
“Katakan kepada sopir, pelankan sedikit lajunya. Aku ingin melihat matahari terbenam.”
Mali menyentuh pundak sopir angkot. “Hei!” tegurnya. “Dengar apa kata istriku?”
Si sopir tak menjawab. Terdengar mesin kian meraung menambah laju. Sang kernet berkata kepada Mali, “Dia tak bisa melambat, Tuan. Kita sudah telat. Keretamu akan segera berangkat.”
Mali menoleh kepada Maryam. “Kau dengar, Sayang?” katanya.
“Lihatlah!” Maryam menunjuk ke padang sabana di luar jendela, yang membentang lapang seperti sajadah ilalang. Matahari di ujung cakrawala seperti separuh telur asin yang kemerahan. Cahayanya berpejar meluas, terang sekali warnanya seolah enggan bersahaja, seakan seseorang telah menumpahkan beberapa kaleng cat merah gelap di langit.
“Tak pernah kulihat senja semegah ini. Mestinya kita bawa kamera tadi,” kata Maryam.
Mali menatap dengan saksama, perasaan gelisah tiba-tiba merayap menyelimutinya tanpa sebab yang jelas. “Makin lama kita memandangnya, makin matahari itu tampak asing bagi kita,” katanya. “Tidakkah kau merasakannya juga, Sayang?”
Mata Maryam melebar, berkilat seperti menahan nyala api. Ia menarik napas dalam.
“Atau kita yang perlahan-lahan terasing dari dunia?” lanjut Mali. Pandangannya beralih ke kaca depan. Pohon-pohon pinus mulai berjajar di sisi jalan lurus bebatuan. Mobil berguncang-guncang.
“Kenapa kau pilih jalan ini?” tanya Mali ke sopir.
Sopir tak juga bicara. Kernet yang berbadan ceking itu kemudian menjelaskan, “Maaf, Tuan, ini hari Jumat. Jalan utama macet betul. Kita terpaksa memilih jalan pintas.”
Mali menatap sisi wajah sopir selama beberapa saat. Matanya menangkap bekas luka memanjang dari pelipis sampai pinggir bibir. Kulit pipi sopir kasar dan berkerut dengan beberapa bopeng dalam yang mencolok. Perhatian Mali berpindah ke tangan sopir di roda kemudi. Ada cincin timah tengkorak di jari tengah. “Bagaimana orang ini bisa mendapat pekerjaannya?” gumam Mali.
Mendadak Mali tertegun. Ia menengok ke istrinya dengan polos. “Kita lupa membawa oleh-oleh!”
“Itulah kamu, selalu lupa,” ujar Maryam. “Sudah kukatakan berulang kali, oleh-oleh jangan lupa. Dan sekarang kau lupa.”
“Tidak apa-apa, kita beli saja di stasiun atau di depan jika ada.” Mali mengusap punggung Maryam. “Nanti misalnya ketemu toko, tolong berhenti, ya!”
“Tidak akan ada toko di jalan ini, Tuan,” kata kernet itu.
Maryam degil, melepaskan dirinya dari dekapan Mali. “Apa yang akan dikatakan suami Mei jika dia tahu mertuanya tak bawa apa-apa? Apa yang akan dikatakan cucu-cucu kita terhadap kakek-nenek mereka yang pelit ini?”
Mali mencoba merangkul istrinya kembali. “Hadiah itu tidak penting,” katanya, “yang penting adalah kita, Sayang.”
“Penting!” tegas Maryam. “Bagaimana jika keluarga Ferdinan ikut berkunjung? Apa kau tidak malu?”
“Memang kita tidak sekaya mereka, tapi kita bukan orang pelit,” kata Maryam lagi. “Justru mereka itulah yang pelit. Pernah suami Mei kirim uang kepada kita? Pernah mereka mengunjungi kita di kampung? Kita selalu yang mendatangi mereka. Dipikirnya hebat betul mereka itu. Dan apabila kita tidak datang sekali dalam setahun, siapa yang dikatainya sombong? Kita!”
“Itu ‘kan hanya candaan, Sayang.”
