Catatan Ngaji Mantiq #10: Tiga Jenis Argumen

 

Setelah selesai dengan bahasan-bahasan inti tentang tashawwur yang mencakup definisi (hadd), relasi petanda (dalalah), jenis-jenis proposisi (qadhiyyah), dan syarat-syarat kontradiksi (tanaqudh), kita memasuki bahasan inti kedua dari mantiq, yakni tashdiq (judgment, penilaian). Inti dari tashdiq ialah bagaimana menyusun argumen, yang dalam mantiq disebut dengan hujjah.

Hujjah dalam mantiq biasa didefinisikan sebagai cara mencapai suatu kesimpulan (pengetahuan baru) dengan berbekal pada premis-premis yang sudah diketahui. Dalam mantiq, hujjah dibagi menjadi tiga jenis, yakni deduksi (qiyas), induksi (istiqra’) dan analogi (tamstsil). (Catatan: mantiq memakai istilah dengan pengertian yang berbeda dari istilah yang dipakai dalam ushulul-fiqh. Dalam ushulul-fiqh, analogi diistilahkan dengan qiyas, sementara qiyas dalam mantiq berarti deduksi. Analogi dalam mantiq diistilahkan dengan tamtsil.)

Tiga jenis hujjah itu (deduksi, induksi, dan analogi) urut dari yang terkuat ke yang terlemah. Deduksi disebut yang paling kuat sebab bila (a) tiap premis yang menyusunnya bernilai benar dan (b) premis-premis itu disusun dalam silogisme yang valid, kesimpulannya bersifat andal (sound) dan niscaya. Bila seseorang mengingkari kebenaran dari kesimpulan yang dihasilkan dari silogisme deduktif yang memenuhi dua syarat utama ini, bisa kita nyatakan orang tersebut tidak logis. Al-Ghazali menyatakan bahwa deduksi yang benar tiap premisnya dan valid silogismenya menghasilkan kebenaran yang bersifat dharuriy (pasti). Contoh yang sudah klise yang biasa dipakai dalam logika klasik terkait deduksi ialah: Semua manusia akan mati | Sokrates adalah manusia | maka, Sokrates akan mati.

Induksi lebih rendah nilai kebenaran yang dihasilkannya sebab kekuatannya bergantung pada seberapa banyak sampel yang menopangnya. Nilai kebenaran inilah yang menjadi perbedaan paling kunci antara deduksi dan induksi. Sementara deduksi menghasilkan kepastian (necessity), induksi menghasilkan kementakan (probability). Sementara deduksi menghasilkan kebenaran yang bersifat niscaya (dharuriy), induksi menghasilkan dugaan (zhanniy) tergantung pada seberapa banyak dukungan buktinya—bisa dugaan kuat (ghalabatuz-zhann) sehingga mendekati tingkat meyakinkan 100 persen (cogent), atau dugaan lemah sehingga kurang meyakinkan (uncogent). Bila penentangan terhadap kesimpulan dari deduksi bersifat mustahil (impossible), penentangan terhadap kesimpulan dari induksi bersifat takmentak (improbable), walau bisa jadi masih mungkin (possible). Karena kebenarannya bergantung pada jumlah sampel yang mendukungnya, semakin banyak sampel berarti semakin tinggi nilai kementakannya dan semakin kecil kemungkinan terjadi negasi/penentangan terhadapnya. Perbedaan lain antara deduksi dan induksi ialah: deduksi biasa berangkat dari aksioma-aksioma logis atau premis-premis universal yang kemudian diturunkan untuk menghasilkan suatu kesimpulan (bisa kita sebut penalaran top-down), sedangkan induksi berangkat dari kasus-kasus partikular yang kemudian digeneralisasi (bisa kita sebut penalaran bottom-up).

