
Pesta Sawah
Sewaktu aku masih biji padi
Kau membuat air teh kecoklatan itu
Mengambang di atas biskuit kalengan
Biji padi memandangmu berbinar-binar
Negosiasimu sukses
Menyembunyikan sulapnya dari nasi
Biji padi yang tak juga mengerti
Mengapa mereka mengubur kulit padi
Biji padi hijau-hijau, menarik palet warna
Biji padi kini kuning-kuning
Demikianlah padi menerima anugerah: pemahaman
Aku semakin bungkuk untuk mengangguk
Bisakah kau terjemahkan makna merundukku?
Demikianlah aku mendaki gunung dengan sepeda
Apakah kulit padi dapat melihatku
Dari kedalaman tanah yang basah?
Biji padi kuning-kuning, menjejalkan tapak
Selamat datang ke dunia, beras!
Begitulah beras menerima anugerah: penerimaan
Seperti apa dunia bagi beras?
Begitulah beras menerima anugerah: pertanyaan
Adakah sawah
Di mana padi-padi menghijau sepanjang tahun
Dan tak terpanen?
Setidaknya, berilah aku sedikit harapan
Untuk berharap
Aku sudah delapan belas
Hampir menjadi nasi
Bagaimana denganmu? Apakah sudah sepuluh?
Jika tak layak kurayakan saat itu
Layakkah kita rayakan sekarang?
Selamat berulang, dan bersulang
Dan berpulang
Narcissus Poeticus
Setiap hari berkaca pada cermin yang baik
Apa pakaianmu hari ini?
Gelar adipati? Atau jubah raja?
Atau malah, beli baju zirah baru?
Yang pasti itu emas, tak mungkin bukan
Sebab ruang kaca bersinar-sinar
Pagi-pagi sudah berkokok
Dini hari tak letih juga berkokok
Aku mau tahu
Kau tenggelam, atau cuma lari?
Setiap hari aku menyaksikan kebaikanmu
Dari cermin yang baik
Tersenyum saja sembari mengunyah sedap malam
Rutinitas penyair; karena kau sudah menyabet banyak
Tapi, kau tidak mengambil profesi tabib, ya?
Jika mengantuk pun, mengantuk pula
Akulah yang merawat lubang tusukan itu
Kau sendirian di kandang
Kawan-kawanmu telah disembelih
Aku akan berkata, “Engkau punya darah murni!”
Lalu kau akan berkokok lagi
Sambil berkepak-kepak dan membusungkan dada
“Mereka pantas.”
Namun, karena engkau memiliki aku
Aku memiliki demam
Maukah engkau pergi ke rumah sakit
Bersamaku?
Kurasa aku mulai jahat
Entah aku atau kau
Kita sudah mabuk daffodil
Penelitian Sosial
Kau menggerutu, tak henti-henti
Soal hotel dan motel yang makan gaji buta
Lebih kenyang dari para aparat berdasi
Kau bersimpati, merasa prihatin
Tembok-tembok putih menjerit, ternoda tinta cumi
Tangan besar mereka menahan tembok
Sangat peduli, banyak lupa diri
Kau bergidik ngeri, hingga terasa nyeri
Pohon-pohon polos yang pasrah ditebang
Tanah-tanah tak berdosa yang pasrah dikeruk
Terlihat lebih berbudi
Menurutmu, otak manusia itu
Berada di mana?
Hotel dan motel menolak mereka,
Tembok-tembok putih menolak mereka,
Hutan-hutan menolak mereka,
Mereka itu milik siapa?
Siapa tahu, hanya beruntung, sedikit
Aku menilik pikiranmu
Kau bertanya sekali lagi
Berapa banyak hantu yang berkeliaran
Di rumah susun, daripada di rumah sakit?
Aku terkekeh; kau ini lucu sekali
Laporan penelitianku tak juga rampung
Ah, apa yang harus kutulis sebagai saran?
Berikan aku suatu cuitan
Materi Ajar
Apa yang para guru ajarkan kepadamu
Semasa sekolah?
Mereka bilang, “Jadilah serdadu.”
Yang lain berkata, “Kiranya tidak tunduk.”
Dari mulut mereka aku tahu
Mendung akan datang sebelum hujan
Memboyong panas, menimpa genteng-genteng
Sedikit memeras badan
Dari mulut mereka aku tahu
Bahwa mandiri bukan berarti
Tidak memiliki kewajiban
Untuk melaksanakan kerja rodi
Dan memeras badan lagi
Mengapa tidak engkau coba berhenti
Menaruh kata-kata belati
Di bawah kasur penembak-penembak jitu?
Mengapa tidak engkau menerima takdir
Seperti aku, misalnya?
Sekalipun, mungkin,
Aku masih setia berharap pada tulang-tulang daun
Dan berperang dengan semut
- Puisi Allezetta Zie - 17 June 2025