BAYANG-BAYANG IBLIS

Aku tak percaya hantu. Tak pula setan atau iblis. Kesemuanya kupikir ialah bualan seseorang yang tak mau mempertanggungjawabkan keburukan pikiran dan perilakunya sendiri. Namun, semenjak istriku meninggal, entah mengapa aku merasakan sesuatu kerap berseliweran di sekitaranku. Merayap diam-diam, bersembunyi, bukan sekadar angin dingin atau desir daun di luar jendela, lebih kepada kabut tipis yang merundung, terselip, dan menyelubungi rongga napasku.

Ketika aku menonton TV di siang hari, kadang-kadang jantungku berdetak kuat sekali. Udara panas tiba-tiba merendah, menjelma sejuk bagai napas malam yang datang lebih cepat. Terdengar tapak seseorang melangkah ke arah dapur. Dan galon air bergeluguk di tengah kesunyian yang menghinggap di kesadaranku.

Lalu di televisi, mata presenter berita mendadak melotot kepadaku. Suaranya menjadi berat, serak. Kukedipkan mata berkali-kali, namun perasaan itu tak kunjung menghilang. Sesaat aku merasa seseorang dari arah dapur itu melangkah berderap ke arahku, dan ia duduk di sofa di samping. Saat itulah keadaan kembali seperti semula. Tapi, aku terus saja bergidik ngeri. Tanganku terasa geli, seperti digenggam oleh sebuah hawa yang tak kuketahui.

Malam pun menjadi teror tersendiri bagiku. Di tengah malam aku kerap terjaga. Karena haus, aku turun ke dapur untuk mengambil minum. Tapi di tangganya, foto-foto kami yang berderet di dinding sepanjang turunan, seolah berbisik-bisik tipis kepadaku.

Mulanya tak kugubris dan terus saja berjalan. Lama-kelamaan aku mulai merasa seseorang telah mengikuti jejakku di belakang. Dengan menoleh sedikit ke bahu, aku melihat dengan ujung mata, wujudnya tinggi berselimut kain hitam. Terdengar dia menggumam-gumam dengan suara halus, tanpa kata, hanya getaran yang tiba ke tulangku. Sontak kunyalakan lampu dapur. Tetapi, tidak ada apa-apa di sana selain angin yang berembus kencang dan menghantam kaca jendela.

Kejadian serupa itu banyak terjadi. Sebab itu lampu di seisi rumah tak pernah lagi kupadamkan. Foto-foto istriku kesemuanya telah kuturunkan dan kusimpan di gudang. Beberapa yang mengusik, seperti fotonya yang sedang tersenyum atau memunggungiku di dermaga seraya menoleh, kubakar bersama daun-daun kering di halaman belakang.

Semua itu kulakukan saat aku akhirnya mengambil kesimpulan bahwa istriku yang sudah meninggal, terlahir kembali menjadi iblis.

Pada suatu malam yang biasa saja, tidak ada angin, tidak ada hujan, aku sulit tidur kala itu. Berjam-jam mataku terpejam, tapi tak juga aku menyelam dalam lamunan alam bawah sadarku. Aku memutuskan untuk membaca buku untuk menjemput kantuk. Tetapi pada saat aku baru membuka mata, tiba-tiba di pojok kamar aku melihat seorang perempuan bersalut mukena hitam sedang salat.

Napasku sontak tercekat. Aku mengucek mata berulang kali, tapi sosok itu betul-betul nyata ada di sana. Terus saja sembahyang tanpa sama sekali terusik olehku yang terbata-bata memanggilkan namanya.

Bisik-bisik bacaan salatnya yang tipis, mengudara masuk dalam telingaku. Aku terlemah, mataku berat, mengawang-awang, berkunang-kunang. Tubuhku terhuyung-huyung, namun menolak terjatuh pingsan. Aku tak dapat bergerak sama sekali di atas kasur. Sekadar terduduk memegang selimut, pandanganku tak dapat kuarahkan ke yang lain-lain, selain pada dirinya.

Malam terasa sangat dingin. Atau aku yang terserang demam. Sekujur tubuhku basah oleh keringat. Menjelang ia duduk tahiyat akhir, sujudnya lama sekali. Bisik-bisik bacaan salatnya kian lama seperti menjemput, mendekat, dengan tempo yang sejalan jarum detik jam dinding yang berdetak-detak, selambat irama jantungku yang keras, yang seolah mengisapku ke dalam gelap.

