Puisi Tia Ragat

 

Menjadi Manusia 2

 

akhir-akhir ini aku tak cukup tidur

kepalaku berisik dengan sajakmu tentang negara

dan jantungku selalu gemetar

mungkin udara di sini seperti asap kebakaran

atau matamu yang selalu memeranjatkan

 

kau tahu dalam usaha tidurku yang amat susah

aku menghayal jadi manusia

yang

selalu beri amin di setiap doa baik 

tidak jontor selesai menyapa Bapak/Ibunya

mengasuh anak-anaknya dengan nyanyian alam,

dendang pujian, dan bunyi sangkakala

atau

tidak ingin kehilangan dirinya

 

sebab di zaman ini,

lempar canda, sembunyi luka

lempar umpatan, sembunyi iman

lempar hutan, sembunyi uang

 

 

Mei dan Kota-kota di Dalamnya

 

kita tidak pernah becus menyambut Mei dengan hangat

penggusuran di tiap lekukan dadanya

atau menguntai cacing-cacing kecil di anusnya

kita benar-benar fokus pada remeh-temeh itu,

tanpa melihat bahwa Mei sedang sekarat

 

sebagai teman, aku mengajak Mei bercerita

sebab teman

layak untuk didengarkan

dan mendengarkan

atau

kadang-kadang

disisipi lesi dan sepi

pun kata-kata lontai tanpa ujung

 

hari ini kami ke kota M, 

esok ke kota J

lusa kembali ke kota K

tetapi tiap hari jiwa kami ingin tinggal

dan membayangkan kota I

 

tentu kau tahu!

kau tahu dan

sok berlagak tak tahu

sebab itu caramu dan duniamu bekerja

 

duniamu?

rumah dari kota-kota itu bersemayam

rumah yang dipenuhi surat kontrak

balas jasa

amunisi

politisi

sedikit nutrisi

dan ambisi

 

Mei bilang begitu.

 

Mei, 2024

 

 

 

Di Satu Hari

 

kita berjalan menyusuri lorong-lorong penuh

bekas pinang,

bau pesing,

pecahan bir bintang,

lalat,

umpatan akhir hayat,

noda pejabat,

dua bibir yang tak sempat bertukar rasa

atau

jiwa-jiwa yang terpenjara dalam kata “mengapa?”

 

teraduk sempurna sampai-sampai kita bingung

mana yang lebih menjijikkan

 

kita terus berjalan pelan-pelan sampai ke perempatan,

kau akan terhimpit dalam klakson, suara kereta,

sirine kematian masyarakat sipil, atau pelecehan jalanan yang lalu-lalang

beberapa di antaranya memakai emas 24 karat

disinyalir bisa bersanding dengan utang negara

kau akan bersua dengan jalan-jalan penuh lubang

dan otak-otak manusia yang bergembung

 

namun,

kita tidak berhenti

kita terus maju sampai di mana tak ada lagi jalan

tak ada lagi kita

tak ada lagi gapura selamat datang

tak ada lagi penyair

yang memakai pelantang

atau sajak-sajak yang menantang

 

 

 

Maria di Lourdez

Irmina

 

aku menapaki setiap anak tangga

sambil menghitung waktu yang tersisa

karena kita tak kekal

 

abadi hanya milik kata-kata

atau hati kita yang acak-acakan

 

aku melihat mama bertemu dirinya sendiri

dalam palung paling syahdu

sebelum bulir-bulir amin mengalir darinya

pusar matanya merekah

bak menerima uang negara

atau bingkisan gawai dari bapak

 

tetapi mama cukup lama

dan aku cukup segan menanti

 

di tengah-tengah detak dan retak itu

mama bilang:

“terpujilah aku di antara kemunafikan,

dan di hadapan anakku yang setia”

 

Kupang, 12 Oktober 2023

Tia Ragat
Latest posts by Tia Ragat (see all)

Comments

  1. d4Lb0 Reply

    Ah, diksinya mirip Pak Sapardi

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!