siluet Gelap dengan narasi, logika, dan keberanian—elemen-elemen yang diperlukan untuk keseimbangan Aetherium.
Siluet Gelap tidak hancur, tetapi berubah wujud menjadi Penjaga Gerbang, sebuah sosok bijaksana yang membungkuk.
“Jalan kembali terbuka. Pilih dengan bijak, pelancong,” kata Penjaga Gerbang, menunjuk ke sebuah halaman terakhir di buku yang kini bersinar. Halaman itu menunjukkan tiga portal: satu ke Jakarta, satu ke São Paulo, dan satu ke Tokyo.
Elion, Aelric, dan Drakeon saling memandang. Mereka telah melintasi batas-batas dunia, berbagi bahaya, dan memikul takdir. Mereka bukan lagi penulis, ilmuwan, dan pelajar, tetapi Penjaga Baru Aetherium.
Dengan senyum pahit, mereka mengangguk.
“Sampai kita bertemu lagi,” bisik Drakeon.
“Pasti,” jawab Aelric.
Elion menarik napas dalam-dalam, memegang buku yang sekarang terasa ringan. “Dunia ini… perlu diceritakan.”
Mereka melangkah bersama ke dalam cahaya, dan tiga portal itu menutup di belakang mereka.
Elion terbangun di lantai kayu apartemennya, buku itu jatuh terbuka di sebelahnya. Aroma kopi pagi menyambutnya, dan suara klakson Jakarta terdengar normal. Di São Paulo, Aelric mendapati dirinya duduk di kursi lab, spektrometer di depannya menunjukkan pembacaan yang tidak mungkin. Dan di Tokyo, Drakeon berdiri di samping rak perpustakaan, di mana debu dari buku kuno masih menempel di seragamnya.
Mereka kembali. Namun, di pergelangan tangan mereka, masing-masing terdapat tato samar yang menyerupai simbol buku yang saling terkait.
Mereka kembali, tetapi mereka bukan lagi diri mereka yang lama. Mereka tahu, suatu hari, halaman pertama buku itu akan menyala lagi, dan panggilan Aetherium akan menarik mereka kembali ke dunia di mana takdir adalah sebuah kisah yang selalu menunggu untuk ditulis.
Apakah mereka bisa kembali? Ya, mereka bisa.
Apakah mereka terjebak selamanya? Tidak, tetapi mereka sekarang terikat pada dunia itu selamanya. Dan mungkin, itulah takdir yang lebih hebat.
Bab Kedua: Panggilan di Tengah Malam
Tiga bulan berlalu sejak Elion kembali ke Jakarta. Ia mencoba kembali menulis fiksi romansa, namun setiap kata terasa hampa. Pikirannya dipenuhi oleh Hutan Senja dan bisikan Peri Bahasa yang Lupa. Buku misterius itu, yang kini ia simpan di dalam brankas, terasa dingin. Tato samar di pergelangan tangannya terasa panas.
Di São Paulo, Aelric tidak lagi fokus pada teori fisika arus utama. Ia menghabiskan malam-malamnya mencoba memetakan energi yang memancar dari Kompas Logika, sebuah sisa daya yang ia rasakan tertanam dalam dirinya. Skeptisisme ilmiahnya telah runtuh, digantikan oleh obsesi untuk memahami bagaimana fisika dan fantasi berinteraksi di Aetherium.
Sementara itu, di Tokyo, Drakeon berjuang untuk mempertahankan rutinitas sekolahnya. Setiap kali ia melihat bayangannya sendiri, ia teringat pada Kraken Bayangan dan rasa takut yang harus ia taklukkan. Ia sering kali membolak-balik buku-buku mitologi, mencari petunjuk tentang Penjaga Gerbang dan mengapa mereka dipilih.
Retakan di Dunia
Ketiga individu itu mulai menyadari bahwa Aetherium tidak sepenuhnya melepaskan mereka. Dunia mereka mulai menunjukkan retakan.
Di Jakarta, Elion melihat pola aneh di hujan. Tetesan air yang jatuh terkadang tampak berhenti di udara selama sepersekian detik, melanggar hukum gravitasi. Kemudian, ia menemukan bahwa tokoh-tokoh dari cerita-cerita yang ia abaikan selama ini (seorang Ksatria Perunggu, seekor Naga Kecil dari draf lama) muncul sebagai bayangan samar di keramaian kota, lalu menghilang.