Akhirnya, aku mulai terlepas dari rantai yang mencegatku kala aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku dengan lembut. Persis macam suara istriku ketika terpucat pasi terbaring di kasur rumah sakit, detik-detik sebelum ajalnya dicabut. Namun, saat itu ia masih saja bersujud. Hanya saja wujudnya tak tampak akibat tenggelam di balik ujung kasur.

Aku mendekat dengan perlahan. Aku tahu wajahku telah terpucat seperti mayat. Terasa semilir napasku mampu menggigilkan badan. Segenap tapakku begitu ringan, nyaris mengambang di udara. Dan itu perlahan membuat pandanganku terus menghitam. Hingga akhirnya, tak kuat seluruhnya kutahan oleh jiwaku, seketika terjatuh aku di ubin kala sepucuk kilat runcing menyambar di tirai jendela kamar yang semi-transparan.

Keesokan paginya, aku ingat satu hal, bahwa istriku tak ada di sana malam tadi. Tak tertinggal sama sekali sajadah dan mukenanya, selain kekosongan semata. Dan seonggok ingatan terlintas, pada saat-saat pandanganku hitam, cahaya yang timbul-hilang, dia mengucap salam salatnya tepat di samping telingaku.

Aku tak kuat. Kudatangi kuburan istriku sore itu juga dengan membawa sekeranjang bunga dan air. Kutabur kelopak-kelopak bunga di atas gundukan tanahnya yang kering. Nisannya yang telah dibercak tanah becek yang mengeras kubasahi seluruhnya. Kukatakan di sampingnya, aku sangat mencintainya. Dengan sedikit terisak, aku mengenang suatu hari di saat ijab kabul, bahwa kami berdua pernah bersumpah setia bersama bahkan ketika maut telah menjemput kami.

“Tariklah kata-kata itu,” ujarku berderai air mata.

Aku tak mengerti perihal apa istriku datang kembali ke rumah. Meski sebetulnya dia tidak mengganggu, tetapi keseluruhan anomali yang ditimbulkannya, seperti kompor yang tiba-tiba menyala, air di bak cuci yang entah kenapa penuh, baju kotor yang begitu saja telah masuk ke dalam mesin cuci, itu semua amat mengacaukan pikiranku. Tak jarang pula aku mendengar dia menangis di sudut-sudut rumah. Dia menjerit kesakitan seperti orang yang sedang dipukul dan disiksa. Itu amat mendera batinku.

Aku rajin merenung. Sungguh, aku betul-betul mencintai istriku. Jika tidak, buat apa aku menikahinya? Aku senang pada kecantikannya. Aku senang pada ketaatannya terhadapku. Aku senang dia melayaniku sepenuh hati.

Pernikahan kami memang panjang umur. Saat itu, dengan berjarak lima tahun, aku lebih tua, dia yang baru tamat kuliah, segera kunikahi dengan berkata, “Kamu tidak perlu bekerja, mengejar kariermu hanya membuang waktu. Seluruh kehidupanmu biarlah kutanggung, aku suamimu.”

Memang sulit sebetulnya bagi dia melepaskan itu dan menjadi ibu rumah tangga. Tetapi, aku sadar betul tugasku sebagai laki-laki. Apa kata orang bila mengetahui istriku ikut bekerja? Dan memang pernikahan itu cukup kompleks. Tidak lagi penting apakah cinta atau bukan, sepenuhnya yang tinggal pada pernikahan hanyalah tanggung jawab.

Itulah sebabnya kadang kami ribut. Tapi, bukankah itu sudah menjadi bagian dari pernikahan? Jika aku pulang kerja, kulihat istriku lupa menyiapkan makan malam, masih saja mengurusi tanaman di halaman belakang. Bagaimana aku tidak marah? Begitu pun di akhir pekan. Saat berjumpa dengan teman-temannya, ia justru melupakan bahwa di rumah ia mempunyai suami yang butuh ditemani. Bagaimana aku tidak melarangnya pergi?

Aku memang sering memarahinya. Tapi, itu karena aku mencintainya. Aku menyadari satu hal, perempuan setelah menikah persis macam kuda liar yang perlu dijinakkan. Mereka kadang melawan, tapi mereka lupa siapa yang tuan. Di saat mereka terlampau lupa, tak ada salahnya bila diingatkan dengan cara yang sedikit keras.

