Benarnya Kebohongan

pinterest.com

I

Sejak saya mengarang cerita pertama saya, orang sudah bertanya apakah yang saya tulis itu “benar”. Kendati jawaban saya kadang memuaskan keingintahuan, tiap kali menjawab pertanyaan yang khas itu, seberapa pun jujurnya, saya tertinggal dengan perasaan tidak enak karena telah mengucapkan sesuatu yang tak pernah kena pada pokok permasalahan.

Apakah novel itu benar atau bohong bagi sebagian orang sama pentingnya dengan apakah novel itu baik atau buruk, dan banyak pembaca—dengan sadar atau tidak sadar—menilai yang belakangan ini dari yang pertama tadi. Inkuisitor Spanyol misalnya, melarang penerbitan dan impor novel di koloni-koloni Spanyol di benua Amerika dengan argumen bahwa karya-karya yang absurd dan tak masuk akal ini—artinya: bohong—bisa berakibat buruk bagi kesehatan batin orang Indian. Atas alasan itulah, orang-orang Hispano-Amerika hanya membaca karya fiksi selundupan selama 300 tahun dan novel pertama—yang patut disebut novel—baru terbit di Amerika-Spanyol sesudah masa Kemerdekaan (di Meksiko, pada 1816). Dengan melarang bukan karya-karya tertentu melainkan genre sastra secara umum, Takhta Suci menetapkan sesuatu yang dalam pandangan mereka merupa­kan hukum tanpa kekecualian: bahwa novel senantiasa bohong, bahwa yang mereka suguhkan hanyalah pandangan palsu tentang kehidupan. Bertahun-tahun lalu, saya tulis sebuah karya olok-olok soal orang-orang dogmatis ini yang sanggup membuat generalisasi macam itu. Kini saya berpikir bahwa inkuisitor Spanyol barangkali adalah orang-orang pertama yang memahami—sebelum para kritikus dan novelis sendiri—watak karya fiksi dan kecenderungannya untuk menghasut.

Sebetulnya, novel memang berbohong—mereka tak bisa berbuat lain—tapi ini cuma separuh cerita. Paruh lainnya, bahwa dengan berbohong, mereka menyatakan kebenaran ganjil yang hanya bisa diungkap dengan gaya sembunyi dan terselubung, tersamar sebagai sesuatu yang tidak seperti adanya. Digambarkan demikian, hal ini terlihat seperti omong besar. Namun sebenarnya sungguh amat sederhana. Manusia tidak puas dengan nasibnya dan nyaris semuanya—kaya atau miskin, cemerlang atau biasa-biasa saja, termasyhur atau tidak—meng­inginkan hidup yang berbeda dari yang sedang mereka lakoni. Untuk meredakan—meski dengan cara yang menyimpang—rasa lapar tersebut, lahirlah karya fiksi. Mereka ditulis dan dibaca agar manusia memiliki kehidupan yang tanpanya mereka tidak siap. Dalam setiap novel bergolak pemberontakan, berdetak hasrat yang tak terpuaskan.

Apakah ini berarti novel sinonim dengan ketidaknyataan? Bahwa bajak laut-bajak laut introspektif karya Conrad, aristokrat lesu ala Proust, orang kecil-kecil tanpa nama yang dihukum oleh kekejian Franz Kafka, serta metafisikawan ruwet dalam cerpen-cerpen Borges, memikat atau mengharukan kita karena mereka tak ada kaitannya apa-apa dengan kita, karena mustahil bagi kita untuk mengidentifikasi pengalaman kita dengan mereka? Tentu saja tidak. Orang harus melangkah hati-hati sebab jalan ini—jalan kebenaran dan kebohongan dalam dunia fiksi—bertabur jebakan, dan oasis-oasis mengundang yang tampak di kaki langit biasanya hanya fatamorgana.

