
Beliau adalah Muhammad bin ‘Abd al-Khaliq ad-Dinuri. Beliau termasuk sufi yang paling agung di masanya. Kondisi rohani beliau sungguh sangat besar, lebih besar dari kondisi rohani para sufi yang lain. Beliau paling fasih berbicara tentang ilmu tasawuf, tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan penyucian batin.
Kesenangan beliau adalah bersahabat dengan para fakir-miskin. Bahkan mereka merupakan “andalan” beliau. Beliau sangat bersikap sopan santun terhadap mereka. Selama beberapa tahun beliau tinggal di lembah-lembah desa. Kemudian beliau kembali ke Dinur, dan wafat di sana sebagaimana yang diungkapkan dalam Kitab Thabaqat as-Sulami.
Menurut Syaikh al-Islam di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami bahwa di akhir umurnya Syaikh Abu ‘Abdillah ad-Dinuri masuk ke dalam sebuah desa yang bernama Wad al-Qura yang terletak di antara kota Madinah al-Munawwaroh dan Syiria.
Beliau masuk masjid dalam keadaan lapar. Tidak ada siapa pun yang menjadikannya sebagai tamu yang perlu dikasih makan. Dan beliau wafat dalam keadaan lapar. Setelah orang-orang menyaksikan beliau dalam keadaan wafat, mereka memandikan dan mengkafaninya. Lalu, mereka menguburkannya.
Pada hari kedua, ketika mereka sudah masuk masjid, mereka menyaksikan kain yang putih dan sebuah kertas di mihrab masjid itu. Kertas itu bertuliskan: “Telah turun di antara kalian orang yang Kucintai dan mencintaiKu. Tidak ada seorang pun yang memberikan kepadanya makanan. Kalian telah membunuhnya dengan lapar.”
Menurut Syaikh Abu ‘Abdillah ad-Dinuri, ketika Allah Ta’ala menyatakan “Faqul salaamun ‘alaikum” dalam surat al-An’am ayat 54, sesungguhnya hadiratNya itu mengucap kepada para fakir-miskin. Karena itu, dalam seluruh hidupnya, beliau jatuh cinta dan sangat perhatian kepada para fakir-miskin.
Bukan beliau mencintai para fakir-miskin dalam keadaan kaya raya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang modern pada hari ini, tapi sepenuhnya menceburkan diri di dalam jurang kefakiran. Kefakiran yang diperbincangkan oleh beliau bukan saja merupakan narasi dan wacana, tapi sepenuhnya dialami.
Suatu hari, pernah beliau berada dalam perahu. Kebetulan di hari itu, angin hanya semilir, sepoi-sepoi. Beliau sibuk menjahit bajunya yang bolong-bolong hingga beliau sampai di tujuan. Tentang tindakannya itu, beliau menyatakan bahwa beliau telah membuat sibuk nafsunya sebelum beliau dibikin sibuk.
Betul sekali beliau. Telah membuat nafsunya sibuk. Coba kalau beliau dibikin sibuk oleh nafsunya, betapa itu akan mencelakakan beliau. Sebab, nafsu tak lain adalah musuh yang kalau diletakkan di depan, pastilah akan menyeret manusia, siapa pun itu, pada jurang nestapa dan keculasan.
Di dalam perjalanan menuju kepada Allah Ta’ala, roh atau akal harus berada di barisan terdepan agar menjadi sais kepada hadiratNya. Nafsu harus berada di belakangnya agar menjadi makmum yang setia kepada imamnya. Jangan sampai anggota tubuh yang lain berada di depan perjalanan tidak kacau. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Salibah bin Ibrahim - 14 February 2025
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025