“Candaan apanya?” seru Maryam. “Lihatlah istri Ferdinan itu, siapa namanya? Sungguh aku benci lihat wajahnya. Dia tahu kita hanya orang tua dari anak perempuan yang menikah dengan anak laki-lakinya. Setiap kali kita datang, kita disuruh menyajikan sendiri minuman kita. Dia bilang anggap saja rumah sendiri. Iya, ‘kan? Apa maksudnya itu? Dasar orang kaya!”
Mali diam, membenam mulutnya lebih dalam.
“Kau pun begitu, Mali!” Maryam memutar bola matanya. “Pamerkanlah sedikit kejayaanmu pada Ferdinand. Jangan mau kagum-kagum terus padanya. Orang kaya takkan berhenti bicara tentang dirinya sendiri sampai ada orang yang lebih kaya dari mereka. Itulah tanda mereka takluk. Dan mereka senang kepada kita, sopan kepada kita, karena mereka mengasihani kita.”
“Apa yang harus kubanggakan, Maryam? Aku hanya pegawai di kantor camat. Satu-satunya yang bisa kubanggakan adalah aku pernah melayani 101 urusan surat tanah dalam satu hari. Itu rekor dunia!” kata Mali.
“Katakan kau pernah bersalaman dengan wali kota, gubernur juga. Kau mendampingi mereka, bukan?”
“Hanya sekali!” Mali tertawa. “Itu juga karena aku sedang menunggu Pak Camat datang ke kantor. Dia lupa ada agenda kunjungan.”
Maryam mengerucutkan bibirnya. Mali menarik tangan kanan Maryam. Ia elus-elus dengan lembut. “Jangan khawatir, Sayang. Kalau memang kita bukan siapa-siapa, kita tak perlu berusaha keras menjadi orang lain. Itu hanya akan makin menekan kita, memperdalam luka kita.”
Mali kemudian menyadari di sudut matanya, kernet itu diam-diam sedang menguping pembicaraannya. “Bukan begitu, Pak Kernet?” katanya seraya melirik.
Kernet tertawa kecil. “Oh, ya ampun, maafkan saya, Tuan. Saya tak bermaksud menguping,” katanya.
“Tapi, jikalau diizinkan bicara, Tuan,” sambungnya, “dan agar kita dapat menikmati perjalanan ini sepenuhnya, saya akan berkata bahwa benar kata Tuan. Hal-hal semacam itu tidak memiliki arti sama sekali jika dipikirkan. Bahwa dunia bukanlah tempat kebanggaan bagi kita, sebab semuanya akan berujung sia-sia. Hanya memori kesenanganlah yang akan kita kutip satu demi satu di pengujung hari. Lalu, apakah ada yang tersisa dalam kehidupan kita?”
Mali meremas pundak kernet yang terasa dingin. Lalu dia merenung sejenak, mengenang-ngenang yang telah lampau dari usianya. Maryam menundukkan wajah, menggaruk-garuk bantalan tangannya sendiri.
“Katakan kepadanya, dia sudah kelewatan,” bisik Maryam. “Kenapa dia ikut campur urusan kita? Dia hanya seorang kernet!”
Maryam mencubit paha Mali yang tak melakukan perkataannya hingga suaminya tersentak.
“Hei!” kata Mali senyap-senyap, “perkataan yang benar akan tetap benar entah siapa pun yang mengatakannya, Sayang.”
“Kau harusnya berpihak padaku,” bisik Maryam lagi. Wajahnya menggeram.
Mali dan istrinya lantas tersorong ke depan ketika sopir menginjak pedal rem secara mendadak. Maryam terantuk kursi sopir, memegang kepalanya dan mengaduh-aduh. “Kalau jalan yang bener, dong!” kata Maryam.
Mali mengerjap, mengusap jidat istrinya. Lalu ia menengok ke kaca depan. Ada seorang lelaki tua bungkuk bertongkat sedang memegang tali seekor anjing yang juga kelihatan tua di pinggir jalan.
“Maaf atas ketidaknyamanannya, Tuan dan Nyonya,” kata si kernet. “Ramaun tua itu memang suka muncul tiba-tiba dari semak-semak. Sudah sering saya mengingatkannya, tapi tetap juga.”
Lelaki tua bernama Ramaun itu mengetuk-ngetuk tongkatnya di tanah. Anjingnya mendengus-dengus. Ramaun mengikut ke mana anjing itu menariknya. Dia berjalan ke tepi jendela. Hitam mata Ramaun diselimuti selaput putih kehijauan. Kepalanya sempoyongan seperti orang mabuk.