Di São Paulo, eksperimen Aelric mulai menimbulkan konsekuensi yang tak terduga. Instrumennya mendeteksi gelombang energi aneh yang berasal dari non-ruang, dan yang paling mengkhawatirkan, sebuah portal mikro terbuka di ruang labnya—seukuran telapak tangan, tetapi ia bisa melihat sepotong Padang Kristal yang dingin di dalamnya. Sesuatu yang menyerupai laba-laba kristal merangkak keluar sebelum portal itu menutup.
Di Tokyo, Drakeon memperhatikan bahwa gema dari Lembah Gema mulai menyusup ke dunianya. Ketika ia memasuki perpustakaan sekolah yang sunyi, ia bisa mendengar bisikan tak terhitung yang tumpang tindih—suara masa lalu yang seharusnya hanya ada di Aetherium. Suara-suara itu memperingatkan tentang Anomali Waktu, yang mengancam untuk mencampuradukkan lini masa mereka.
Panggilan Kedua
Suatu malam, tepat tengah malam di zona waktu mereka masing-masing, buku itu bereaksi. Brankas Elion mengeluarkan cahaya hijau, lab Aelric dipenuhi cahaya keemasan, dan rak perpustakaan Drakeon diselimuti cahaya perak.
Elion berlari ke brankas, Aelric mendekati sumber cahaya di labnya, dan Drakeon tiba-tiba mendapati buku itu sudah ada di tangannya.
Mereka membuka halaman pertama secara bersamaan. Kali ini, bukan peta, melainkan sebuah pesan yang berdetak dalam bahasa yang mereka pahami, namun ditulis dengan tinta bergerak:
> “Anomali Waktu merebak. Aetherium membutuhkan Penjaga untuk menetapkan kembali Zaman. Jika tidak, dunia kalian akan kehilangan masa lalunya, dan masa depannya akan hilang. Temui kami di Kota Terbalik.”
>
Kali ini, tidak ada penarikan paksa. Ada pilihan.
Elion, merasa bertanggung jawab atas entitas fiksi yang mulai ia lihat, bertekad. Aelric, terdorong oleh kebutuhan ilmiah untuk memperbaiki anomali spasial-temporal ini, mengangguk pada dirinya sendiri. Drakeon, merasa terhormat dan takut dengan peran barunya sebagai Penjaga, menggenggam erat jimatnya.
Mereka menyentuh halaman yang bersinar.
Dalam sekejap, Elion tidak lagi di apartemennya, melainkan berdiri di atas atap sebuah menara jam kuno. Aelric mendapati dirinya tergantung di udara, melihat kota di bawahnya. Drakeon terhuyung-huyung di tangga batu yang memutar.
Mereka berada di Kota Terbalik, sebuah metropol di Aetherium yang hancur dan melayang, di mana bangunan-bangunan berdiri di atas atap mereka dan air terjun mengalir ke atas.
Tugas Baru: Menetapkan Kembali Zaman
Di tengah alun-alun kota, Penjaga Gerbang yang bijaksana menunggu. Di sebelahnya ada dua entitas yang aneh: seorang Krono-Ahli yang terbuat dari pasir jam yang bergerak, dan Matahari Kuno—bola cahaya yang memancarkan panas yang hampir tidak tertahankan.
“Selamat datang kembali, Penjaga,” sapa Penjaga Gerbang. “Kalian telah kembali dengan sukarela, menunjukkan bahwa ikatan kalian dengan Aetherium kuat.”
Penjaga Gerbang menjelaskan: Ketika mereka pergi, mereka tidak sepenuhnya membersihkan Siluet Gelap. Energi kekosongan itu menyebabkan Anomali Waktu—titik-titik di Aetherium di mana waktu berjalan maju, mundur, atau melompat-lompat secara acak. Ini mengancam untuk merobek benang waktu dan menyebabkan bencana di dunia asal mereka.
Tugas mereka adalah menemukan dan mengaktifkan kembali tiga Kristal Kronos yang tersembunyi, yang akan menstabilkan waktu di Aetherium.
* Elion harus pergi ke Gurun Waktu yang Dilipat, di mana ia harus menulis ulang kisah yang diputarbalikkan di pasir untuk mengaktifkan Kristal Naratif.
* Aelric harus melakukan perjalanan ke Lubang Hitam Mini yang mengambang, di mana ia harus memecahkan persamaan kosmik yang mustahil untuk mengaktifkan Kristal Eksponensial.
* Drakeon harus menghadapi hantu-hantu pahlawan dari masa lalu di Makam Pahlawan yang Terlupakan dan mendapatkan restu mereka untuk mengaktifkan Kristal Keabadian.