Apakah itu artinya novel senantiasa berbohong? Tidak seperti sangkaan para perwira dan kadet Akademi Militer Leoncio Prado, tempat novel pertama saya La ciudad y los perros ber­latar, sewaktu mereka membakar buku itu karena dianggap menjelek-jelekkan lembaga mereka. Atau sangkaan mantan istri saya ketika membaca novel saya yang lain, La tía Julia y el escribidor, yang karena merasa digambarkan secara keliru di situ, ia pun menerbitkan buku yang mencoba memulihkan kebenaran yang telah diubah oleh fiksi. Tentu saja dalam kedua cerita itu terdapat lebih banyak rekaan, pemelintiran, dan pelebih-lebihan ketimbang ingatan, dan sewaktu saya menuliskannya, saya tak pernah bermaksud untuk setia secara anekdotal pada peristiwa dan orang-orang yang mendahului atau berada di luar novel. Dalam kedua kasus itu, sebagaimana dalam segala sesuatu yang telah saya tulis, saya berangkat dari beberapa pengalaman yang masih segar dalam ingatan dan yang merangsang imajinasi saya, lalu saya khayalkan sesuatu yang mencerminkan bahan-bahan kerja ini dengan cara yang sangat tidak setia. Orang tidak menulis novel untuk mengisahkan ulang kehidupan, tapi lebih untuk mengubahnya dengan menambahi sesuatu. Dalam novelet-novelet karya penulis Perancis Restif de la Bretonne, realitas tidak mungkin jadi lebih fotografis lagi. Novelet-noveletnya adalah katalog adat istiadat Perancis abad ke-18. Dalam sketsa-sketsa gaya costumbrista[1] yang banyak makan tenaga, di mana segala sesuatunya mendekati kehidupan nyata, toh kita temukan juga sesuatu yang berbeda, secuplik namun menggegerkan. Bahwa di dunia ini, kaum lelaki tidak jatuh cinta pada perempuan gara-gara kemurnian sosok mereka, keanggunan tubuh mereka, nilai-nilai spiritual mereka dan semacam­nya, tapi melulu karena keindahan kaki mereka (atas alasan itulah, fetisisme sepatu ini dinamai “bretonisme”). Dengan cara yang kurang kasar dan kurang eksplisit, dan juga kurang sadar, semua novel membentuk ulang realitas—menghiasi atau memperburuknya—sama seperti yang diperbuat si royal Restif dengan keluguan yang demikian nikmat. Dalam imbuhan-imbuhan subtil maupun mencolok pada kehidupan ini, di mana sang novelis memberi wujud bagi obsesi-obsesi rahasianya, terhamparlah orisinalitas sebuah fiksi. Orisinalitas ini makin mendalam bila ia makin mengekspresikan kebutuhan umum dan bila makin banyak pembaca yang bisa, sepanjang ruang dan waktu, mengidentifikasi dalam barang haram selundupan kehidupan ini hasrat-hasrat terpendam dan samar yang mengusik mereka. Bisakah saya, dalam novel-novel yang saya sebut­kan, dengan teliti mencoba bersikap eksak dengan ingatan saya? Tentu. Namun sekalipun saya telah men­capai prestasi menjemukan untuk hanya mengisahkan fakta-fakta nyata dan meng­gambarkan tokoh-tokoh yang biografinya nyaris cocok dengan novel-novel mereka, atas semua itu novel-novel saya takkan jadi berkurang bohongnya atau jadi lebih benar ketimbang sekarang.

Sebab bukan ceritanya yang menentukan secara hakiki benar bohongnya sebuah karya fiksi. Melainkan bahwa cerita tersebut ditulis alih-alih dihidupi, di­susun dari kata-kata dan bukan dialami secara konkret. Fakta mengalami perubahan mendasar ketika diterjemahkan ke dalam bahasa. Fakta riilnya cuma ada satu—pertempuran berdarah tempat saya terlibat, siluet Gothik seorang wanita muda yang saya cintai—sementara tanda-tanda yang bisa meng­gambarkannya tak terbilang jumlahnya. Dengan memilih sebagian dan membuang yang lain, sang novelis mengistimewakan yang satu dan membunuh ribuan kemungkinan serta versi lainnya dari apa yang ia perikan. Karena itulah ia berubah: apa yang digambarkan menjadi apa yang tergambarkan. Apakah saya merujuk hanya pada kasus penulis realis—sekte, aliran, atau tradisi tempat saya tak syak lagi turut di dalamya, yang novel-novelnya mengisahkan ulang peristiwa-peristiwa yang sedapat mungkin dikenali para pembaca lewat penghayatan pengalaman mereka sendiri akan realitas? Sepertinya tampak bahwa bagi penulis fantasi, yang menggambarkan dunia-dunia yang tak bisa dikenali dan nyata-nyata non-eksis, perbandingan antara realitas dan fiksi ini bahkan tidak timbul. Toh bagaimana pun ia timbul, meski dengan jalan yang berbeda. “Irealitas” sastra fantasi bagi pembaca menjadi sebuah simbol atau alegori, artinya: representasi realitas, represen­tasi pengalaman yang bisa diidentifikasi dalam hidup. Yang penting adalah: bukan watak “realis­” atau “fantasi” sebuah cerita yang menarik garis antara kebenaran dan kebohongan karya fiksi.