“Dia mau apa?” tanya Mali dengan getir. Ia merapatkan dirinya ke badan Maryam. Tangan Maryam menggenggam erat lengan Mali yang terentang di tubuhnya.
“Dia cuma menumpang sampai halte depan,” kata kernet. “Masuklah, Pak Ramaun!”
Di antara semua kursi angkot yang kosong, Ramaun tua memilih tempat di seberang Mali dan Maryam, persis di dekat pintu. Ramaun tua duduk dengan kedua tangannya dijangkarkan ke pangkal tongkatnya yang bulat mengilat. Anjingnya terbaring lesu, sedikit merengek. Dia mengelus-elus anjingnya. “Tidak apa-apa, Shaman. Kita hanya sebentar,” katanya.
Selepas itu angkot kembali melaju. Matahari nyaris tenggelam sempurna. Gelap sedikit demi sedikit mengelabui langit. Lampu jalan mulai menyala kuning temaram.
Aroma tak sedap perlahan menguar, entah dari Shaman si anjing, atau Ramaun si lelaki tua—ia duduk dengan tenang dengan tatapan kosong butanya. Maryam membuka tas kecilnya lalu dengan sembunyi-sembunyi ia menyemprotkan sedikit parfum murah ke tubuhnya. Tapi, aroma tak sedap itu begitu pekat, seperti daging yang telah membusuk. Maryam menjepit hidungnya. Mali mengernyitkan dahi dan menarik sudut bibirnya ke bawah.
“Malam adalah malam,” senandung Ramaun tua tiba-tiba. “Kabut turun memeluk tanah. Malam yang gelap telah memisahkan kita, Sayangku. Aku tahu kau tidak bisa tidur jauh dariku. Di sinilah aku menyanyikannya untukmu. Jangan kirimkan kekhawatiranmu padaku. Aku tak takut lagi pada kematian. Aku banyak menemukannya di tengah jalan. Di sampingku angin itu senang bercerita. Oh, dialah teman sejati manusia.”
“Pernahkah Tuan mendengarkan nyanyian itu?” tanya Ramaun tua. Anjing itu menjilati kaki tuannya.
Mali menelan ludah. Maryam semakin erat mencengkeram lengan suaminya. Kernet memalingkan wajah ke samping, dia mengangkat sedikit sebelah tangannya kepada Mali. “Tidak apa-apa, Tuan. Jangan takut,” bisiknya.
“Nyanyian apa itu, Pak Ramaun? Ceritakanlah kepada kami!” Kernet itu mengedipkan sebelah matanya kepada Mali.
“Kau masih muda, Malak. Takkanlah kau mengerti,” kata Ramaun tua. Ia kemudian menoleh kepada Mali dan istrinya, “mungkin dua orang ini bisa jadi. Pernahkah Tuan dan Puan mendengarkan nyanyian itu?”
Mali dan Maryam tak menjawab, cemas dan ketakutan seperti akar yang menjalar dari kaki hingga kepala, yang mengikat tubuh mereka pada kursi.
“Itu adalah nyanyian dari seorang manusia tersesat di hutan,” kata Ramaun tua dengan suara parau. “Dahulu kala, orang itu dalam sebuah pelarian yang panjang. Dia mencari-cari tempat sembunyi sampai tubuhnya lelah. Untungnya ketika dia teramat haus, ada sebuah sumur tua di hadapannya. Dia minum banyak-banyak air itu sampai dia mabuk. Dia lantas jatuh tertidur. Kemudian dia memimpikan seorang bidadari cantik keluar dari sumur itu dan menemuinya. Dengan lembut perempuan itu mengelus-elus dan menciumi pipinya yang pucat. Pelan-pelan bidadari itu menarik tangannya, berkata kepadanya, jika emaslah yang dia cari, maka di dasar sumur itulah jalan selamatnya.”
“Katakan kepada mereka apa yang terjadi, Pak Ramaun!” sergah kernet kurus itu.
“Ketika lelaki itu terbangun dari tidurnya, dia tak bisa menghindar dari apa yang telah menghampirinya. Tanpa ragu, dia mulai menguras sumur itu dengan sehelai daun talas. Berpuluh-puluh tahun lamanya, adakah waktu selama itu bisa dia beli kembali sehabis dia menemukan emasnya?”
