21 Tahun Sejak Menulis Ulid—dan Menjualnya (2)*

Saya hanya bertahan di Jakarta kurang dari satu setengah tahun saja. Kontrak kerja habis, tabungan habis, dan sepertinya imajinasi juga habis. Dua draf novel yang sedang saya kerjakan sama-sama macet ketika memasuki halaman 60an sekian. Sebuah tawaran untuk masuk ke dunia penulisan naskah sinetron berakhir hanya dalam dua pekan: saya didepak, namun beberapa ide yang saya ajukan dipakai dan saya bisa menontonnya di televisi. Ajakan seorang kawan untuk menjadi penulis materi kampanye seorang pejabat di Jakarta yang mau nyalon jadi gubernur di sebuah provinsi di Sumatera juga berakhir persis dalam dua pekan, karena sang calon tidak lolos pencalonan. Saya pun memutuskan untuk kembali ke Jogja. Mei 2005, persis setahun sejak memulai menulis novel, saya diterima kerja di sebuah penerbit buku sekolah di Klaten. Jobdesk-nya: menulis buku ajar Sejarah Kebudayaan Islam untuk tingkat Madrasah Ibtidaiyah atau yang sederajat.

Di Klaten, terutama di tahun-tahun pertama, saya merasa menemukan pekerjaan yang sedikit lebih baik dari sekadar merekam Surya Paloh berorasi, atau SBY menyanyi “Pelangi di Matamu”, atau Megawati meneriakkan “Merdeka!” tiga kali. Ide saya untuk menulis buku sejarah sekolah dengan lebih naratif, yang mengurangi pointer-pointer dan angka-angka (semacam “3 sebab meletusnya Perang Badar” atau “3 akibat kekalahan dalam Perang Uhud bagi umat Islam”), diterima oleh atasan. Demikian juga permintaan agar kantor menyediakan bacaan/referensi yang memadai bagi para penulis dan editor juga dituruti. Karena itu, di kantor, ada satu masa saya bisa menulis dengan penuh semangat dan membaca dengan rakus, seperti saat saya berada di tahun-tahun pertama menjadi aktivis pers mahasiswa. Itu membuat bayangan suram tentang draf-draf novel yang macet bisa untuk sementara diabaikan.

Sekitar setengah tahun sejak bekerja, saya membeli sebuah komputer bekas. Itu adalah komputer pertama yang saya beli dalam hidup saya. Selain agar bisa main Magiclines (sejenis game menata bola-bola untuk diledakkan) dengan lebih bebas, saya ingin bisa memutar Winamp dengan daftar lagu yang saya pilih sendiri. Ketika dibutuhkan, komputer itu juga mengerjakan lemburan, selain beberapa orderan penyuntingan buku-buku buruk dari orang-orang yang sempat saya kenal di Jakarta. Jika tebersit meneruskan menulis novel, saya rasa itu adalah upaya yang agak sia-sia untuk melanjutkan naskah kedua yang kurang nyastra itu.

Memasuki tahun kedua, saya mendapati bahwa oleh manajemen saya dikelompokkan bersama beberapa karyawan yang “sulit diatur”; posisi tidak lebih baik, gaji tidak naik, dan dibawahi oleh karyawan yang lebih belakangan direkrut. Dan setelah beban kerja penulisan saya selesai, saya tidak lagi mendapat pekerjaan baru selama berbulan-bulan. Saya pun mulai memanjangkan rambut—itu adalah kegondrongan yang sangat terlambat sekaligus norak. Waktu non-job di kantor saya pakai untuk menulis beberapa cerpen tematik bertema cinta dan berlatar sepakbola. Itu jelas cerpen-cerpen yang buruk, berpretensi ngepop tapi nanggung, tapi saya sedang memikirkan semacam sekoci kalau sewaktu-waktu saya kehilangan pekerjaan. Cerpen-cerpen itu saya himpun menjadi satu naskah dan saya kirimkan kepada seorang kawan lama yang menjadi editor buku-buku Andrea Hirata yang sedang naik daun.