Mereka harus bergerak cepat, karena Anomali Waktu semakin memburuk. Tiba-tiba, sebuah bangunan di sebelah mereka berubah dari batu modern menjadi reruntuhan Romawi dan kembali lagi, dalam sekejap mata.
Mereka tahu bahwa kali ini, konsekuensinya bukan hanya terjebak, tetapi menghapus keberadaan mereka di dunia asal.
Ketiga Penjaga Baru itu mengangguk, tanpa perlu bertukar kata. Mereka meraih buku mereka, yang kini berfungsi sebagai kompas.
Elion menghilang dalam pusaran tinta. Aelric menghilang dalam kilatan perhitungan. Drakeon menghilang di balik bayangan kuno.
Panggilan kedua telah dimulai. Ikatan mereka yang terjalin saat pertama kali memasuki dunia ini, kini menjadi satu-satunya pertahanan terakhir untuk menjaga keutuhan dunia mereka.
Apakah mereka akan berhasil menstabilkan waktu, atau justru menjadi korban dari Anomali Waktu, terhapus dari eksistensi, terjebak di antara masa lalu dan masa depan?
Bab Terakhir: Tiga Kristal, Satu Takdir
Mereka bertiga berpacu melawan waktu, yang kini bukan lagi metafora, melainkan musuh yang nyata. Di Kota Terbalik, Penjaga Gerbang dan dua entitas waktu menyaksikan dengan cemas bagaimana bangunan-bangunan di sekitar mereka berkedip dalam berbagai era—dari gua prasejarah hingga menara futuristik.
Elion dan Kristal Naratif
Elion tiba di Gurun Waktu yang Dilipat, sebuah hamparan pasir yang diwarnai oleh senja abadi. Di sini, setiap butir pasir adalah momen yang hilang, dan setiap bukit pasir adalah alur cerita yang terputus.
Ia menemukan Kristal Naratif di tengah badai pasir yang bergerak mundur. Kristal itu kusam, dan di sekitarnya, ia melihat Kisah yang Diputarbalikkan: para pahlawan yang kalah sebelum bertarung, orang-orang yang hidup setelah mati, dan akhir cerita yang datang di awal. Ini adalah manifestasi dari semua draf buruk dan penghapusan yang dilakukan oleh pikiran kolektif Aetherium.
Dengan memegang buku, Elion menyadari tugasnya: ia harus menjadi Narator Utama. Ia mulai berbicara, menulis di udara dengan ujung jarinya. Ia menceritakan kembali kisah-kisah yang terpelintir, memberikan mereka awal, tengah, dan akhir yang benar.
“Ksatria Perunggu, bangkitlah dari kekalahan di awal! Kekuatanmu terletak pada pertarungan, bukan pada keputusasaan,” ia berbisik. “Wahai Kota, kamu hidup, kamu tidak mati! Ceritamu belum selesai!”
Saat Elion mengucapkan kata-kata itu dengan keyakinan penuh, Lencana Narasi di tangannya bersinar. Pasir badai berhenti bergerak mundur, dan Kristal Naratif menyala dengan cahaya merah hangat, memancarkan aliran waktu yang mantap ke sekitarnya.
Elion berhasil mengunci Kristal Pertama.
Aelric dan Kristal Eksponensial
Aelric muncul di tepi Lubang Hitam Mini, sebuah anomali spasial yang mengambang di kehampaan Aetherium. Tarikan gravitasinya kuat, mengancam untuk merobeknya berkeping-keping.
Kristal Eksponensial berada tepat di mulut lubang hitam, terbungkus dalam bidang energi yang bergetar secara kacau. Tugas Aelric adalah memecahkan Persamaan Kosmik yang Mustahil yang tertulis di bidang energi itu—sebuah rumus yang menggabungkan fisika alam semesta mereka dengan logika imajiner Aetherium.
“Fisika murni tidak berlaku di sini,” gumam Aelric. Ia menggunakan Kompas Logika-nya, bukan untuk mengukur, tetapi untuk memprediksi ketidakmungkinan. Ia harus meninggalkan ketergantungan pada hukum alam dan merangkul kemungkinan tak terbatas dari dunia fiksi.
Ia mulai menulis ulang persamaan itu di udara, menggantikan variabel yang mustahil (i – imajiner) dengan yang ajaib (a – Aetherium), dan memecahkan persamaan yang menghasilkan nilai t, waktu absolut Aetherium. Ketika ia menyelesaikan baris terakhir, bukannya angka, yang ia tulis adalah “Keseimbangan”.
