
Pertama
Para pembaca yang bijak, sebetulnya kecemasan ini telah lama bersemayam dalam diri saya. Tapi, sungguh mati, saya tidak bisa mengungkapkan kecemasan ini karena bagaimanapun saya dibuat sibuk oleh pikiran pengarang ini.
Beberapa minggu yang lalu, saya dipanggil oleh Kepala Sekolah. Saya ditegur. Teguran itu saya terima sebab saya menegur siswa yang merokok. Esoknya, bapak dari siswa tersebut mendatangi sekolah dan mengajukan keberatan, menyatakan bahwa ia tidak bisa menerima kenyataan anaknya merokok dan menuduh saya telah membuat tuduhan serius.
Saya harus meminta maaf atau saya akan dilaporkan ke pihak kepolisian karena pencemaran nama baik. Saya bersikeras menolak. Tapi kepala sekolah mendesak saya untuk tetap melakukan permintaan maaf itu. Ia juga memberi tahu saya bahwa sebetulnya bapak siswa tersebut adalah seorang pejabat. “Sudah jelas, kelakuan pejabat dan keluarganya tidaklah boleh terlihat buruk di mata masyarakat,” katanya.
Ya, beginilah takdir saya, Saudara-saudara. Pengarang ini menghendaki saya menjadi seorang guru─padahal ia sendiri tahu betul bahwa gaji guru di negeri ini tidak cukup untuk menjejalkan sesuap nasi ke perut kami bertiga: saya, istri dan anak kami. Bahwa ia juga tahu betul saya harus siap menghadapi segala rintangan dengan bayaran yang tak pernah mencukupi kebutuhan.
Saya kira penderitaan saya cukup sampai menjadi seorang guru saja. Nyatanya tidak demikian. Awal bulan, istri saya marah-marah hebat. Ia juga minta cerai. Ia lelah hidup miskin. Ia tidak ingin anak kami tumbuh kekurangan gizi. Tentu, ia mulai ngundhat-ngundhat bahwa memilih kawin dengan saya adalah pilihan tolol dalam hidupnya dan semestinya ia memilih kawin dengan lelaki yang dijodohkan oleh bapaknya.
Saya jengkel, tapi perkataan wanita yang telah melahirkan anak perempuan saya itu juga ada benarnya. Saya tidak ingin anak saya dibesarkan oleh derita. Untuk meredam kekesalan pada malam itu, saya putuskan keluar rumah.
“Udah miskin, masih aja ngluyur malam-malam tanpa tujuan. Mau masuk angin?” keluh istri saya ketus ketika mendapati saya mengambil jaket yang tergantung di balik pintu. Tak puas sampai di situ, ia lanjut mengomel lantang ketika pintu itu saya tutup dari luar, “Nanti kalau sakit, tambah parah, lalu mati. Duh, bikin repot orang rumah saja!”
Perjalanan tak berarah sepanjang malam itu benar-benar membikin benak saya gaduh. Sebaiknya memang saya ceraikan saja demi kebaikan ia dan anak kami. Tapi, sungguh teramat tolol andaikata saya menceraikan perempuan yang luar biasa cantik itu. Ya, meski Anda semua akan berkata bahwa walau ia cantik, kalau mulutnya pedas, tak semestinya dipertahankan. Saya akan berkilah bahwa begitulah manusia adanya─selalu ada ketidaksempurnaan yang melekat pada diri manusia.
Mati.
Saya kira mati adalah pilihan terbaik. Dan melompat dari jembatan tempat saya berdiri malam itu adalah jalan pintasnya. Jasad saya akan hanyut dibawa arus, dengan demikian perempuan itu tidak perlu mengurus biaya pemakaman saya, tak perlu pula mengurus biaya perceraian, dan laki-laki idamannya itu pasti hadir untuk menghiburnya sebentar lantas mengawininya.
“Beni?”
Panggilan itu mengejutkan saya, menggugurkan keinginan yang telah meluap-luap.
“Ngapain malam-malam bengong di sini?”
“Cari inspirasi bikin puisi.”
“Yuk, ngopi. Ada hal penting yang mesti diobrolin.”
Malam itu, saya berakhir di warung kopi bersama beberapa rekan kerja dan merancang aksi unjuk rasa di depan sekolah.
Kedua
“Ini sudah keterlaluan. Anda semua melewati batas.”
“Tapi, kami hanya ingin diupah selayaknya manusia.”
“Seharusnya ini bisa dibicarakan baik-baik. Tidak perlu ada acara unjuk rasa di depan sekolah. Dengan demikian, sama saja bahwa Anda semua telah mencoreng nama baik sekolah.”
“Tapi, kami telah menyampaikan aspirasi kami. Karena tidak adanya realisasi, kami lanjut menyuarakan tuntutan kami.”
“Sebagai akibat dari tindakan hari ini, maka Anda semua akan diskors hingga pemberitahuan lebih lanjut.”
Setelah persidangan itu, saya dan beberapa rekan untuk sementara tidak bekerja. Gaji bulanan kami tidak dibayarkan dengan dalih “demi citra sekolah”. Dana yang ada digunakan untuk memastikan kebisuan media. Bersebab itu, istri saya kian menggila. Dan bukan menggila dalam arti yang puitis.
“Kenapa pakai demo-demo segala? Kerja aja yang bener. Kalau seperti ini, kita mau makan apa?”
“Ini juga bentuk perjuangan agar kita bisa hidup layak.”
“Itu semua cuma hidup di kepalamu, Ben. Sadarlah! Kamu hidup di dunia nyata dan kenyataan tidak pernah senikmat khayalan!”