Mengikuti transformasi pertama ini—bahwa kata ditimpakan pada fakta—ada transformasi kedua yang tak kalah radikal: transformasi waktu. Kehidupan nyata mengalir dan tidak berhenti. Ia tidak bisa dibandingkan, sebuah khaos di mana setiap cerita berbaur dengan seluruh cerita lainnya dan karenanya tak pernah bermula atau berakhir. Kehidupan fiksional adalah sebuah simulakra di mana ketidakteraturan yang memusingkan menjadi keteraturan: organisasi, sebab akibat, awal dan akhir. Kedaulatan sebuah novel tidak hanya diturunkan dari bahasa tempatnya dituliskan. Melainkan juga dari sistem temporalnya, dari jalan tempat eksistensi mengalir di dalamnya: kapan ia berhenti, kapan ia mempercepat diri, serta perspektif kronologis dari mana sang narator menggambarkan waktu rekaan ini. Bila ada jarak antara kata dan fakta, maka senantiasa ada jurang antara waktu-riil dan waktu-fiksi. Waktu novelistik adalah tipu daya yang dirangkai guna mencapai efek psikologis tertentu. Di situ, masa lalu bisa datang sesudah masa kini—akibat mendahului sebab—sebagaimana dalam cerita Alejo Carpentier, Viaje a la semilla, yang dimulai dengan matinya seorang lelaki sepuh dan berlanjut dengan masa ia dikandung dalam rahim ibunya; atau bisa jadi ia hanya masa lampau yang jauh terpencil, yang tak pernah berhasil lebur dengan masa lampau terdekat dari mana sang narator bertutur, sebagai­mana terjadi dalam sebagian besar novel klasik; atau masa kini abadi tanpa masa lalu atau masa depan, sebagaimana dalam fiksi-fiksi Samuel Beckett; atau sebuah labirin di mana masa lalu, masa kini, dan masa depan hidup berdampingan dan saling meniadakan, seperti dalam The Sound and the Fury karya Faulkner.

Novel punya awal dan akhir, dan bahkan dalam novel-novel yang paling terputus-putus dan tak berbentuk, hidup mengambil makna yang bisa kita cerap, sebab mereka memberi perspektif bahwa kehidupan nyata tempat kita terbenam selalu menyangkal kita. Tatanan ini adalah reka cipta, tambahan oleh sang novelis, simulator yang sepertinya mencipta ulang kehidupan padahal sebenarnya sedang mengubahnya. Kadang secara halus, kadang secara kasar, fiksi mengkhianati kehidupan, membungkusnya dalam jalinan kata-kata yang mereduksi skalanya dan membuatnya bisa digapai pembaca. Karena itulah si pembaca ini bisa menilai, memahami, dan terutama menghayatinya, dengan impunitas yang tak dibolehkan oleh kehidupan nyata.

Lalu apa bedanya karya fiksi dengan artikel surat kabar atau kitab sejarah? Tidakkah semuanya tersusun dari kata-kata? Tidakkah mereka memenjarakan dalam waktu artifisial penceritaan suatu arus tak bertepi yang bernama waktu riil itu? Jawaban saya adalah: mereka ini sistem-sistem yang saling bertentangan dalam mendekati realitas. Bila novel mem­berontak dan melam­paui kehidupan, genre-genre yang lain itu hanya bisa menjadi hambanya. Gagasan tentang bohong atau benar berfungsi dengan cara yang berbeda dalam masing-masing kasus. Bagi jurnalisme atau sejarah, kebenaran bergantung pada perbandingan antara apa yang dituliskan dengan ke­nyataan yang mengilhaminya. Semakin dekat satu dengan yang lain, makin benarlah ia; semakin jauh, semakin menipu. Menyebut Sejarah Revolusi Perancis karya Michelet atau Sejarah Penaklukan Peru karya Prescott itu “novelistik” berarti menghina mereka, mencibir bahwa mereka kurang serius. Di sisi lain, mendokumentasikan kekeliruan-kekeliruan historis dalam peng­gambaran Perang Napoleon di Perang dan Damai bakal buang-buang waktu: kebenaran sebuah novel tidak bergantung pada itu. Lalu pada apa? Pada kapasitas persuasinya sendiri, pada daya komuni­katif khayalannya, pada keterampilan magisnya. Setiap novel yang baik berkata benar dan setiap novel yang buruk berkata bohong. Sebab “berkata benar” untuk sebuah novel berarti membuat pembaca hidup dalam ilusi dan “berkata bohong” berarti tidak mampu menggapai muslihat ini. Bila demikian, novel adalah genre amoral, atau tepatnya: ia punya etika khususnya sendiri di mana kebenaran dan kebohongan merupakan konsep-konsep yang sepenuhnya estetik. Seni “mengalienasi”, inilah ketetapan anti-Brechtian: tanpa “ilusi”, tak ada novel.