Naskah itu ditolaknya. “Target marketnya tidak jelas, Fud,” katanya.

***

Jelang akhir 2006 pengumuman diadakannya Sayembara Novel DKJ membangkitkan novelis dalam diri saya sekaligus mengentalkan karakter pemberontaknya. Beberapa teman seangkatan telah di-PHK karena dianggap “tidak perform”, jadi mungkin saya juga akan menyusul segera. Maka, daripada menunggu, saya jemput bola. Saat itu libur Natal dan Idul Adha berdekatan, membentuk rangkaian tanggal merah dan hari kejepit yang menjanjikan. Ditambah dengan jatah cuti dua tahun yang masih utuh, saya bisa membayangkan dua minggu yang intens untuk sebuah novel baru yang menggetarkan. Saya mengajukan cuti panjang sekaligus menyiapkan diri untuk dipecat dari pekerjaan. Yang mengejutkan, pengajuan cuti itu diterima.

Saat itu kisah Ulid dan desanya sedang menggelegak dalam diri saya. Saya tidak ingat bagaimana ia bergerak maju, tapi saya merasa waktu itu naskah sudah mendekat kepada kisah bocah yang ingin sepeda namun malah dikasih kambing itu. Halamannya sudah melewati angka 100. Saya pikir, dengan menambah 100 halaman lagi, novel itu akan selesai. Dan saya membayangkan bisa melewati 100 halaman itu di pengujung tahun.

Sejujurnya, saya bukan penggemar novel-novel pemenang DKJ. Selain tak terlalu mengesankan saya sebagai pembaca, novel-novel itu juga gagal menggugah saya sebagai pengarang. Atau, biar tak menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, sebut saja novel-novel itu bukan selera saya. Meski demikian, pada novel-novel itu, tapi terutama pada even itu, saya menemukan cahaya kecil yang saya cari selama ini—yang entah kenapa tidak terpikirkan sebelumnya. Bila mendapatkan label DKJ, entah juara harapan tiga, atau naskah terpuji keempat, atau entah apa pun juri menyebutnya, kisah Ulid dan desanya itu akan punya harapan hidup lebih baik. Mungkin tetap akan terdampar di Obor (jika itu takdirnya, kenapa tidak?), tapi siapa tahu juga bisa di KPG seperti Saman atau di Mahatari seperti Dadaisme dan Geni Jora, atau di penerbit-penerbit baru lain yang lahir hanya untuk menerbitkan novel pemenang DKJ.

Tapi, hanya butuh beberapa hari saja harapan dan bayangan soal label DKJ itu mengapung untuk kemudian menghilang. Dalam dua minggu itu, saya menulis dengan sangat gigih dan menghasilkan sangat banyak halaman, sehingga saya bahkan bisa melampaui seratusan halaman yang saya targetkan. Masalahnya, novel itu bukan hanya masih jauh dari selesai; ia benar-benar baru sampai setengahnya saja. Dan karena saya tak memiliki jejaring sastra sebaik Ayu Utami, naskah yang jauh dari selesai itu tentu saja tidak saya kirim ke DKJ.

Saya tidak tahu apakah itu keberuntungan atau kesialan. Konon, tahun itu para juri DKJ “mabuk naskah” (demikian situs resmi DKJ menyebutnya), karena menerima sangat banyak kiriman naskah. Saya sulit membayangkan apa nasib novel saya di antara 300an naskah itu, bahkan jika pun menang. Mungkin orang masih mengingat Hubbu, tapi saya tidak yakin orang-orang di luar sana mengingat, apalagi menyimpan, Mutiara Karam, Glonggong, dan Lanang.