“Ada waktu-waktu dia kemudian menjadi ragu. Terutama ketika dia memanjat cincin sumur yang licin dan bertingkat-tingkat itu dalamnya. Akan tetapi, dia selalu menemukan semangatnya kembali. Takkanlah perjuanganku sia-sia, katanya. Hingga akhirnya, air di sumur itu terus menipis, menjadi dangkal, dan terlihatlah dasarnya.”
Ramaun tua menunduk, anjingnya menggonggong. “Tenang, tenang, Shaman. Sedikit lagi ceritanya usai,” katanya pelan dan teramat lembut.
“Kau tahu apa yang tersisa untuknya?” tanya Ramaun tua.
Mali menelan ludahnya. Maryam sekadar menatap Mali dan mendorong-dorong pelan punggung suaminya.
“Tak ada apa-apa. Hanya selembar kain putih. Awalnya dia menyangka itu adalah sisa pakaian dari bidadari dalam mimpinya. Tapi, ketika dia menyadari dirinya telah menua hanya untuk menguras sumur itu, dan dalam rasa haus yang teramat mencekik batang kerongkongannya, dia tersadar bahwa itu adalah kain kafan yang tersedia bagi kematiannya. Di malam sesaat dia menyadari ajalnya telah dekat, dia menyanyikan syair itu dalam balutan kain putih. Sepanjang malam sampai fajar tiba, dan dia telah memejamkan mata untuk selamanya.”
Ramaun tua tersenyum, tangannya mengelus-elus kepala Shaman si anjing.
Langit malam di luar sana mulai menurunkan kabut dingin seketika mereka kian dalam menuju hutan pinus yang lebat. Embun hinggap di kaca-kaca jendela. Penglihatan menjadi buram. Dalam kesunyian terdengar napas-napas yang lelah dan gelisah. Suasana gelap diterangi lampu jalan yang sesekali berkedap-kedip.
Di pintu terowongan, angkot berhenti di pinggir halte yang terbengkalai. Sebelum turun, Ramaun tua berkata, “Siapakah yang akan kukirim untuk kematian manusia? Tuhan bertanya,” ia melihat keluar sejenak. Selepas itu ditatapnya dalam-dalam sorot mata yang menciut dari wajah Mali dan Maryam.
“Di sini aku. Utuslah aku untukmu!” kata Ramaun tua dengan bergetar. Ia dan anjingnya kemudian keluar.
Lelaki tua buta itu melambaikan tangannya sesaat ban angkot mengempas debu-debu yang menghilangkan bekas tubuhnya di bawah lampu yang sesekali mati, sesekali hidup.
“Dia selalu mengatakan itu,” kata kernet.
“Kepada siapa?” tanya Mali.
Kernet itu diam saja. Sekonyong udara dingin dengan cepat memeluk kembali seisi mobil. Asap-asap terembus dari bibir. Terdengar tulang-tulang bergemeretak kaku. Wajah-wajah di saf kedua cemberut dibenam rasa gelisah. Akan dibawa ke mana kita oleh pak sopir yang mulia? tanya wajah-wajah yang terpucat.
“Malam adalah malam,” katanya, senandung kernet yang menggigit tusuk gigi. “Kabut turun memeluk tanah. Malam yang gelap telah memisahkan kita, Sayangku. Aku tahu kau tidak bisa tidur jauh dariku. Di sinilah aku menyanyikannya untukmu. Jangan kirimkan kekhawatiranmu padaku. Aku tak takut lagi pada kematian. Aku banyak menemukannya di tengah jalan. Di sampingku angin itu senang bercerita. Oh, dialah teman sejati manusia.”
Mereka telah masuk ke dalam terowongan panjang dan gelap tiada cahaya. Berteman sepi dan tanpa jalan kembali. Itulah waktu yang lama dari sebuah perjalanan di mana kendaraan mereka tak pernah keluar-keluar lagi, tenggelam di balik tebalnya asap kabut yang melingkupi mereka, untuk selamanya.[]
Banda Aceh, 2025
- Tali Kawat dari Surga - 13 June 2025
- SEGALA YANG TERSISA DARI KEMATIAN - 14 March 2025
- BAYANG-BAYANG IBLIS - 8 November 2024


Juliana
Bagus banget ceritanya, menengangkan gitu kisah nya, menurut ku ini cerita horor, dan aku suka cerita horor, bagusss dehh pokok nya
Yusup
Goood no komen bagus
Ida q
Bagus ….
