
Seorang anak yatim-piatu bernama Gadun menggunakan permintaan pertamanya di surga hanya untuk sebuah tali kawat yang teramat besar, panjang, dan keras. Surga tak membutuhkan alasan bagi permintaan-permintaan manusia. Seketika saja tali itu muncul di depan Gadun.
“Aku hanya ingin menyelamatkan orang yang telah menyelamatkanku,” katanya kepada sang adik.
Sebelum berangkat, Gadun meminta adik kecilnya—bukan adik kandung, melainkan adik angkatnya—untuk tak mengikutinya dan menetap di surga, menikmati seluruh isinya. Kemudian dengan membawa kawat itu, Gadun memasuki gerbang terlarang dan menyusuri hutan-hutan kering dan menyeramkan.
Di sepanjang jalan, dia mendengar bisikan-bisikan halus dari roh-roh berjubah putih yang melayang di sekelilingnya yang meminta pertolongan. Gadun bergidik ngeri, tapi ia punya suatu misi penting. Ia memejamkan matanya tatkala kedua kakinya yang mulai terasa lelah dan sakit itu terus saja tak henti-henti melangkah.
Sebetulnya, Gadun bisa saja mewujudkan tujuannya hanya dengan memohon kepada Tuhan. Tapi, Gadun tahu, itu tak akan melunasi apa-apa. Keringat kebaikan hanya dapat dibayar dengan keringat kebaikan.
Setelah menempuh perjalanan entah berapa malam dan entah berapa hari, tibalah ia akhirnya di sumur berlubang besar yang bernama neraka. Ia dapat mencium bau bangkai gosong yang amat pekat dan gemaan jerat-jeritan orang kesakitan yang memantul-mantul dari cincin sumur itu hingga menguarkan kepedihan ke permukaan.
Hanya sekejap Gadun membuka mata dan langsung menutupnya lagi lalu terduduk menangis. Udara panas yang tersembur dari lubang itu seketika menyiraminya. Ia bisa merasakan kulitnya melepuh, meleleh, tapi sesungguhnya tak terjadi apa-apa pada kulitnya.
Gadun menguatkan dirinya kemudian melangkah perlahan mendekati sumur itu dengan mata yang masih terpejam. Ia menekurkan kepala, mencelupkan pandangannya ke alam bawah, lalu membuka mata. Sosok bayangan secepat kilat mencuat di balik kelam kemerahan dan langsung menarik jiwanya hingga Gadun sekonyong terjatuh pingsan.
Sementara itu, ada sesuatu yang sedang terjadi di neraka. Bontah sedang merapatkan barisan orang-orang di kala jam istirahat siksaan sedang berdentang. Ada banyak sekali orang dari berbagai golongan yang mengelilinginya, seperti koruptor, pengacara, hakim, pebisnis, pembunuh, pemerkosa, sampai tukang jarah dan tukang intip. Mereka semua diam dan menyimak apa yang ingin dikatakan oleh si pencuri itu.
“Begini saudara-saudara sekalian!” soraknya, “Memang kita semua penjahat. Kita memang layak dihukum dan disiksa sedemikiannya atas apa yang telah kita lakukan di dunia. Ini adalah pembersihan dosa-dosa kita. Akan tetapi, mari kita bayangkan saudara-saudara. Tidakkah Tuhan telah bersikap tidak adil sekarang ini? Sudah berapa kali kita merasakan kematian lalu dihidupkan kembali hanya untuk disiksa lagi, lagi, lagi dan lagi, hanya untuk mencicipi kematian berkali-kali?”
“Jawablah pertanyaanku jika memang kita seorang yang beriman.” Bontah mendekati hadirin-hadirinnya, “Tidakkah kita harusnya mempercayai bahwa Tuhan kita yang Maha Agung itu sudah menetapkan takdir di masing-masing hidup kita? Bukankah dia yang telah menjadikan kita seperti ini?”
Dengan lantangnya Bontah berkata, “Dia menempatkan aku di suatu negara yang rusak di mana rakyatnya hidup penuh dalam kemiskinan sehingga tak ada cara lain bagiku untuk bertahan hidup selain dengan mencuri. Tuhanlah yang sudah menjebak kita semua! Dialah yang sudah menyiksa kita!”