Dari apa yang saya bilang hingga sekarang, fiksi bisa jadi terlihat seperti kreasi serampangan, trik memperdaya pikiran yang sekenanya saja. Justru sebaliknya, karena betapa pun mengigau kelihatannya, akar-akar fiksi menyerap gizinya dari pengalaman manusia. Tema yang muncul berulang kali sepanjang sejarah fiksi adalah risiko yang terkandung dalam melihat novel secara harafiah, percaya bahwa hidup adalah sebagaimana yang digambarkan novel. Roman-roman keksatriaan mengacau otak Alonso Quijano dan mendorongnya sepanjang jalan tempat ia bertempur melawan kincir angin, dan tragedi Emma Bovary takkan terjadi apabila tokoh Flaubert itu tidak mencoba menjadi seperti jagoan-jagoan wanita dalam novel-novel romantis yang ia baca. Meyakini bahwa realitas itu serupa fiksi, Alonso Quijano dan Emma rusak parah. Apakah kita mengutuknya untuk ini? Tidak, cerita mereka menggetarkan hati kita dan kita kagumi mereka: ikhtiar mustahil mereka untuk menghidupi fiksi bagi kita seperti mempersonifikasikan sikap idealis yang memberi kehormatan spesies manusia. Sebab cita-cita manusia par excellence adalah menjadi beda dari apa adanya kita. Hasrat ini telah menjadi cikal bakal momentum-momentum terbaik dan terburuk dalam sejarah. Ia juga mem­buahkan kelahiran karya fiksi.

Ketika kita membaca novel, kita bukan cuma menjadi diri sendiri, tapi juga tokoh-tokoh pembangkit khayalan yang ke tengah-tengah merekalah sang novelis memindahkan kita. Kepindahan ini sebuah metamorfosis: selubung menyesakkan dari kehidupan nyata kita tersibak dan kita me­ninggalkannya untuk jadi orang lain, menjalani pengalaman-pengalaman akrab yang di­bikin se­perti pengalaman kita sendiri oleh novel. Impian jernih, khayal menjelma, fiksi menggenapi keberadaan kita yang buntung-buntung, keberadaan yang telah menimpakan pada kita dikotomi mengerikan untuk hanya mempunyai satu kehidupan serta hasrat dan fantasi untuk punya seribu kehidupan. Ruang sela antara kehidupan nyata kita dengan hasrat dan fantasi yang menuntutnya agar lebih kaya dan beragam inilah yang menjadi kancah fiksi.

Di jantung semua karya fiksi, protes menyala-nyala. Orang yang mengkhayalkannya berbuat demikian karena mereka tidak bisa menghidupinya, dan siapa pun yang membacanya (dan menciptanya lewat pembacaan) menemukan dalam bayang-bayang mereka wajah dan petualangan yang perlu ia imbuhkan ke dalam hidupnya. Inilah kebenaran yang diungkapkan oleh kebohong­an fiksi: kebohongan yang adalah diri kita sendiri, kebohongan yang menenteramkan kita dan mem­beri kompensasi atas nostalgi dan frustrasi kita. Rasa percaya macam apa, kalau begitu, yang bisa kita punya tentang apa yang diucapkan novel perihal masyarakat yang melahirkannya? Adakah orang-orangnya seperti itu? Memang, dalam arti bahwa mereka ingin jadi seperti itu. Bahwa seperti itulah mereka melihat diri sendiri bercinta, menderita, dan mereguk kenikmat­an. Kebohongan-kebohongan ini tidak mendokumentasikan hidup mereka, tapi mendokumen­tasi­kan hasrat-hasrat terpendam yang bergolak, mimpi-mimpi tempat mereka menemukan nikmat, yang mem­buat hidup yang mereka jalani jadi lebih tertanggungkan. Suatu zaman tidak hanya disesaki oleh makhluk-makhluk berdarah daging; tapi juga oleh hantu-hantu tempat makhluk-makhluk ini berubah guna mendobrak batas-batas yang mengekang dan membikin mereka frustrasi.

Kebohongan novel tak pernah tanpa alasan: mereka memberi ganti atas tidak memadainya hidup. Atas alasan itulah, ketika hidup tampak penuh dan mutlak berkat iman yang memberi pembenaran dan menyangga segala sesuatu, manusia pun puas dengan nasibnya, dan novel biasanya tak punya fungsi. Budaya-budaya religius menghasilkan puisi dan teater tapi jarang novel-novel besar. Karya fiksi adalah seni suatu masyarakat yang imannya sedang menghadapi krisis tertentu, di mana orang perlu percaya pada sesuatu, di mana visi yang satu, absolut dan ter­percaya di­gantikan oleh visi yang retak serta ketidakpastian tentang dunia yang ditinggali seseorang be­serta dunia akhiratnya. Kalau begitu, dalam isi perut novel kita temukan bukan hanya amoralitas, tapi juga skeptisisme tertentu. Ketika budaya religius mengalami krisis, hidup tampak meng­gelincir keluar dari struktur, dogma-dogma, serta aturan yang mengikat mereka dan kembali pada khaos. Inilah momen istimewa bagi fiksi. Tatanan artifisialnya memberi perlindungan dan ke­amanan, serta membolehkan pemampangan bebas nafsu-nafsu dan rasa takut yang disulut oleh kehidupan nyata namun yang tak bisa dipuaskan atau dibebaskannya itu. Fiksi adalah pengganti sementara kehidupan. Kembali pada realitas selalu menjadi pemiskinan brutal: kesadaran bahwa kita kurang dari apa yang kita impikan. Ini berarti ketika fiksi meredakan sementara ketidakpuasan manusia, mereka juga memberinya bara dengan mengaduk-aduk hasrat dan imajinasi.

