Puisi Allezetta Zie

Pesta Sawah

 

Sewaktu aku masih biji padi

Kau membuat air teh kecoklatan itu

Mengambang di atas biskuit kalengan

Biji padi memandangmu berbinar-binar

Negosiasimu sukses

Menyembunyikan sulapnya dari nasi

 

Biji padi yang tak juga mengerti

Mengapa mereka mengubur kulit padi

 

Biji padi hijau-hijau, menarik palet warna

Biji padi kini kuning-kuning

Demikianlah padi menerima anugerah: pemahaman

Aku semakin bungkuk untuk mengangguk

Bisakah kau terjemahkan makna merundukku?

Demikianlah aku mendaki gunung dengan sepeda

 

Apakah kulit padi dapat melihatku

Dari kedalaman tanah yang basah?

 

Biji padi kuning-kuning, menjejalkan tapak

Selamat datang ke dunia, beras!

Begitulah beras menerima anugerah: penerimaan

Seperti apa dunia bagi beras?

Begitulah beras menerima anugerah: pertanyaan

Adakah sawah

Di mana padi-padi menghijau sepanjang tahun

Dan tak terpanen?

 

Setidaknya, berilah aku sedikit harapan

Untuk berharap

 

Aku sudah delapan belas

Hampir menjadi nasi

Bagaimana denganmu? Apakah sudah sepuluh?

 

Jika tak layak kurayakan saat itu

Layakkah kita rayakan sekarang?

Selamat berulang, dan bersulang

Dan berpulang

 

 

Narcissus Poeticus

 

Setiap hari berkaca pada cermin yang baik

Apa pakaianmu hari ini?

Gelar adipati? Atau jubah raja?

Atau malah, beli baju zirah baru?

Yang pasti itu emas, tak mungkin bukan

Sebab ruang kaca bersinar-sinar

 

Pagi-pagi sudah berkokok

Dini hari tak letih juga berkokok

 

Aku mau tahu

Kau tenggelam, atau cuma lari?

 

Setiap hari aku menyaksikan kebaikanmu

Dari cermin yang baik

Tersenyum saja sembari mengunyah sedap malam

Rutinitas penyair; karena kau sudah menyabet banyak

Tapi, kau tidak mengambil profesi tabib, ya?

 

Jika mengantuk pun, mengantuk pula

Akulah yang merawat lubang tusukan itu

 

Kau sendirian di kandang

Kawan-kawanmu telah disembelih

Aku akan berkata, “Engkau punya darah murni!”

Lalu kau akan berkokok lagi

Sambil berkepak-kepak dan membusungkan dada

“Mereka pantas.”

 

Namun, karena engkau memiliki aku

Aku memiliki demam

 

Maukah engkau pergi ke rumah sakit

Bersamaku?

Kurasa aku mulai jahat

 

Entah aku atau kau

Kita sudah mabuk daffodil

 

 

Penelitian Sosial

 

Kau menggerutu, tak henti-henti

Soal hotel dan motel yang makan gaji buta

Lebih kenyang dari para aparat berdasi

 

Kau bersimpati, merasa prihatin

Tembok-tembok putih menjerit, ternoda tinta cumi

Tangan besar mereka menahan tembok

Sangat peduli, banyak lupa diri

 

Kau bergidik ngeri, hingga terasa nyeri

Pohon-pohon polos yang pasrah ditebang

Tanah-tanah tak berdosa yang pasrah dikeruk

Terlihat lebih berbudi

 

Menurutmu, otak manusia itu

Berada di mana?

 

Hotel dan motel menolak mereka,

Tembok-tembok putih menolak mereka,

Hutan-hutan menolak mereka,

Mereka itu milik siapa?

Siapa tahu, hanya beruntung, sedikit

 

Aku menilik pikiranmu

Kau bertanya sekali lagi

Berapa banyak hantu yang berkeliaran

Di rumah susun, daripada di rumah sakit?

 

Aku terkekeh; kau ini lucu sekali

Laporan penelitianku tak juga rampung

Ah, apa yang harus kutulis sebagai saran?

Berikan aku suatu cuitan

 

 

Materi Ajar

 

Apa yang para guru ajarkan kepadamu

Semasa sekolah?

Mereka bilang, “Jadilah serdadu.”

Yang lain berkata, “Kiranya tidak tunduk.”

 

Dari mulut mereka aku tahu

Mendung akan datang sebelum hujan

Memboyong panas, menimpa genteng-genteng

Sedikit memeras badan

 

Dari mulut mereka aku tahu

Bahwa mandiri bukan berarti

Tidak memiliki kewajiban

Untuk melaksanakan kerja rodi

Dan memeras badan lagi

 

Mengapa tidak engkau coba berhenti

Menaruh kata-kata belati

Di bawah kasur penembak-penembak jitu?

 

Mengapa tidak engkau menerima takdir

Seperti aku, misalnya?

 

Sekalipun, mungkin,

Aku masih setia berharap pada tulang-tulang daun

Dan berperang dengan semut

Allezetta Zie
Latest posts by Allezetta Zie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!