Para hadirin bersorak, termasuk koruptor, pengacara, hakim, dan pebisnis, dan itu membuat Bontah menatap garang. “Tidak untuk kalian-kalian, Bajingan!” serunya, “Untungnya sekarang kita mempunyai musuh yang sama. Kalau tidak, sudah habis kalian kucincang!”
Bontah mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi ke udara yang berasap hitam legam. “Sekaranglah, Saudara-saudara, saatnya bagi kita untuk bersuara meminta keadilan. Karena sejatinya, sejahat-jahatnya manusia pastilah ada sekali waktu dalam hidupnya dia membuat suatu kebajikan, dan kebajikan yang diberikannya itu pastilah menyebar seperti benih-benih yang menciptakan kebajikan-kebajikan yang lain …”
“Mari sama-sama kita bersatu menggulingkan Tuhan!” Sorak Bontah yang seketika disambut sorak-sorai penuh semangat dan penuh amarah. Setan-setan yang mengawasi jadi tersenyum kesenangan.
Seseorang kemudian dengan polosnya bertanya, “Oke, sekarang bagaimana kita akan keluar?”
Seketika suasana hening.
Di atas sana, di tepi lubang sumur, Gadun kembali sadarkan diri. Ia terengah-engah dengan mata merah membeliak dan menegang. Ia tak percaya apa yang telah dilihatnya. Di dalam mimpinya, Gadun melihat miliaran manusia disiksa oleh setan-setan bertanduk dan berekor. Darah-darah yang bertumpahan dan berceceran seketika hangus terpanggang. Semua merah di mana-mana seperti sebuah hutan yang sedang terbakar. Dan di dalam mimpinya itu, ia sempat melihat Bontah, orang yang telah menyelamatkannya, sedang diseret dengan kedua tangan terjulur hendak menggapai tangan Gadun.
Gadun tiba-tiba jadi mengenang masa lalunya. Ketika ia terkulai lemah di dasar sumur, sekonyong-konyong Bontah turun dengan seutas tali dan mengeluarkannya dari dalam sana. Gadun tak ingat berapa hari pencuri itu merawatnya. Ia hanya ingat pencuri itu telah merawat dan menyelamatkannya. Sewaktu sadar, pencuri itu tertawa-tawa.
“Apa yang kau lakukan di dalam sumur, Kawan? Kau mau mati?”
Gadun terbata-bata menggigil di balik selimut. “A-aku menemukan b-bola di sumur itu.”
“Konyol sekali, kau hampir mati hanya karena sebuah bola.”
“A-aku tahu. Tapi, aku ingin menghadiahkan sesuatu untuk adikku. Dia belum pernah mendapat hadiah apa-apa.”
Gadun lantas buru-buru bangkit ingin pulang menemui adik angkatnya yang entah ditemuinya di mana, tapi Bontah menahannya, menyuruhnya istirahat dulu.
“Lagipula,” kata Bontah seraya menundukkan pandangan, “sepertinya adikmu tak ada lagi. Aku melihat seorang anak kecil mati kelaparan tak jauh dari sumur itu.”
Dan Gadun begitu saja terebah pingsan.
Anak itu tinggal berbulan-bulan di gubuk reyot milik Bontah tanpa sama sekali mengetahui orang itu ialah pencuri. Bahwa ia dapat hidup, dapat makan, dan sedikit hiburan kecil-kecil dari hasil Bontah mengambil milik orang lain. Itu memang tidak benar, untungnya Gadun tak mengetahuinya. Gadun tahu kebenaran itu sewaktu Bontah tak pernah pulang-pulang lagi. Ketika ia membaca selembar koran di suatu pagi yang cerah, wajah Bontah terpampang di sana selepas tewas diamuk massa gara-gara ketahuan mencuri motor untuk pertama kalinya.