“Kau ini bagaimana atau aku harus bagaimana?”[1]
Sejak kejadian itu, perlahan-lahan rumah kami—sebetulnya rumah ini adalah rumah peninggalan orang tua saya, sebab gaji saya, sudah jelas, tidak memungkinkan untuk membeli sepetak rumah—menjadi sepi. Awalnya, kami jarang berinteraksi, tapi lama-kelamaan ia benar-benar mendiamkan saya. Sesungguhnya, saya tidak tahan dengan situasi demikian, akan tetapi saya teringat wejangan ibu untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.
Walhasil, rumah kami adalah rumah singgah. Ia selalu pergi─yang entah ke mana─dengan anak kami. Sementara itu, beberapa hari belakangan, rekan saya mengirim pesan singkat yang berisi seruan untuk merapatkan barisan. Saya menolak ajakan itu karena urusan rumah tangga kami sedang tidak baik-baik saja.
Kesabaran saya berbatas, tapi sayangnya, istri saya tak juga insaf. Saya jengah. Benar-benar jengah. Pada akhirnya, saya datang juga ke pertemuan itu. Mungkin karena jengah. Mungkin karena kalah.
Pada pertemuan pertama yang saya datangi itu, saya terkejut. Saya mendapati bahwa akan ada aksi unjuk rasa besar-besaran. Rekan saya datang mendekat dan berkata bahwa saya harus menyiapkan orasi yang bisa membakar semangat kami. Saya bingung dan kesulitan menjawab. Di tengah kebingungan itu, ia beranjak pergi seraya menepuk pundak saya berulang-ulang dan berkata, “Jangan kasih kendor, Ben!”
Nah, Saudara-saudara pembaca budiman, apakah Anda juga menaruh harapan kepada saya? Saya sebetulnya tidak mengerti bagaimana pengarang menjadikan saya seorang orator. Dugaan kuat saya, ia adalah orator kawakan, atau, lebih mungkin lagi, ia sama sekali tidak piawai berbicara di depan keramaian. Sungguh, saya tak mampu memahami jalan pikirannya; bagaimana mungkin ia mengobarkan kekacauan di rumah tangga kami, lalu dengan kejamnya menuntut saya berorasi di hadapan khalayak ramai?
Desas-desus tentang perselingkuhan istri saya tak saya hiraukan. Sebetulnya desas-desus itu sudah tercium lama, tapi saya tegas menepisnya. Saya meyakini bahwa kami hanya hilang komunikasi, bukan untuk mengkhianati.
Sore ini rumah kami dikerumuni beberapa tetangga. Setelah saya turun dari sepeda motor, mereka semua bubar, tapi Pak RT masih mematung di sana. Muram sekali sorot matanya. Berjalan dua langkah, ia menghampiri dan memeluk saya. Saya tidak mengerti.
Suaranya yang lirih berusaha menggapai ruang dengar saya, “Istrimu minggat. Bersama anakmu. Ditemani laki-laki bajingan yang membawakan kedua kopernya.”
Di beranda ini angin tak kedengaran lagi.[2]
Ketiga
“Kita berjuang mencerdaskan generasi penerus bangsa, tapi diberi upah tak layak. Sementara itu, bisa kita amati para pejabat negeri ini kian hari kian tamak. Tidur di penjara hanya sementara, sedang kekayaan mereka masih genap dan utuh. Kita dituntut sempurna, sedang keluarga kita menahan lapar dan dahaga. KAMI MENUNTUT KEADILAN! KAMI AKAN TERUS MENYALAK AGAR MEREKA SENANTIASA MELIHAT DENGAN MATA TERBELALAK!”
Ketika orasi yang saya sampaikan itu tuntas, tangan saya dengan sendirinya mengepal dan meninju udara. Lalu seseorang dari kerumunan itu memekik keras, “Lawan!” dan seluruh massa aksi kompak menyerukan suara yang sama. Bulu kuduk saya merinding, seolah-olah suara itu menembus sendi-sendi tubuh.
“Lawan!” pekik itu kembali menggema, makin keras, makin mengguncang.
Seseorang di sebelah saya—saya tidak tahu siapa, entah kawan seperjuangan atau hanya seseorang yang juga muak dengan keadaan—menggenggam lengan saya erat. “Kita tidak boleh mundur,” katanya, setengah berbisik, setengah menggigil. Saya tidak menjawab, hanya mengangguk.
Jantung kota─tempat kami berkumpul─berdegup kencang. Matahari siang itu terasa kian membara. Asap tipis mengepul dari aspal yang mendidih di bawah terik matahari, seakan jalanan itu bernapas kepayahan. Udara kering musim kemarau mengeringkan tenggorokan.
Dan kemudian, segalanya bergerak terlalu cepat.
Seseorang berlari kencang dan melempar batu. Setelah jeda beberapa detik, batu-batu mulai mengudara. Saya tidak lagi mengenal mana rekan demonstran, mana provokator yang menyusup di tengah-tengah kawanan. Dari depan, aparat mulai menyeruak masuk dalam barisan. Beberapa demonstran kocar-kacir.
Saya sendirian.
Kepala saya dihantam dari belakang. Keras. Saya terhuyung-huyung, nyaris ambruk. Beberapa orang datang mengerumuni saya dari segala arah dan mengaum-ngaum─menuduh saya provokator; dalang dari semua kekacauan ini. Dan tiba-tiba, lengan sebesar batang pohon purba melingkari leher saya. Dunia berputar dan saya menggelepar seperti ikan yang lupa cara bernapas.
Perut saya ditinju keras-keras.
Pandangan saya menghitam.
Dieng, sepanjang Februari hingga April 2025. 09.45.
[1] Mustofa Bisri, Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana? (1987)
[2] Goenawan Mohamad, Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi (1966)
Galih Santoso
Bagus bangetttt, interaktif, lucu, lihai, getir, kerennnn pokoknya.