Inkuisitor Spanyol paham bahaya ini. Menjalani hidup yang tidak dimiliki sendiri adalah biang keresahan, ketidaksepakatan dengan eksistensi yang bisa menjadi pemberontakan, sikap tak hendak tunduk pada apa-apa yang mapan. Maka bisa dipahami mengapa rezim-rezim yang bercita-cita mengontrol total kehidupan tidak memercayai novel dan menundukkannya di bawah sensor. Keluar dari diri sendiri, menjadi orang lain, betapa pun ilusif caranya, adalah jalan untuk sedikit berhenti menjadi budak dan mencecap risiko-risiko kebebasan.

II

“Keadaan bukanlah seperti apa kita melihatnya, tapi seperti apa kita mengingatnya,” tulis Valle-Inclán. Tak pelak lagi ia merujuk pada keadaan dalam sastra, sebuah ketidaknyataan yang dengan daya persuasi seorang penulis yang baik serta kerelaan untuk percaya dari pembaca yang baik bisa menghasilkan kenyataan yang langka.

Hampir bagi setiap penulis, kenangan adalah titik mula fantasi, landasan yang meluncurkan imajinasi menuju fiksi dalam arah terbangnya yang tak bisa diprediksi. Kenangan dan penciptaan bercampur dalam sastra kreatif dengan sebuah cara yang kerap tak terhindarkan bagi penulisnya sendiri. Meski boleh jadi ia berpura-pura sebaliknya, ia tahu bahwa pemunculan kembali waktu silam ke mana sastra mengarah akan selalu berupa simulakra, sebuah fiksi di mana apa yang dikenang lebur dengan apa yang diimpikan dan sebaliknya.

Atas alasan itulah sastra adalah ranah sempurna bagi ambiguitas. Kebenaran-kebenarannya senantiasa subjektif, separuh benar, relatif, kebenaran-kebenaran sastrawi yang ketidakakuratannya sering mencolok atau malah secara historis bohong. Meski pertempuran sinematik Waterloo yang tampil dalam Les Misérables menggugah kita, kita tahu bahwa ini adalah kontes yang dipertarungkan dan di­menang­kan oleh Victor Hugo, bukan kontes tempat Napoleon mengalami kekalahan. Atau, untuk mengutip roman klasik Valencia abad pertengahan, penaklukan Inggris oleh orang Arab yang dijabarkan dalam Tirant lo Blanc sangatlah meyakinkan dan tak seorang pun berani menyanggah kepersisan realismenya dengan argumen sepele bahwa dalam sejarah aslinya pasukan Arab tak pernah menyeberangi Kanal Inggris.

Dari kaidah objektivitas historis, rekonstruksi masa lalu dalam operasi sastra nyaris selalu palsu. Kebenaran sastra adalah satu hal, kebenaran historis lain perkara. Tapi kendati penuh kebohongan—atau malah justru karena itu—sastra mengisahkan ulang sejarah yang tidak bisa atau tidak sanggup ditulis oleh sejarah tulisan sejarawan.

Sebab tipu muslihat, akal-akalan, dan pelebih-lebihan sastra naratif dipakai untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran mendalam dan meresahkan yang hanya bisa melihat terangnya hari dengan cara tak langsung ini.

Ketika Joanot Martorell memberi tahu kita dalam Tirant lo Blanc bahwa putri Perancis begitu putihnya sampai-sampai orang bisa melihat anggur mengaliri kerongkongannya, ia memberitahu kita sesuatu yang muskil secara teknis, tapi toh di bawah guna-guna pembacaan ia tampak bagi kita sebagai kebenaran abadi. Sebab dalam realitas semu novel, tidak seperti yang terjadi dalam realitas kita sendiri, keberlebihan selalu lumrah, tak pernah menjadi perkecualian. Dan tak ada yang berlebih bila segalanya berlebih. Di Tirant, keberlebihan ditemui dalam per­tempuran apokaliptis serta segenap ritualnya yang sangat teliti, dalam sepak terjang sang jagoan yang—sendirian saja—bisa mengalahkan orang banyak dan secara harafiah meluluh­lantakkan separuh jagat Kristen dan seluruh jagat Islam. Bisa juga ditemui dalam ritual-ritual kocak seperti ritual tokoh alim namun penuh berahi itu, yang menciumi para wanita tiga kali di mulut untuk menghormati Tritunggal Maha Suci. Dan asmara, dalam halaman-halamannya, ibarat perang, senantiasa eksesif dan berpeluang menjurus ke hasil-hasil yang kataklismik. Karenanya, tatakala Tirant untuk pertama kalinya melihat dalam gelap kamar penguburan tetek-tetek mem­busung Putri Carmesina, jatuhlah ia dalam kondisi yang nyaris ayan dan membujur berhari-hari di ranjang tanpa makan, tidur, atau berkata-kata. Ketika akhirnya sembuh, ia seolah-olah sedang belajar bicara sekali lagi. Kata-kata pertama yang diucapkannya terbata-bata adalah: “Aku cinta.”