Saya kembali ke kantor pada pergantian tahun; mereka masih mempekerjakan saya hingga bertahun-tahun kemudian. Sementara novel itu, di balik kegagalannya untuk selesai lebih cepat, tak pernah lagi bisa saya tinggalkan. Saat itu, menyelesaikannya adalah tujuan hidup paling jelas yang bisa saya kejar. Jobdesk yang semakin lama semakin tidak jelas membuat saya punya banyak sekali waktu luang di kantor, dan saya memakai sebagiannya untuk menulis novel. Dan novel itu, setelah mencapai 400 halaman, selesai tiga tahun kemudian.

Di antara tahun-tahun itu, seorang rekan sekantor yang tidak terlalu saya kenal bernama Anindita S. Thaif memenangkan sayembara novel DKJ 2008. Saya belum pernah membaca Tanah Tabu, tapi saya semakin percaya bahwa novel pertama saya tidak akan berjodoh dengan DKJ. Karena itu, ketika saya menyelesaikan novel tersebut, saya tak menunggu untuk mencari penerbit bagi naskah itu. Tak seperti yang pernah saya bayangkan, hanya dalam hitungan pekan naskah tersebut sudah mendapatkan penerbit. Tak perlu jauh-jauh ke Jakarta, saya mendapatkannya di Jogja.

Namun sepertinya semua berjalan ke arah yang salah.

***

Jauh sebelum menyelesaikannya, saya sudah putuskan bahwa judul depresif “Batu dan Kayu Tak Bisa Ditanam” akan saya ganti. Ulid dan Lerok, dua karakter yang paling saya garap dalam penulisan, tak seputus asa itu; keduanya bertahan dan bangkit dengan caranya masing-masing. Karena itu, saya memikirkan sebuah judul yang, meskipun tak bersemangat menyala-nyala, setidaknya punya sedikit nada bermain-main.

Ketika mengajukan naskahnya ke penerbit, saya memakai judul “Akhirnya, Ulid pun Mengembara”. Ini judul yang jelas saya ambil dari khazanah sandiwara radio. Namun, karena saya tak yakin penerbit akan menyukai judul ini, saya menawarkan kepada penerbit beberapa judul alternatif. Judul-judul alternatif itu saya ketik dalam satu file word, dengan keterangan keunggulan dan kelemahannya, dan saya kirim kepada penerbit sebagai lampiran naskah novel. Mereka bisa memilih salah satu.

Judul yang disebut di atas punya alternatif yang lebih panjang, yaitu “Ketika Suara Ferry Fadli Tak Lagi Terdengar di Radio, Ulid pun Mengembara”, yang menautkan diri lebih jauh ke khazanah sandiwara radio sekaligus mengambil inspirasi dari film dengan judul panjang yang saat itu sangat saya sukai, The Assassination of Jesse James by The Coward Robert Ford. Juga ada judul “Sejarah Bengkuang Lerok: Asal-usul Kemunculannya hingga Tanda-tanda Kepunahannya”. Judul ini diambil dari makalah Ulid di SMA, tapi jelas sangat berutang kepada novel Marina Lewycka, Sejarah Singkat Traktor dalam Bahasa Ukraina, yang waktu itu belum lama terbit di Indonesia. Ada juga judul yang lebih konvensional tentu saja. Misalnya, “Ulid Terlalu Jauh Bermain”, yang merangkum empat pembabakan di dalam novel yang memakai kata kunci “Ulid” dan “bermain”. Saya tulis keterangan bahwa judul ini abstrak, tidak mengacu secara langsung ke novel, tapi ia sangat menonjolkan karakter kekanakan Ulid; lebih dari itu, ini juga judul yang akan awet, tak akan terpengaruh oleh waktu, meskipun kelemahannya ia bisa disalahpahami sebagai cerita anak-anak. Judul lain adalah “Hikayat Bengkuang: Sebuah Cerita Rekaan”, yang bermain-main dengan judul tipikal sastra klasik Melayu, dan dengan demikian ia menautkan diri dengan Malaysia tanpa perlu secara gamblang menyebutkannya. Barangkali pembaca Malaysia juga akan terkoneksi dengannya.