Ida q
Bagus ceritanyaaa kak
RAMCES HOTDIN MARULITUA TAMBUNAN
berjudul “Senyum di Balik Air Mata”:
Pagi itu, matahari bersinar cerah di atas kota. Namun, di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, seorang gadis muda bernama Ayu sedang menangis. Ayahnya, seorang buruh tani, telah meninggal dunia beberapa hari yang lalu.
Ayu merasa sangat sedih dan merasa tidak memiliki siapa-siapa lagi. Ibuunya telah meninggal ketika Ayu masih kecil, dan sekarang ayahnya juga telah pergi.
Tiba-tiba, ada ketukan di pintu. Ayu membuka pintu dan menemukan seorang nenek yang tidak dikenal. Nenek itu membawa sebuah keranjang berisi makanan dan minuman.
“Ayu, anakku,” kata nenek itu. “Aku tahu kamu sedang merasa sedih. Tapi aku ingin memberitahu kamu bahwa kamu tidak sendirian. Aku ada di sini untuk kamu.”
Ayu merasa terharu dan memeluk nenek itu. Nenek itu kemudian membantu Ayu membersihkan rumah dan memasak makanan.
Ketika mereka sedang makan, nenek itu menceritakan tentang kehidupannya sendiri. Ia telah kehilangan suaminya dan anak-anaknya dalam sebuah kecelakaan beberapa tahun yang lalu.
“Tapi aku tidak pernah menyerah,” kata nenek itu. “Aku terus berjuang dan mencari kebahagiaan dalam hidup. Dan sekarang, aku ingin membantu kamu melakukan hal yang sama.”
Ayu merasa sangat terharu dan berterima kasih kepada nenek itu. Ia menyadari bahwa ia tidak sendirian dan bahwa masih ada orang-orang yang peduli padanya.
Dari hari itu, Ayu dan nenek itu menjadi sangat dekat. Mereka berbagi cerita dan pengalaman, dan Ayu mulai merasa lebih bahagia.
Ayu menyadari bahwa senyum di balik air mata adalah senyum yang paling tulus dan paling berharga. Dan ia berterima kasih kepada nenek itu yang telah membantunya menemukan senyum itu.
Okta
Keren
siwi nd
Baca cerpen ini rasanya seperti menonton pentas drama teater, sangat kental suasana yang tercipta dari kalimat dan percakapan-percakapan dalam cerpen.
Rick
suka dengan penggalan quotes menarik yang tersirat meskipun akhirnya tetaplah kelam
fita
cerpennya bagus seperti memberi dorongan agar kita tidak mudah menyerah
Budz
Cerita yang bagus
Mita
Keren
All bagas
Mantap bro
Fitri Adisti Jamal
Keren, karya yang dalam, puitis dan kaya simbolisme. Penulis seolah menyajikan kematian bukan sebagai hal mengerikan tapi perjalanan yang meluruhkan gengsi, kenangan dan keakuan, hingga yang tersisa hanyalah sebuah nyanyian dan perasaan sunyi yang abadi 😌
Cut Netta
kece banget serasa dibawa dalam cerita, salam bg, saya juga orang aceh hehe
Pohon Rindang
Jangan bilang bahwa penulis baru saja menonton “The Mortal Remains”, segmen terakhir dari antologi kisah-kisah di film “The Ballad of Buster Scruggs”.
Nalazhesya
Bagus banget alur cerita maupun pemilihan kata-katanya
Ilmiawan
Yesss, tepat sekali. Mengenai proses kreatif, cerita di atas terinspirasi dari The Mortal Remains (bagian dari film The Ballad of Buster Scruggs karya Coen Brothers) dan lagu Tjomnaja Noch’ oleh Mark Bernes. Terima kasih sudah membaca.
GLEN
Bagus dan keren
Angelica Mounieta S.
Kereenn
aji sulistyo
Pembaca jadi bisa membayangkan detail dari setiap kejadian, mantab
Gayatri Wulandari
keren