Kebohongan-kebohongan ini tidak menggambarkan seperti apa orang Valencia pada akhir abad ke-15, tapi ingin jadi apa mereka dan apa yang ingin mereka lakukan. Bukan makhluk-makhluk berdarah daging dari zaman mengerikan itu yang di­gambarkan, tapi bayang-bayangnya. Nafsu mereka, ketakutan mereka, hasrat mereka, kekecewaan mereka diberi bentuk. Fiksi yang sukses menyimpan subjektivitas sebuah zaman, dan atas alasan itulah—meski bila dibandingkan dengan sejarah novel itu bohong—mereka mengomunikasikan pada kita kebenaran-kebenaran yang numpang lewat dan mudah menguap yang selalu luput dari deskripsi saintifik atas realitas. Hanya sastra yang memiliki teknik dan daya untuk menyuling ramuan mujarab kehidupan ini: kebenaran yang tersembunyi di jantung kebohongan manusia. Sebab dalam tipu muslihat sastra, tak ada tipu muslihat. Paling tidak semestinya tidak ada, terlepas dari orang-orang naif itu yang beranggapan sastra harus secara objektif setia, dan bergantung pada realitas seperti halnya sejarah. Dan tak ada tipu muslihat sebab manakala kita membuka sebuah buku fiksi, kita setel diri kita untuk menjadi saksi representasi, di mana kita tahu betul bahwa air mata atau kuap kantuk kita ter­gantung sepenuhnya pada baik buruknya guna-guna yang dimantrakan sang narator pada kita agar menghayati kebohongannya sebagai kebenaran, dan bukan pada kapasitasnya untuk mere­produksi pengalaman hidup secara setia.

Batas yang ditetapkan pasti antara sastra dan sejarah—antara kebenaran sastra dan kebenaran sejarah—merupakan hak prerogatif masyarakat-masyarakat terbuka. Dalam masyarakat-masyarakat ini, keduanya hidup berdampingan, merdeka dan berdaulat, meski saling melengkapi dalam hasrat utopisnya untuk mengikutsertakan seluruh masyarakat. Dan barangkali bukti terbesar bahwa suatu masyarakat itu terbuka—dalam arti yang diberikan Karl Popper pada istilah ini—adalah saling bersandingnya karya fiksi dan sejarah, secara otonom dan berbeda, tanpa melabrak atau merampas wilayah serta fungsi masing-masing.

Dalam masyarakat tertutup, sebaliknya yang berlaku. Dan atas alasan inilah, barangkali cara terbaik untuk merumuskan masyarakat tertutup adalah dengan berkata bahwa di dalamnya, fiksi dan sejarah tidak lagi berbeda. Mereka mulai rancu dan saling menggantikan, saling bertukar identitas seperti dalam pesta topeng.

Dalam sebuah masyarakat tertutup, kekuasaan bukan hanya memberi privilese dirinya untuk mengontrol tindakan-tindakan manusia—apa yang mereka perbuat dan apa yang mereka ucapkan—melainkan juga bercita-cita menguasai fantasi mereka, impian mereka, dan tentu saja, ingatan mereka. Dalam masyarakat tertutup, cepat atau lambat masa lalu akan menjadi subjek manipulasi  dengan sebuah pandangan untuk membenarkan masa kini. Sejarah resmi, satu-satunya sejarah yang dibolehkan, menjadi ajang transformasi magis ini, yang pernah dimasyhurkan oleh ensiklopedia Soviet (sebelum perestroika): tokoh-tokoh protagonis yang timbul tenggelam tanpa jejak, tergantung apakah mereka sedang dijunjung atau dienyahkan oleh kekuasaan yang ada, serta tindak tanduk para pahlawan dan penjahat yang berubah-ubah makna, derajat, dan substansinya dari edisi ke edisi, seraya diakomodasi dan direakomodasi oleh komite yang sedang berkuasa. Inilah praktik yang disempurnakan meski bukan diciptakan oleh totalitarianisme modern; asal muasalnya berpangkal pada fajar peradaban, yang relatif sampai belakangan ini selalu vertikal dan despotik.

Menata ingatan kolektif, mengubah sejarah menjadi alat pemerintah demi tujuan melegitimasi pemerintah berkuasa dan menyediakan alibi bagi perilaku busuk mereka, adalah godaan yang inheren dalam semua bentuk kekuasaan. Negara-negara totaliter bisa membuat godaan ini jadi kenyataan. Di masa lalu, tak terbilang banyaknya peradaban yang melakukan praktik ini.