Gadun tak pernah lupa jasa Bontah, bahkan ketika tubuhnya terbelah dua setelah terlindas ban truk saat ia berkeliling berjualan roti. Yang terbayang di kepala seiring kedua matanya perlahan tertutup rapat hanyalah sang adik dan Bontah saja. Sebab selama hidup, Gadun tak pernah tahu siapa ibunya, siapa bapaknya.
Dia menanggung utang yang begitu besar kepada Bontah. Sebab itu, ketika ia sekali lagi melongokkan kepalanya ke dalam sumur, dengan penuh keyakinan ia melawan ribuan bayangan jahat yang hendak mengisap jiwanya kembali. Lantas sekencang-kencangnya dia meneriakkan nama Bontah hingga seisi neraka menggelegar tak sanggup menahan guncangan.
Orang-orang di dalam sumur yang semula amat bersemangat langsung menjadi ciut. “Tuhan tahu rencana kita!” seseorang berseru dalam ketakutan. Tanpa berpikir panjang, mereka langsung bersujud-sujud memohon ampun. Kecuali Bontah, ia masih berdiri tegak dan berpaling.
“Itu namaku. Seseorang dari dunia luar memanggil namaku,” batinnya. Lalu ia berteriak dan berlari. Setibanya ia di dasar lubang sumur, Bontah menengadah menatap cahaya yang teramat terang di ujung sana dan berteriak sekali lagi.
“Oiii!”
“Oiii!” sahut Gadun, “ini aku!”
“Siapa?”
“Seorang anak yang pernah kauselamatkan di dunia. Aku datang untuk menyelamatkanmu!”
Bontah sejenak keheranan. Ia tak mengingatnya, lalu geleng-geleng karena itu tak penting lagi. Yang terpenting kini seseorang telah datang untuk menyelamatkannya.
“Bagaimana kau akan menyelamatkanku?” tanya Bontah dengan berteriak.
Gadun melempar tali kawat dan mengulurkannya hingga ke dasar. Bontah menangkapnya, lalu menarik-nariknya sedikit untuk menguji ketahanannya. Setelah mengangguk-angguk kecil, Bontah kembali berlari ke arah hadirin yang terus bersujud-sujud mohon ampun.
“Kawan-kawan!” seru Bontah, “Aku telah menemukan cara agar kita bisa keluar dari tempat ini dan melawan Tuhan!”
Tetapi, orang-orang itu sudah tak bersemangat lagi. Mereka merasa trauma dengan teriakan lantang lagi menggelegar sebelumnya yang nyaris meledakkan tubuh mereka. Meskipun suara hati sebenarnya ingin ikut, kenyataannya ketakutan lebih menguasai diri mereka.
“Kami tak mampu membayangkan bagaimana jadinya kalau Tuhan marah,” kata seorang.
Yang lain menyahut serupa gerombolan ternak, “Ya, ya, lebih baik kami disiksa di sini saja. Kami berdosa … berdosa ….”
Mereka terus saja bersujud-sujud. Akhirnya, yang bersedia mengikuti Bontah hanya sedikit. Tapi, rencana harus tetap dilangsungkan, semangat itu masih harus dipertahankan. Lebih baik mencoba. Lagipula kalau mati, kita memang sudah mati, kalau memang didera siksa lagi, kita sudah tersiksa berkali-kali.
“Kalian semua kumpulan pengecut pecundang!” seru Bontah, “Kalau demo kami berhasil, kalian juga yang menikmati hasilnya!” Bontah dan rombongan pengikutnya kemudian bersama-sama mendekati lubang sumur.
“Apakah sanggup tali ini menampung puluhan orang?” teriak Bontah.
“Tentu saja,” balas Gadun di atas sana, “ini kan tali dari surga!”
Lantas, satu-persatu para pemberontak mulai memanjat tali kawat itu. Bontah berada di paling atas. Seekor setan sekonyong ingin menarik rombongan itu. Akan tetapi, setan yang lain menahan, “Biar saja, mereka kan mau melawan Tuhan!” Kedua setan itu lalu terkekeh-kekeh.