Benar dugaan saya, penerbit merasa tak cocok dengan judul yang saya ajukan di naskah. Yang mengejutkan, mereka justru tertarik dengan judul paling vulgar, yang saya cantumkan hanya jika penerbit menginginkan judul yang aktual dan sedikit sensasional (terutama jika dikaitkan dengan sengketa budaya yang saat itu kerap terjadi antara Indonesia dan Malaysia), yaitu “Ulid Tak Ingin ke Malaysia”. Padahal, di bawahnya saya beri keterangan bahwa “judul ini punya kelemahan yang sangat jelas: begitu momen berkait Malaysia mereda, ia juga akan ikut habis”.

Yang lebih buruk, mereka mengambil anak judul “Bukan Kisah Nyata yang Menggetarkan Jiwa” yang saya cantumkan sebagai upaya bermain-main dengan sikap yang sangat serius. Maka, pada akhir Oktober 2009, terbitlah Ulid Tak Ingin ke Malaysia: Sebuah Novel, dengan tambahan keterangan di bawahnya “Berdasar Kisah Nyata”. Dan penerbit benar-benar tidak main-main dengan label ini: mereka bukan saja menyangka saya adalah Ulid itu sendiri, tapi juga mendesak saya untuk mengaku bahwa saya pernah bekerja di Malaysia.

Dan derita novel pertama seorang pemula itu menjadi lengkap dengan gambar sampul perempuan berkerudung berwajah sedih dengan koper di sampingnya dan bayang-bayang logo Malaysia Airlines (MAS) di belakang. Untuk sebuah bildungsroman bertokoh utama seorang bocah laki-laki, novel saya diberi gambar sampul perempuan! Dan mereka tak pernah mau mendengar protes dan keluhan saya.

Kalau saja novel itu meledak di pasaran, cetak ulang dua kali dalam tiga bulan, dan membuat saya lebih cepat kaya, atau membuat saya diundang di mana-mana, mungkin saya bisa memaafkan apa yang mereka lakukan dengan Ulid. Anggap saja saya salah dan mereka benar; saya penulis pemula yang tak tahu apa-apa tentang pasar buku, sementara merekalah masternya. Tapi, tidak. Novel itu tidak laku dan tidak dibicarakan oleh siapa pun, dan saya tetap seorang penulis pemula yang mulai kehabisan tabungan, dan hanya dikenal oleh teman-teman nongkrongnya di Warung Kopi Blandongan. Laporan enam bulan pertama, Ulid Tak Ingin ke Malaysia terjual 109 eks. Saya mestinya mendapat royalti sebesar Rp509.575, tapi karena saya memesan 25 eks. buku dari penerbit senilai Rp962.500, maka saya masih berutang ke penerbit sebesar Rp452.925.

Ketika dua tahun kemudian penerbit memutuskan untuk menghentikan penjualan, memutus kontrak (tiga tahun lebih cepat dari seharusnya), dan menyerahkan kembali naskah novel itu kepada saya, mereka menjual kurang dari dua kali lipat angka di atas. Royaltinya tak menutup utang 25 eks buku saya ke penerbit. Mereka berbaik hati mengabaikan itu, dan tetap memberikan “royalti” saya berupa buku yang berjumlah 10 persen dari jumlah buku yang dicetak. 150 eks buku adalah imbalan sempurna untuk sebuah novel yang dikerjakan selama enam tahun.

Dan novel itu tetap tidak dibeli, tidak dibaca, dan tidak dibicarakan—kecuali oleh seorang kawan serumah yang membuat tulisan ulasan untuk dimuat di Facebook.

*Tulisan kedua dari tiga tulisan.  

Mahfud Ikhwan

Comments

  1. Isna Bahtiar Reply

    Menarik Pak Mahfud

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!