Sanak sebangsa saya dahulu, orang Inca, misalnya. Mereka menerapkan kebijakan ini dengan cara yang kuasa dan teatrikal. Tatkala sang kaisar wafat, yang ikut wafat bersamanya bukan cuma para istri dan selir-selirnya, tapi juga kaum intelektualnya, yang disebut amautas, orang-orang bijak. Kearifan mereka secara mendasar diterapkan pada trik untuk mengubah fiksi menjadi sejarah. Sang Inca baru meraih kekuasaan dengan satu mahkamah amautas baru yang misinya me­reformasi ingatan resmi, mengoreksi masa lalu sedemikian rupa—orang boleh bilang memodernisirnya—sampai semua pencapaian, penaklukan, dan bangunan-bangunan yang umumnya dipertalikan dengan nenek moyangnya, mulai saat itu ditransfer masuk ke curriculum vitae sang kaisar baru. Berangsur-angsur para pendahulunya ditelan lupa. Orang Inca tahu bagaimana memanfaatkan masa lalu, mengubahnya menjadi sastra agar ia turut memandekkan masa kini, cita-cita puncak semua kediktatoran. Mereka larang kebenaran-kebenaran individual yang senantiasa kontradiktif, demi sebuah kebenaran resmi yang koheren dan tidak bisa diganggu gugat. Alhasil kekaisaran Inca menjadi masyarakat tanpa sejarah, setidaknya tanpa sejarah naratif, karena tak seorang pun mampu menyusun kembali dengan cara yang bisa diandalkan masa lalu yang begitu sistematisnya didandani dan dibugili seperti penari striptis ini.

Dalam masyarakat tertutup, sejarah dijejali fiksi, menjadi fiksi, karena ia direka dan direka ulang seturut ortodoksi religius atau politik yang sedang berlaku, atau lebih kasar lagi, seturut rengekan para pengontrol kekuasaan.

Pada saat yang sama, sistem sensor yang ketat umumnya diberlakukan, di mana sastra juga harus berkhayal dalam batasan-batasan ketat agar kebenaran subjektifnya tidak bertentangan atau membayangi sejarah resmi, tapi lebih berfungsi untuk menyebarkan dan memberinya ilustrasi. Beda antara kebenaran historis dan kebenaran sastra lenyap, dan mereka pun lebur dalam hibrida yang membasuh sejarah dengan ketidaknyataan dan menggembosi karya fiksi dari misteri, inisiatif, dan pemberontakan terhadap tatanan mapan.

Mengutuk sejarah untuk berbohong dan sastra untuk membiakkan kebenaran hasil rakitan kekuasaan yang ada, toh tidak menghalangi kemajuan sains dan teknologi suatu negara atau pemantapan bentuk-bentuk dasar keadilan sosial tertentu. Terbukti bahwa sistem Inca—pencapaian menakjubkan pada zamannya atau pada zaman kita sendiri—menyudahi kelaparan dan berhasil memberi pangan seluruh penduduknya. Dan negara-negara totaliter modern telah mem­beri impetus besar bagi pendidikan, kesehatan, olahraga, dan lapangan kerja, dengan membuatnya terjangkau semua orang, sesuatu yang belum pernah dicapai oleh masyarakat-masyarakat terbuka—terlepas dari kemakmurannya—sebab harga kebebasan yang mereka nikmati ini acap dibayar dengan ketimpangan lebar dalam kekayaan dan, lebih parah lagi, dalam peluang anggota-anggota masyarakatnya.

Tapi ketika negara, dalam nafsunya untuk mengontrol dan memutuskan apa saja, menelikung hak manusia untuk mengarang dan memercayai kebohongan apa saja yang mereka suka, ketika negara me­nyita hak ini untuk dirinya sendiri dan menerapkannya lewat para sejarawan dan sensor—seperti orang Inca lewat para amautas—suatu pusat syaraf besar dari kehidupan sosial pun pupus. Dan baik orang-orang lelaki maupun perempuan menderita kerugian yang memiskinkan eksis­tensi mereka, sekalipun kebutuhan dasar mereka terpenuhi.

Karena kehidupan riil, kehidupan nyata, belum pernah dan takkan pernah memadai untuk memuaskan hasrat-hasrat manusia. Dan karena tanpa ketidakpuasan vital yang disulut dan diredakan oleh kebohongan karya fiksi ini, tak pernah ada progresi yang autentik.

Fantasi yang diberkahkan pada kita adalah rahmat setani. Ia terus-menerus melebarkan jurang pemisah antara apakah kita dan ingin jadi apa kita, antara apa yang kita miliki dengan apa yang kita idamkan.