***

Induksi (istiqra’) biasa didefinisikan dalam mantiq sebagai tafahhush halat al-juz’iyyat atau observasi (pengamatan) terhadap sifat-sifat dalam kasus-kasus partikular. Induksi dibagi dua, yakni al-istiqra’ at-tamm (complete induction) dan al-istiqra’ an-naqish (defective induction). Yang pertama berarti observasi menyeluruh terhadap semua kasus partikular, sementara yang kedua berarti observasi terhadap sebagian sampel saja (bisa sebagian besar atau kecil) yang kemudian digeneralisasi.

Contoh yang biasa dipakai dalam mantiq untuk induksi sempurna ialah bahwa ‘semua manusia tumbuh’ yang dihasilkan dari pengamatan terhadap semua manusia yang darinya diekstrak suatu sifat, yakni ‘tumbuh’, dan sifat ini dinyatakan berlaku untuk semua. Contoh untuk induksi taksempurna ialah hewan yang hidup di air bernapas dengan insang. Contoh ini dihasilkan dari generalisasi, tetapi tidak meliputi semua. Paus, misalnya, bernapas dengan paru-paru, dan karenanya bukan digolongkan dalam keluarga ikan, melainkan mamalia, walaupun paus hidup di air.

Induksi inilah penalaran yang terbanyak dipakai dalam sains: hakim bagi kebenaran saintifik (dalam pengertian modernnya) ialah eksperimen dan bukti empiris. Bila suatu tesis ilmiah diperoleh dari pengamatan terhadap semua kasus, biasanya ia akan disebut ‘hukum’. (Dalam praktiknya, sebenarnya banyak ‘hukum’ dalam sains tidak diperoleh dari pengamatan langsung dan terhadap semua kasus. Banyak dari hukum itu yang dirumuskan dengan generalisasi: bahwa apa yang berlaku di sejumlah kasus pada waktu dan lokasi tertentu akan berlaku pula pada semua kasus di semua waktu dan lokasi dengan prasyarat kondisi yang sama. Para ilmuwan akan kehabisan tenaga jika harus mengamati semua kasus.)

Bila pengamatan terbatas pada sebagian besar kasus, penilaian biasanya melibatkan kata ‘kemungkinan’, ‘berpeluang’, ‘cenderung’, dsb. Misalnya, beberapa penelitian dengan sejumlah sampel yang dianggap representatif menunjukkan bahwa orang bergolongan darah O cenderung mengalami risiko lebih rendah terhadap infeksi virus korona dibanding orang bergolongan darah lain. Semakin besar dan semakin representatif jumlah sampel yang menyokong tesis ini, kemungkinan (likelihood) bagi kebenarannya semakin menguat.

Induksi juga banyak dipakai dalam fikih. Bahkan semua dari apa yang disebut ‘kaidah fikih’ (al-qawa’id al-fiqhiyyah) merupakan hasil induksi dari hukum-hukum partikular dalam fikih yang memiliki sifat-sifat yang sama, yang kemudian digeneralisasi dan disebut ‘kaidah’. Beberapa kaidah kemudian disebut ‘kaidah universal’ (al-qawa’id al-kulliyyah) karena tidak ada hukum fikih partikular yang lepas darinya.

Misal dari kaidah fikih universal ialah adagium yang berbunyi ‘segala perbuatan tergantung pada tujuannya’ (al-umur bimaqashidha). Ini diambil dari semua kasus fikih baik ibadah maupun muamalah yang nilainya bergantung pada niatnya dan berdasar hadis nabi “innamal-a’malu bin-niyyat”. Dalam ibadah, misalnya: salat tidak dianggap salat jika seseorang melakukan gerak-gerik seperti salat tetapi niatnya untuk yoga. Dalam muamalah, misalnya: berdagang akan bernilai ibadah jika diniatkan untuk menunaikan kewajiban agama yakni menafkahi keluarga. Kaidah universal dalam fikih ini tidak banyak. Biasanya kitab-kitab tentang kaidah fikih menyebut kaidah fikih universal berjumlah lima saja (disebut dengan al-qawa’id al-khams, ‘kaidah lima’). Di luar ini, kaidah-kaidah fikih diperoleh dari generalisasi (induksi) terhadap sebagian (besar atau kecil) dari hukum-hukum fikih partikular.