Istriku bercita-cita menjadi guru. Tetapi, bersamaku ia tak perlulah mengajar sebab akulah yang bertanggung jawab mengurusi hidupnya. Lantas pernah suatu hari, saat aku terlupa suatu barang di rumah, terkaget-kaget aku menemukan istriku sedang mengajar via online di ruang tengah.

Aku marah besar hari itu. Istriku yang bekerja, kutangkap sebagai tindakan tidak menghargai gaji bulananku. Kudorong ia ke pojok ruangan. Ia melawan dengan mengatakan ia tak butuh uang-uangku. Dan aku menamparnya hingga membuatnya menangis.

            Benteng terakhir perempuan memanglah menangis. Namun, andai saja ia tahu bahwa aku sama sekali tak bermaksud menyakitinya. Tamparanku adalah tanda cintaku terhadapnya. Tapi, dia menolak memahami itu. Hingga suatu hari, dengan radikal ia menenggak setengah botol racun tikus. Aku cepat pulang sore itu. Sempat kubawa ia yang mengejang ke rumah sakit. Tapi, tak berapa lama maut menjemputnya.

Kini, ia telah menjadi iblis yang menggentayangi hari-hariku. Kedatangannya telah membuatku benci pula terhadap diriku sendiri. Kau tahu, aku tak punya alasan untuk membenci diriku sendiri. Tetapi, istriku yang telah berwujud iblis itu telah merasuk pula ke dalam tubuhku.

Susah untuk menatap diriku di cermin. Kadang aku menjumpai sosoknya yang penuh lebam dengan mata sembab dan berkaca-kaca. Maskara hitam di bawah matanya luntur membentuk goresan halilintar. Kemunculannya itu membuatku sering marah-marah sendiri. Seluruh cermin akhirnya kupatah dan kupecahkan hingga menjadi beling-beling halus dan kukubur dalam pula di pekarangan supaya aku tak perlu lagi berjumpa dengan diriku sendiri yang telah dirasuki oleh iblis istriku.

Ia datang seperti hendak menagih dendam. Maka, kubakarlah seluruh barang-barang peninggalannya dengan harapan ia berhenti menggangguku. Termasuk pakaian dan foto-foto. Bunga-bunga yang ia rawat di halaman belakang, juga kupangkas hingga tak bersisa lagi.

Namun, sesaat aku telah memusnahkan yang tersisa darinya, iblis perempuan itu menemukan jalan lain. Ia mulai merambah lebih jauh dalam kehidupanku. Seluruh perempuan yang kutatap di jalan-jalan membuatku mual, membuatku takut. Tubuh mereka dirantai besi panjang berkarat. Wajah-wajahnya membiru dan memutih, berdarah-darah, pakaian tersobek, rambut acak-acakan dan rontok seperti habis dijambak. Seolah keseluruhan mata perempuan-perempuan yang kutemui di luar ialah istriku, yang merah matanya melotot padaku dengan ketegangan urat-uratnya.

Aku jadi sering bertingkah liar. Dalam pandangan tetangga dan orang sekeliling, aku telah dianggap gila tersebab suka berteriak dan berlari terkocar-kacir tanpa alasan jelas. Mereka bodoh, dan tak tahu bahwa kenyataanku, realitasku, telah dirampok sepenuhnya oleh istriku yang sudah meninggal.

Aku yang masih hidup, kini nyaris sepenuhnya mati dibuatnya. Ini semua perkara iblis istriku yang membayang-bayang dalam mataku. Berulang kali telah kujelaskan kepada orang-orang, tapi tak ada yang percaya. Malah mereka mengirimku ke rumah sakit jiwa, hanya agar aku menerima segala kegilaanku.[]

Aceh Besar, 2024

Nuzul Ilmiawan
Latest posts by Nuzul Ilmiawan (see all)

Comments

  1. Cak lil Reply

    Cerita yang dibuat, mungkin beberapa alur cerita memiliki kesamaan dengan cerita pada umumnya. Tapi yang membedakan adalah narasi dan diksi yang membuatnya beda. Cukup asyik dibaca, seperti sedang menikmati bacaan puisi pada tiap paragrafnya.

    • Ilfan Zulfani Reply

      Yap. Setuju. Dengan tidak menyebutkan aspek lain, cerita ini memiliki nada bahasa yang mengasyikkan.

  2. Dian Reply

    Sepiawai ini pengisahannya. Kamu punya konstruk bahasa yang bagus. Mantap kelahiran 2001, masih muda padahal.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!