Puisi Ubai Dillah Al Anshori

 

di ajibata langit mendung

 

yang mendung hanya langit. bukan sirih yang

akan disepuh bersama mantra-mantra

semerah senja. sedarah kunyah setelah diperam

pada bibir. usah berpaku setelah

kitab disimpan seluas dermaga. atau ia

memurnikan kehendak lama.

 

seperti cermin. memantulkan pulang

di ujung lidah dan pergi di sela

jari. namun setiap kali

sirih disepuh. cuaca berembun dan

merekah.

 

dengan bekal dari kemungkinan-kemungkinan

sesaat setelah tangga

rumah bolon semakin berlumut. dan

rayap telah beranak-pinak

ia meminta kembali pada asal-mula

bagai patung yang menua

 

masihkah ada yang melewati

gapura setelah tajam kelokan

saling berduka?

 

2025

 

 

meratapi patung tak bernama

 

jika waktunya tiba, ia berteriak seperti lengking

sangkakala. tetapi bisik-bisik lirih di antara

jembatan terkutuk dan derai batang agam

mengundang ratapan. seolah mengurung

riuh pasar, hiruk-pikuk kota

atau rabab yang sedari pagi diperdengarkan.

 

ini rupa penjara lain. penjara terbuat

dari hujan dan malam

bahkan petunjuk bahwa ibu telah

melahirkan adam di kota penuh kenang

 

sesudah menampung hari-hari silam

lurus jalan ini menekuni

segala tiba hanya mengandung sederet

singgah.

orang-orang berlalu, menyiasati ragam

masa lalu dengan berpegangan tangan,

di seberang lagi menyantap hidangan sepiring berdua

atau di musim lain

itiak dipacu dari jalur-jalur peradaban

agar raja-raja menyulap perih

menjadi gelak-tawa

 

setelahnya, dalam pendar-pendar

peristiwa situjuah bagai berlari. sesekali

seruak kopi dan tembakau kejar-

mengejar hingga ke

aie tabik

 

jika waktunya tiba, ia berteriak seperti lengking

sangkakala. tetapi yang melekat hanya

lengkung kesepian dan

ratapan yang terbawa arus ke

hilir perantauan

 

2025

 

 

di tanah ponggol

 

alangkah pedih bila ia terlupa

di terusan wilhelmina

kabar itu terus dikeruk. tak tentu berapa panjang

berapa lebar kisah ini

dituturkan.

 

tanah-tanah tak beraga

sirih-sirih menyelami mulut-mulut duka

berpikul-pikul batu perpindah

segala genting.

 

ia kiranya. ia pula semestinya melerai

dari louis welsink

kabar yang fana beredar

perahu-perahu terpaksa menepi

rodi ini. rodi tanpa matahari

 

mengitari langit-langit tanpa dahaga

terempas, kandas.

melahap angan-angan dalam hari

di tepi-tepi danau

angin kehabisan damai

 

tapi, ia masih menyimpan

menyimpan cerita di antara

ceret-ceret tuak atau

lapo-lapo dengan lagu

masa lalu

 

2024

 

 

berpagar rimbun

 

betapa rimbun

ketika ia menatap. menatap

cerita-cerita jauh.

jendela, pintu, halaman,

batu-batu, bunga-bunga. segala

merimbun menutup kepedihan

 

seperti dulu. detik menggeliat lambat

dari dalam ingatan. jalan-jalan raya

memanjang. warna-warna merekah

tapi ladang, tapi pohon-pohon takut akan

matahari

 

sejak itu, ia menutup pagar-pagar cerita

umpama pulang menunda

separuh bayang-bayang.

angin menjelma gamang

merayau ruas-ruas air mata

 

ia mendengar bisik

dari kelokan.

sepasang mata akan datang.

menatap dari arah

yang sama.

 

setelahnya, angin terlepas

menyisakan hari-hari yang

kandas

 

2024

Ubai Dillah Al Anshori
Latest posts by Ubai Dillah Al Anshori (see all)

Comments

  1. snd Reply

    puisinya keren banget dah

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!