Kesadaran bahwa kaidah-kaidah fikih merupakan hasil dari induksi ini penting sebab implikasinya akan berdampak pada apakah suatu hukum fikih bersifat qath’iy (pasti dan meyakinkan) atau zhanniy (dugaan kuat). Kadang-kadang, hukum fikih diambil dari induksi pada jumlah kasus tertentu dan karena itu bersifat zhanniy. Dalam Mi’yar, al-Ghazali mengetengahkan contoh bahwa ‘salat witir boleh dilaksanakan di atas kendaraan’ dengan berdasar pada generalisasi terhadap aturan dalam salat-salat wajib (baik salat lima waktu, baik yang ada’ maupun qadha’, baik wajib kifayah seperti salat jenazah maupun wajib karena nazar) dan semuanya memiliki ketentuan tidak bisa dilakukan di atas kendaraan. Dari induksi terhadap hukum-hukum fikih ini diekstrak satu sifat yang sama, yakni salat wajib tidak boleh dilakukan di atas kendaraan. Berangkat dari premis inilah diambil kesimpulan bahwa salat sunnah boleh dilakukan di atas kendaraan; dan karena witir termasuk salat sunnah, maka witir boleh dilakukan di atas kendaraan. Pertanyaannya: apakah hukum fikih terkait witir ini bersifat qath’iy? Kata al-Ghazali, tidak, sebagaimana nilai kebenaran dari induksi itu sendiri yang bersifat zhanniy.

Sebagian besar rincian hukum fikih, kata al-Ghazali, juga bersifat zhanniy, dan hukum-hukum yang bersifat zhanniy bisa diterima dalam fikih. Ini yang membedakan fikih dari akidah. Dalam akidah, lanjut al-Ghazali, tesis-tesisnya mesti beranjak pada premis-premis yang bersifat qath’iy (pasti dan meyakinkan). Karena inilah, bila kita membaca kitab-kitab akidah, sebagian besar kesimpulan-kesimpulan di dalamnya diperoleh dari penalaran deduktif yang premis-premisnya mencapai taraf meyakinkan. Premis-premis yang meyakinkan ini dalam mantiq disebut dengan burhan, yang memerlukan pemaparan dalam tulisan tersendiri.

***

Bagaimana dengan analogi? Mantiq menyebutnya sebagai argumen terlemah sebab, sementara premis dalam deduksi biasanya bersifat universal (untuk menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan) dan induksi berangkat dari banyak data-data partikular (sehingga menghasilkan kementakan), analogi cukup berbekal satu kasus partikular.

Analogi (yang disebut tamtsil dalam mantiq) banyak dipakai dalam fikih, dan kaidah-kaidahnya sama belaka dengan kaidah qiyas dalam ushulul-fiqh, yakni adanya alasan penentu (determinan) yang sama antara yang jadi analog (al-ashl) dan yang dianalogikan (al-far’). Alasan penentu ini disebut ‘illah (ratio legis) dalam ushulul-fiqh.

Contoh klasik yang kerap dipakai dalam buku daras ushulul-fiqh ialah hukum minuman yang memabukkan. Misalnya, nabidz (wine) dinyatakan haram karena dianalogikan dengan khamr. Alasan penentunya (‘illah) ialah sifat memabukkan (iskar). Di sini tampak bahwa basis yang dipakai untuk merumuskan analogi cukup satu kasus partikular.