Dengan pengakuan bahwa realitas adalah masalah perspektif, Kompas Logika Aelric berputar cepat, dan Kristal Eksponensial menyala dengan cahaya biru es yang stabil, menjamin ruang yang konsisten. Lubang hitam itu menyusut, dan bidang energi menjadi tenang.
Aelric berhasil mengunci Kristal Kedua.
Drakeon dan Kristal Keabadian
Drakeon tiba di Makam Pahlawan yang Terlupakan, sebuah kuil di mana hantu para pahlawan dan entitas yang terlupakan dari mitos Aetherium berkeliaran. Kristal Keabadian disembunyikan di dalam sarkofagus utama, dijaga oleh Hantu Bayangan Kuno—manifestasi ketakutan kolektif bahwa mereka akan dilupakan.
Drakeon harus mendapatkan restu mereka; ia harus meyakinkan entitas-entitas yang telah lama mati ini bahwa kisah mereka akan terus diceritakan. Hantu Bayangan Kuno menyerangnya dengan ilusi kekalahan dan keraguan, mengancamnya dengan kehampaan yang ia taklukkan di masa lalu.
“Kalian tidak dilupakan!” teriak Drakeon, suaranya bergetar tetapi kuat. Ia memegang Jimat Keberanian dan mulai menceritakan kembali legenda para pahlawan yang ia kenal—mitologi dari dunianya dan dari Aetherium. Ia menceritakan tentang keberanian Peri Bahasa yang Lupa, keindahan Padang Kristal, dan sejarah Menara Tiga Zaman.
“Selama aku mengingatmu, kamu hidup!”
Keberanian Drakeon, bukan hanya dalam menghadapi ketakutan, tetapi dalam menghormati masa lalu, menenangkan para hantu. Mereka membungkuk dan menghilang. Jimat Keberaniannya memancarkan cahaya ungu yang menembus sarkofagus, dan Kristal Keabadian menyala dengan cahaya emas terang, menjamin memori yang utuh.
Drakeon berhasil mengunci Kristal Ketiga.
Penyatuan di Kota Terbalik
Ketiga Penjaga kembali ke Kota Terbalik. Mereka menemukan Penjaga Gerbang hampir tidak terlihat, dan Krono-Ahli terbuat dari pasir yang hampir habis. Waktu di Kota Terbalik bergetar hebat.
“Cepat! Satukan kristal itu di Segitiga Utama!” seru Penjaga Gerbang, menunjuk ke titik tengah alun-alun di mana terdapat alas batu yang bertuliskan simbol takdir yang terjalin.
Saat Kristal Naratif (merah), Kristal Eksponensial (biru), dan Kristal Keabadian (emas) diletakkan di alas, mereka melepaskan gelombang energi yang luar biasa. Energi tersebut tidak bertabrakan, tetapi menyatu, membentuk benang tunggal yang merambat ke seluruh Aetherium.
Getaran waktu berhenti. Bangunan-bangunan di Kota Terbalik menjadi statis, terkunci dalam bentuk yang aneh namun permanen. Aetherium diselamatkan.
Penjaga Gerbang tersenyum lega. “Kalian telah menulis takdir baru. Aetherium stabil. Sekarang, pilihan kalian…”
Ending: Ikatan Abadi
Penjaga Gerbang membuka tiga portal kembali ke dunia mereka.
Elion, Aelric, dan Drakeon berdiri bersama. Mereka telah melewati batas eksistensi dua kali. Mereka bukan lagi hanya teman seperjuangan, tetapi tulang punggung dari dunia yang kini mereka lindungi.
“Kita tidak bisa kembali dan berpura-pura semua ini tidak pernah terjadi,” kata Elion, melihat tato di pergelangan tangannya. “Kita adalah Penjaga.”
“Jika kita kembali, kita akan terus melihat retakan,” Aelric menyambung, matanya menunjukkan pemahaman yang tenang. “Aetherium butuh Penjaga yang aktif, yang memahami dunia mereka dan dunia ini.”
Drakeon mengangguk. “Tapi kita juga harus menjaga dunia kita. Tugas kita adalah menjadi jembatan.”
Mereka mengambil keputusan. Mereka tidak akan tinggal di Aetherium, juga tidak akan melupakan Aetherium.