Orang-orang di tali kawat terlihat seperti barisan semut-semut kecil yang mengerang kesakitan. Keringat yang keluar dari kulit mereka adalah darah, dan darah-darah yang keluar dari tangan mereka yang terluka di tali kawat adalah arang. Beberapa orang yang tak sanggup menahan pegangan terlihat berjatuhan. Mereka terempas kembali ke bawah dan tewas dengan tubuh terpecah melebur lalu gosong, lalu mereka hidup kembali dan memanjat lagi.
“Jangan menyerah, Kawan-kawan!” seru Bontah. “Tuhan nyatanya sedang ingin melihat seberapa jauh kita mau berjuang untuk kebebasan kita. Ia pikir kita akan menyerah, nyatanya kita tak akan menyerah!”
“Ayo! Ayo! Sedikit lagi!” sorak Gadun ketika ia mulai bisa melihat wajah Bontah. Lantas setibanya di atas, Gadun menarik tangan Bontah yang terulur. Keduanya lalu membantu-bantu yang lain, dan yang lain-lain membantu yang lain lagi hingga semua orang telah berhasil naik ke permukaan sumur.
Bontah terengah-engah menatap sekeliling pepohonan kering dan menyeramkan itu dengan mata berkaca-kaca. Langit di atas sana serupa kain kelabu dan udara bertiup busuk. Asap-asap hijau keluar dari celah retakan tanah-tanah yang kehitaman.
“Ini surga!” Bontah menangis haru, air matanya yang tumpah seketika mendidih menyentuh tanah. Yang lain ikut menangis. “INI SURGA!”
“Surga ada di arah sana,” sahut Gadun sambil menunjuk.
Bontah masih saja menangis. “Kau tak mengerti, ini saja sudah cukup menjadi surga bagi kami!” katanya terisak-isak.
“BEBAS!” sorak seseorang.
“KITA BEBAS!” teriak yang lain. Lalu mereka berhamburan saling memeluk, melompat-lompat, dan menangis kesenangan. Namun, kegembiraan itu tak lama. Sekejap kilat tersembul di langit gelap serupa tebasan pedang-pedang tajam dan guntur berdentum-dentum menerjang di antara kekelaman. Dari kejauhan, asap tebal beruntun berderu-deru menghampiri.
Tiga malaikat berjubah berpenutup kepala berdiri dengan menunduk. Sayap mereka terkembang lebar di balik punggung, mengibas-ngibas dan mengempaskan asap dan debu. Para pemberontak tersungkur merinding dan gemetaran. Mereka hendak lari, namun tubuh-tubuh menolak pergi. Bontah terbelalak dengan seluruh tubuhnya menegang, begitu juga dengan Gadun.
Malaikat yang berdiri paling depan mengangkat kepalanya. Tampaklah sinaran yang meluas dari wajahnya. “Tuhan amat marah kepada kalian semua sampai Dia tak sanggup berkata-kata. Siapa dalang di balik kejadian ini?” katanya dengan suara berat sekaligus tegas.
Meskipun sedikit gentar, Gadun mengangkat tangannya. “Aku,” katanya di hadapan para utusan itu. “Hukum aku. Akulah yang mengeluarkan mereka.”
“Oh, oh, Gadun si yatim-piatu rupanya. Mengapa kau ada di sini? Ini tempat terlarang. Dan sekarang jelaskan, apa yang telah kau perbuat?”
“S-saya tak berniat mengeluarkan mereka semua, Malaikat. Hanya Bontah saja. Di dunia, meskipun banyak yang telah dirugikannya, paling tidak ia pernah menyelamatkan hidupku. Mohon berikan ia sedikit pengampunan.”
“Yang mana namanya Bontah?” tanya malaikat.
Bontah mengacungkan tangan.
“Benar apa yang dikatakan bocah itu?”
Bontah tak punya pilihan selain mengangguk-angguk. Ia mengangguk-angguk, meski ia tak mengingatnya.
“Lalu kenapa kau mengeluarkan yang lain-lain?”
“Emm ….” Bontah gelagapan. “S-sebenarnya kami i-ingin m-memberon ….” Seseorang tiba-tiba mencubit kaki Bontah. “Jangan katakan!” bisik orang itu.