Contoh lain yang dipakai dalam Mi’yar ialah kasus apakah tikus yang berlari-larian di lantai akan menyebabkan lantai itu najis. Kata al-Ghazali, walaupun najis, itu termasuk najis yang ditoleransi (ma’fu). Analognya ialah hadis tentang kucing yang walaupun suka berlari-lari di lantai dan terduga bahwa kakinya menginjak najis, najisnya dianggap ma’fu dengan berdasar pada hadis yang berbunyi “kucing termasuk hewan yang suka berkeliling di sekitarmu [sehingga najisnya ditoleransi]” (innaha min at-thawwafina ‘alaykum). Di sini diambil dalam satu ‘illah yaitu kenyataan bahwa beberapa hewan suka berkeliling di sekitar manusia dan susah dihindari, sehingga najisnya ma’fu.

Hukum-hukum fikih terhadap hal-hal yang tak disebutkan secara eksplisit dalam nash (al-Quran maupun hadis) biasanya diperoleh dari analogi. Misal lainnya, yang kadang menjadi perdebatan di kalangan ahli fikih, ada banyak, seperti hukum bermain alat musik, hukum zakat fitrah dengan uang, hukum menyucikan najis dari jilatan anjing dengan sabun, dst. Pada dasarnya, sepanjang suatu kasus tidak memiliki dasar sharih (jelas dan eksplisit) dalam nash, ketentuan hukumnya cenderung memakai analogi.

Yang paling kunci perannya dalam analogi ialah menentukan ‘illah-nya atau alasan penentunya. Khusus dalam fikih, sebelum menentukan ‘illah ialah mengidentifikasi apakah suatu ketentuan hukum bersifat ta’abbudi (murni ritual sehingga tanpa alasan) atau ma’qulatul-ma’na (memiliki alasan rasional). Bila tergolong dalam jenis kedua, berarti bisa diidentifikasi ‘illah-nya, hukumnya bisa dirasionalisasi, dan bisa dianalogikan pada kasus hukum lain.

Terkait nabidz, misalnya, al-Ghazali menyatakan dalam Mi’yar bahwa ada dua pendapat yang mungkin muncul dalam kasus hukum ini. Bila berpegangan pada pendapat bahwa keharaman khamr bersifat ta’abbudi alias tanpa alasan rasional, maka keharaman khamr tidak bisa dianalogikan, sehingga nabidz pun tidak haram. Namun, bila berpegangan bahwa keharaman khamr bersifat ma’qulatul-ma’na alias memiliki alasan rasional, yakni sifat memabukkan, maka nabidz yang memabukkan pun haram. (Di sinilah kemudian terjadi perdebatan yang lebih mengakar lagi tentang bagaimana menentukan bahwa suatu hukum bersifat ta’abbudi atau tidak. Namun, ini merupakan bahasan lain di luar mantiq.)

Kesalahan dalam menentukan ‘illah itulah yang kadang membuat orang terpeleset dalam membuat analogi. Contoh ringan yang dipakai oleh al-Ghazali dalam Mi’yar ialah alasan orang pergi berlayar karena ingin kaya seperti orang Yahudi. Lalu ditanya, “Mengapa orang Yahudi itu kaya?” Jika dijawab, “karena dia Yahudi”, jawaban ini keliru sebab ‘illah dari kayanya orang Yahudi itu bukan karena keyahudiannya, tapi karena dia rajin mencari mata pencaharian ke berbagai tempat.