Elion, Aelric, dan Drakeon membuat perjanjian: mereka akan kembali ke kehidupan mereka—menulis, meneliti, dan belajar—tetapi mereka akan meninggalkan pesan di buku mereka. Pesan itu berisi sumpah untuk bertemu setiap tanggal tertentu di tempat yang telah disepakati di Aetherium (Menara Tiga Zaman), untuk memantau waktu dan ruang, dan untuk menghadapi panggilan apa pun di masa depan.
Mereka menyentuh buku mereka untuk terakhir kalinya, dan tiga portal itu menyedot mereka kembali.
Jakarta, São Paulo, Tokyo.
Khumairah
JUDUL= DI UJUNG SENJA
Langit sore itu berwarna abu-abu muda, seperti menyembunyikan sesuatu yang tak ingin diungkapkan. Rin duduk di bangku halte, menatap air hujan yang menari di aspal. Tangannya menggenggam secangkir kopi kertas yang sudah dingin. Di seberangnya, toko buku kecil yang dulu sering mereka datangi kini tampak sepi. Hanya papan nama yang mulai pudar, dan kenangan yang masih menempel di kepalanya.
Tiga tahun lalu, di tempat yang sama, ia bertemu Damar.
Damar datang dengan kemeja yang kebesaran dan senyum canggung. Ia bertanya arah ke stasiun, padahal halte itu jelas-jelas berada di jalur yang berlawanan. Rin menertawakannya, dan entah bagaimana, percakapan sederhana tentang arah berubah menjadi obrolan panjang tentang buku, film, dan cita-cita. Hujan hari itu mempertemukan mereka, dan setiap rintik berikutnya seolah menjadi pengingat bahwa beberapa kebetulan memang terlalu indah untuk disebut kebetulan.
Mereka menjalani hubungan dengan sederhana: berbagi payung, berbagi cerita, berbagi diam. Damar selalu punya cara membuat keheningan menjadi nyaman. Tapi, waktu adalah sesuatu yang tidak bisa mereka bagi. Setelah lulus kuliah, Damar harus pindah ke kota lain untuk bekerja. “Hanya setahun,” katanya waktu itu, “nanti aku kembali.”
Setahun berlalu tanpa kabar. Pesan Rin tak pernah dibalas. Teleponnya berdering tanpa jawaban. Ia menunggu, menunggu, dan menunggu—sampai akhirnya menunggu itu sendiri menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan.
Kini, tiga tahun kemudian, hujan kembali turun di ujung senja. Rin tak lagi menunggu siapa pun—setidaknya itu yang ia yakini. Tapi ketika suara langkah kaki mendekat, ia menoleh, dan dunia berhenti sejenak.
Damar berdiri di sana. Basah, dengan jaket cokelat yang sama seperti dulu, dan tatapan yang penuh penyesalan.
“Halo, Rin,” katanya pelan. Suaranya serak, seperti sudah lama disimpan.
Rin tak menjawab. Matanya menatap ke cangkir kopi di tangannya, lalu ke hujan di luar. “Aku pikir kamu sudah lupa arah ke sini,” ucapnya lirih.
Damar tersenyum getir. “Aku sempat tersesat. Lama sekali. Tapi setiap kali hujan turun, aku selalu ingat halte ini.”
Keheningan jatuh di antara mereka. Hanya suara hujan dan napas yang tertahan. Rin ingin marah, ingin menumpahkan segala kecewa yang ia simpan, tapi waktu seolah meluruhkannya. Ia hanya merasa letih, dan anehnya, juga lega.
“Aku nggak minta maaf,” kata Damar. “Karena aku tahu, kata itu nggak cukup. Tapi aku datang untuk menepati janji. Aku kembali.”
Rin menghela napas panjang. Ia menatap Damar, lama sekali, seolah mencari sisa-sisa lelaki yang dulu ia kenal di wajah yang kini lebih dewasa.
“Hujan masih sama,” ujarnya pelan, “tapi kita sudah tidak lagi seperti dulu.”
Damar menunduk. “Mungkin. Tapi aku ingin mulai lagi—kalau kamu mau.”
Rin tersenyum tipis. Ia meletakkan cangkir kopinya, berdiri, lalu membuka payung.
“Hujan ini terlalu dingin untuk dikenang. Ayo jalan,” katanya.
Damar mematung sesaat, lalu melangkah di sampingnya. Mereka berjalan dalam diam, di bawah payung yang sama, sementara hujan terus turun, menulis ulang kisah yang pernah berhenti di ujung senja.
ren
bisakah saya ikut