“DIAM!” bentak si malaikat dengan kerasnya hingga tanah bergetar.
“Katakan, Bontah, kenapa kau mengeluarkan yang lain-lain?”
Bontah menarik napas dalam-dalam. Lalu ia bersimpuh dan menangis.
“Kami ingin memohon ampun, Malaikat. Sedari lama kami ingin bertobat. Sungguh-sungguh kami mengakui kesalahan kami, dosa-dosa kami. Lantas sewaktu aku mengetahui anak itu menyorakkan namaku dan mengulurkan sebuah tali untuk menyelamatkanku, kupikir, pasti ada banyak orang yang juga ingin bertobat. Maka, kuajaklah orang-orang itu, dengan keimanan yang sungguh-sungguh, kami yakin Tuhan akan mengampuni kesalahan-kesalahan kami.” Bontah menundukkan kepala. “Ampun, Malaikat,” ucapnya tersedu-sedu.
Hening memberi jeda cukup panjang sebelum akhirnya malaikat berkata, “Luar biasa!” “Sungguh luar biasa! Kami tak menyangka manusia di neraka juga masih mempunyai rasa kemanusiaan. Kami sangat terpukau dengan keteguhan hati yang engkau miliki.”
Bontah dan kawanannya menatap satu sama lain. Malaikat yang berdiri paling depan mendekati Bontah, lalu menepuk pundaknya. “Kau manusia berhati besar, Bontah. Bahkan di saat terpuruk di neraka pun kau masih mengingat orang lain.”
Selepas itu, para malaikat segera membawa Gadun, Bontah, dan orang-orang itu menuju surga. Dalam penerbangan supercepat, Bontah dan rekan-rekannya tertawa-tawa gembira. Mereka merasa tak percaya bahwa mereka tak perlu memberontak sama sekali. Seketika sirna pula ide pemberontakan di hati mereka, yang kini dipenuhi rasa syukur yang teramat besar.
“Terima kasih, Tuhan, kami tahu Kau Maha Pengampun,” gumam Bontah dengan terharu, yang siap menyambut cahaya-cahaya dari surga. Meskipun ia sebetulnya kebingungan, “Kenapa malaikat-malaikat itu mudah sekali dibohongi?”
Sementara itu, di tempat yang jauh, tersembunyi dan tak terjangkau oleh satu manusia pun, Tuhan tersenyum mendengarnya. Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia lebih tahu isi hati Bontah dan rekan-rekannya. Dia tahu betul tentang rencana pemberontakan itu.
Lagipula, siapa lagi yang memberikan tali kawat untuk Gadun selain Dia? Tuhan telah bersuara di masing-masing hati penduduk neraka, namun keraguan dan ketakutan lebih menguasai diri mereka sehingga mereka memilih sekadar bersujud-sujud mengucapkan nama-Nya. Tuhanlah yang telah menyaring jiwa-jiwa manusia yang memiliki secercah kebaikan, yang pada dasarnya masih menyimpan iman walaupun sebiji sesawi, lalu mengukuhkan semangat di sudut hati kecil mereka meskipun semua itu untuk sebuah pemberontakan terhadap diri-Nya sendiri. Sejatinya, Dialah yang menanamkan ide pemberontakan itu ke dalam pikiran Bontah, sebagai cara-Nya untuk berkata, “Itu sudah cukup.”
Tuhan tahu itu semua. Hanya saja Dia memilih diam dan melihat.[]
2025
- Tali Kawat dari Surga - 13 June 2025
- SEGALA YANG TERSISA DARI KEMATIAN - 14 March 2025
- BAYANG-BAYANG IBLIS - 8 November 2024
Dita
Bagus banget ceritanyaaa 🥹🥹🥹🥹
Uba
Perpaduan bagus antara refleksi filosofis dan kehendak tuhan 👏👏
kulkas3pintu
mantap zul
pasyaa
luar biasa✓✓
Citra
MasyaAllah ceritanya luar biasa.
manz
luar biasa
Adoy
MasyaAllah cerita sangat luar biasa
manda
cerpen yang bagus dan luar biasa
wens
bang ini beneran di bayar bang?