Contoh yang lebih berat ialah ketika melibatkan konsep-konsep abstrak. Misalnya, ketika menyangkut akidah—jadi, kadang analogi juga dipakai dalam akidah. Contoh yang dipakai oleh al-Ghazali dalam Mi’yar ialah perdebatan klasik antara Asy’ariyyah dengan filsuf Muslim Peripatetik (Massya’iyyun) tentang apakah Ilmu Allah adalah Dzat itu sendiri atau sifat yang melekat pada Dzat-Nya. Dalam doktrin Massya’iyyun, Allah mengetahui dengan Dzat, bukan sifat. Analoginya ialah dengan manusia, yakni bahwa setiap manusia yang mengetahui adalah mengetahui dengan dirinya (nafs), bukan dengan sifat mengetahui itu sendiri. Bunyi doktrinnya, “Allah ‘alimun bi’ilmin huwa Dzatuhu” (Allah mengetahui dengan Ilmu, yang Ilmu itu sendiri adalah Dzat-Nya). Al-Ghazali menanggapi: apakah basis analogi ini ialah diri manusia itu sendiri atau kondisi berpengetahuan (‘alim) dalam diri manusia?Jika basisnya ialah diri manusia itu sendiri, analogi ini tidak bisa diberlakukan pada Allah. Jika basisnya ialah kondisi berpengetahuan, maka bisa dianalogikan kepada semua yang berpengetahuan, dan kemudian diperoleh kesimpulan bahwa setiap yang mengetahui adalah mengetahui dengan ilmu, bukan dengan diri-yang-mengetahui. Dari sinilah muncul adagium dalam doktrin Asy’ariyyah, “kullu ‘alimin ‘alimun bi’ilmin” (segala yang mengetahui, mengetahui dengan ilmu). Artinya, sifat mengetahui bukanlah diri-yang-mengetahui. Jadi, Ilmu Allah ialah sifat yang melekat pada Dzat, bukan Dzat itu sendiri.

***

Demikian tiga jenis hujjah dalam mantiq. Dalam logika modern, biasanya jenis argumentasi juga dibagi tiga, tetapi yang ketiga bukan analogi, melainkan abduksi (biasanya diistilahkan dalam bahasa Arab dengan istikhthaf). Abduksi ialah penalaran dengan mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan penjelasan yang salah dari suatu premis. Misal, penjelasan tentang keberadaan alam semesta tidak akan lepas dari empat kemungkinan penjelasan, yakni a) ada dengan sendirinya dari ketiadaan; b) ada tanpa mula; atau c) ada karena diciptakan. Dengan abduksi, tanpa harus merumuskan argumen bahwa kemungkinan c adalah yang benar, misalnya, kita bisa menyatakan bahwa c benar dengan membuktikan bahwa a dan b salah. (Pembahasan khusus topik penjelasan muasal alam semesta ini butuh tulisan tersendiri.)

Abduksi pada esensinya mirip dengan argumen yang disebut dengan reductio ad absurdum atau menyatakan kebenaran suatu penjelasan dengan menunjukkan bahwa semua alternatif bagi penjelasan itu membawa pada suatu absurditas. Penalaran dengan abduksi juga berlaku pada cara berargumen yang disebut dengan inference to the best explanation (pengambilan kesimpulan berdasarkan pada pilihan yang memberikan penjelasan terbaik). Walau istilahnya bermacam-macam, pada hakikatnya spirit dari semua ini sama, yakni mengeliminasi alternatif-alternatif penjelasan yang keliru bagi suatu fenomena. Dalam mantiq, penalaran dengan abduksi lebih banyak dijelaskan dalam deduksi (qiyas) yang melibatkan premis berupa proposisi disjungsi eksklusif.

Dari beragam jenis argumen (hujjah) di atas, yang belum dipaparkan adalah deduksi. Ini paling rumit, sebab jenis dan syaratnya banyak, sehingga butuh tulisan tersendiri. Namun, seri catatan mantiq ini berakhir pada esai ini (catatan #10). Masih banyak topik dalam mantiq yang belum terliput dari seri catatan ini. Karena itu, pembahasan tentang deduksi, berikut hal-hal lain yang belum dibahas dalam seri ini, akan ditulis dalam versi buku kumpulan catatan mantiq dari kajian Mi’yarul-‘Ilmi. Insyaallah.

Comments

  1. Khasfiya Reply

    Artikel logika yang mencerahkan menurut saya

  2. Kak Fasta Reply

    Muanteeep pol daging semua ki

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!