Tapi imajinasi telah mengandung obat penenang yang cerdas dan halus bagi perceraian tak terelakkan antara realitas kita yang terbatas dengan hasrat-hasrat kita yang tak terbatas: fiksi. Berkat fiksi kita jadi lebih dan jadi lain tanpa surut untuk jadi tetap sama. Di dalamnya kita bisa lupa diri dan membelah-belah, melakoni banyak kehidupan di luar hidup yang kita punya dan bisa kita jalani bila kita terikat pada kebenaran, tanpa kabur dari bui sejarah.

Manusia tidak hidup dengan kebenaran semata; mereka juga butuh kebohongan: kebohongan yang mereka karang dengan bebas, bukan yang dipaksakan pada mereka; kebohongan yang tampil sebagaimana adanya, bukan yang diselipkan di balik dandanan sejarah. Fiksi memperkaya eksistensi mereka, melengkapinya, dan sekilas lalu, memberi ganti rugi atas kondisi tragis yang sudah jadi takdir kita: selalu mengidamkan dan memimpikan lebih banyak ketimbang yang sesungguhnya bisa kita capai.

Ketika sastra dengan bebas memproduksi kehidupan alternatifnya, tanpa kekangan lain selain batasan-batasan oleh penciptanya sendiri, sastra mengulur hidup manusia, menambahi dimensi yang membarai kehidupan jauh di dalam diri kita: kehidupan berharga yang tak terasa dan lekas lewat itu, yang bisa kita lakoni hanya lewat kebohongan.

Inilah hak yang harus kita bela tanpa malu-malu. Sebab bermain-main dengan kebohongan, sebagaimana yang diperbuat penulis dan pembaca, kebohongan yang mereka rajut di bawah aturan hasrat-hasrat terpendamnya sendiri, adalah cara untuk menegaskan kedaulatan individual dan membelanya kala ia terancam; cara untuk melestarikan ruang bebas seseorang, benteng yang ada di luar kontrol kekuasaan dan campur tangan orang lain, di mana kita sungguh-sungguh berwenang atas nasib sendiri.

Kebebasan lain-lainnya lahir dari kebebasan ini. Pengungsian privat ini, kebenaran subjektif sastra, mewariskan pada kebenaran historis—yang komplementer bagi mereka—kemungkinan untuk hidup serta fungsi khusus, yakni menggapai kembali sebagian penting—tapi hanya sebagian—ingatan kita, keagungan dan kemiskinan yang kita bagi satu sama lain sebagai makhluk-makhluk yang hidup berkelompok. Kebenaran historis ini sungguh dibutuhkan dan tak terganti­kan untuk mengetahui seperti apakah kita dahulu dan barangkali seperti apakah kita nanti sebagai kolektivitas manusia. Tapi seperti apakah kita sekarang sebagai individu dan apa yang kita ingini dan tidak bisa kita dapati, karenanya harus lewat khayalan dan rekaan—sejarah rahasia kita—cuma sastra yang bisa mengatakannya. Itu sebabnya Balzac menulis bahwa fiksi adalah “sejarah privat bangsa-bangsa”.

Dengan sendirinya, sastra adalah dakwaan menakutkan terhadap eksistensi diri di bawah rezim atau ideologi apa pun: kesaksian berapi-api ihwal ketidakcukupan dan ketidakmampuannya untuk memuaskan kita. Atas alasan itulah, sastra menjadi perusak permanen semua struktur kekuasaan yang ingin melihat manusia puas dan pasrah-diri. Kebohongan sastra, bila berkecambah dalam kebebasan, membuktikan pada kita bahwa tak pernah demikian halnya. Dan kebohongan-kebohongan ini juga merupakan konspirasi permanen untuk mencegah hal itu terjadi di masa datang.

Barranco, 2 Juni 1989

 

 

Mario Vargas Llosa, “La verdad de las mentiras” (1989), diterjemahkan oleh Ronny Agustinus dari La verdad de las mentiras (Madrid: Santillana Ediciones, April 2007), hlm. 15-32.

[1] Berasal dari kata Spanyol costumbre (“adat”), costumbrismo adalah aliran sastra abad ke-19 yang berfokus pada penggambaran kebiasaan dan adat-istiadat.

 

 

Ronny Agustinus (Penerjemah) : Editor dan pengalih-bahasa di penerbit Marjin Kiri. Menjalani studi dalam bidang Seni Rupa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Banyak menerjemahkan karya-karya sastra Iberia yang berbahasa Spanyol dan karya sastra dunia seperti karya-karya Isabelle Allende, Luis Sepulvuda, Mario Vargas Llosa, dan lain-lain, serta beberapa karya non-fiksi lainnya seperti karya-karya Subcomandante Marcos. Fokus Riset: Politik-Kebudayaan, Gerakan Sosial-Budaya, Filsafat Seni, Filsafat Budaya.

Mario Vargas Llosa
Latest posts by Mario Vargas Llosa (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!